Baca Juga: Wall of Fades Hadir 18-20 November, Bawa 50 Brand Lokal Sampai Bawa Pesan Up-Cycle!
“Lucunya di jeans, sadar nggak sadar kita selalu punya generasi baru ketika anak SMA lulus dan masuk kuliah. Kenapa? Karena ketika SMA mereka harus pake seragam. Ketika kuliah mereka bebas pake bajunya. Nah, dari situlah mereka baru ‘oke waktunya gue pake jeans! Dan biasanya ada tuh yang kecemplung, jadi explore, ngulik local brand dan lain-lain,” pungkasnya.
Nah, setelah fase itu, saat anak lulusan SMA mulai mengenal jeans, nyatanya kata Panca fokusnya nggak langsung menuju ke komunitas sih.
Saat mulai menggunakan hingga demen sama jeans, biasanya anak muda itu bakal mulai “diracunin” temen-temennya dengan produk yang recommended.
“Nah, kalo udah pada bersentuhan langsung dengan produk, biasanya bakal ngulik lebih dalem lagi, sampai pada tau kalo denim itu ada event-nya, ada forumnya, dan lain-lain,” ujar Panca.
Bicara tentang pecinta denim di Indonesia, mungkin kayaknya cukup banyak ya? Tapi ternyata kata Panca, “Kalo dibilang pecinta, mungkin nggak banyak. Tapi kalo pemakai, pasti banyak. Kalo misal nge-cek audiens Walls atau Darahkubiru, untuk pecinta lebih dari 100 ribu ada lah.”
Melihat fenomena di atas, dengan segitu besarnya minat masyarakat terhadap jeans, kayaknya patut disetujui bahwa “jeans nggak ada matinya” ya? Setuju nggak?
Karena dari penjelasan Panca sendiri jeans itu adalah sebuah fashion yang memang longlasting, dan fungsinya itu jelas. Sebagai utility. Jadi dalam artian jeans itu adalah fashion item yang pasti awet.