Nggak pakai check in dulu, share location, foto makanan, diem (nunduk), terus sebelum pulang selfie atau wefie. Tempat Jajan di tahun 80-an Cuma dijadikan buat ajang minum, makan dan curhat colongan!
Dari arsip HAI edisi 22 April 1988, tercatat ada banyak cara anak muda mengatur strategi mereka dalam mengisi Sabtu malam. Salah satunya nongkrong bareng teman-teman di restoran. Nah, remaja ‘80-an biasanya memanfaatkantempat jajan menjadi ajang curhat, sebab belum ada medsos, jadi teman adalah andalannya. Baca: Curhat Terlarang di Media Sosial
Berawal dari menjamurnya restoran cepat saji pada era ‘80-an yang otomatis mengubah pola jajan dan gaya hidup para remaja kala itu. Hamburger, hot dog, milk shake, root beer, French fries dan es krim menjadi makanan mewah di akhir pekan. Remaja yang doyan jajan menjadikan menu-menu tadi sebagai penganan favorit penghilang lapar.
Di mata remaja saat itu, restoran-restoran cepat saji yang jadi favoritnya itu juga “berubah wajah”. Tempat jajan yang asik buat nongkrong itu menjadi punya nilai lebih. Keberadaannya nggak sekadar tempat makan dan minum. Restoran memberikan sarana buat remaja untuk saling bertemu dan berbagi cerita. Tempat ngobrol ngalor ngidul yang paling asik. Mulai dari obrolan senang, sampai susah. Baca: Nambah Uang Jajan dengan Berdagang
Menengoklife styleremaja kala itu tentu membuat restoran-restoran yang ada di kota-kota besar memutar otak. Mereka berlomba dengan jurus pemikat. Berusaha ingin memanjakan pengunjungnya agar betah_tanpa kepikiran wifi dan colokan. Maka dari segi penataan ruang dilakukan. Semua restoran saling berlomba melakukan perombakan terutama pada kursi-kursi pengunjung. Nggak cuma warna, desain kursi dan interior juga tidak ketinggalan diubah. Semua itu dilakukan agar pengunjung semakin kerasan datang ke tempat jajan, namanya belum sekeren sekarang, nggak café, resto apalagi lounge dan pub, cukup tempat nongkrong aja. Simpel.
Gaya hidup membuat remaja beralih. Bisa berjam-jam bercengkrama bersama sahabat. Apalagi kalo bukan sebagai tempat nongkrong, ngobrol bahkan arena cari jodoh. Selanjutnya, makan bukan lagi karena alasan lapar. Karena nggak ada banyak hal yang di dapat dari makan dan minum saja. Sarana baru ini dimanfaatkan buat membicarakan dan memecahkan persoalan yang sedang dihadapi.
Rasanya lega kalau sudah cerita kepada teman di tempat jajan. Menceritakan problem kepada orang lain, jelas menguraikan paling tidak separuh dari beban itu sendiri.
Akhirnya, jajan bukan lagi kegiatan mengisi perut rutin makan siang, makan malam atau sarapan. Sesuai dengan sifatnya yang iseng, temporer, jajan lalu mencuatkan sisi-sisi sampingan. Bisa jadi sekalian waktu buat tuker pikiran, ngomongin pelajaran sampai ngeceng cewek-cewek di jalan. Inilah salah satu wajah dari dunia remaja era ‘80-an. Pola hidup jajan berkembang menjadi tren.
Dari pengamatan HAI kala itu di Jakarta dan Bandung, cukup banyak tempat jajan yang jadi favorit. Dan itupun nggak cuma berupa restoran atau kantin yang biasanya punya ruangan dan kelengkapan lain yang apik. Tempat jajan pinggir jalan pun ada pula yang cukup ngetop di kalangan remaja kala itu. Baca: Inilah Jajajan yang Naik Kelas
Bakso Kumis di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan misalnya. Sebagian besar remaja metropolitan saat itu bakal mengangguk jika ditanya tentang penjual bakso ini. Mulai berdiri sejak tahun 1970-an dengan bakso khasnya yang berukuran jumbo. Suasana di Bakso Kumis mendukung untuk menggaet pembeli sebanyak-banyaknya.
Belakangan, pengunjungnya nggak hanya remaja, tetapi juga keluarga dan pegawai kantoran. Ya. Dari dulu, remaja kita emang selalu paling duluan dalam membentuk sebuah tren!Iya kan?