Follow Us

The Silkworm : Lebih Sadis dari Kasus Pembunuhan Mayang di Australia

- Senin, 10 November 2014 | 12:50
The Silkworm Lebih Sadis dari Kasus Pembunuhan Mayang di Australia
Hai Online

The Silkworm Lebih Sadis dari Kasus Pembunuhan Mayang di Australia

Roberth Galbraith makin piawai menuangkan story telling terbaiknya di sekuel kedua dari perjalanan detektif partikelir ciptaannya, Cormoran Strike. Kalau sempat merasakan sensasi meliuk-liuk Strike tatkala mencari jawaban atas misteri meninggalnya seorang model terkenal di The Cuckoo's Calling (2013), lewat buku keduanya ini, ia jungkir balik membongkar kasus kepergian seorang penulis novel misterius_yang berbahaya.

Nggak seperti judulnya yang berkesan halus, The Silkworm (ulat sutra), justru berkesan sadis tetapi dalam soal perasaan. Yap, kisah pengungkapan kasus bareng Robin Ellecott ini bakal membuat bulu kuduk pembaca berdiri. Seperti filosofi ulat sutra, mereka dibiarkan "matang", dipaksa untuk bisa mengelurkan benang terhalusnya. Kasus ini pun diungkap demikian, menyeramkan, mencerdaskan. Novel ini bikin otak pembaca jumpalitan sampai dengan akhir ceritanya.

Bukan sembarang kalau untuk seri ini, J.K Rowling menggunakan nama aliasnya Roberth Galbraith, sebab dia semakin piawai aja di jalur kriminal. Mamam suherman, seorang Kriminolog Lulusan UI yang juga mengamati buku-buku karya J. K Rowling bilang, setidaknya penulis The Silkworm sudah sangat mengerti modus dan bahasa kriminalitas.

"J.K Rowling ini kayaknya sudah tamat baca ensiklopedia murder, deh. Dia halus sekali membuat rumusan cerita criminal yang sadis. Awal-awal dia menceritakan secara linier, storytellingnya lancar sampai dengan halaman 50 pertama, ke atasnya, ada banyak cabang cerita yang kompleks tapi jelas," ungkap konsultan kreatif acara TV 'Indonesia Lawak Club' saat media gathering peluncuran buku The Silkworm bareng Gramedia Pustaka utama.

Maman setuju, J.K Rowling ahli dalam menciptakan jagoan baru yang siap diidolakan para pembacanya. Seperti tokoh detektif partikelir Cormoran Strike Cormoran Strike yang diramalkannya bakal siap menandingi tokoh-tokoh seperti Conan Edogawa, Sherlock Holmes dan Hercule Poirot ciptaannya Agatha Christie.

Siska Yuanita, editor fiksi Gramedia Pustaka Utama yang menerjemahkan buku Ulat Sutra itu bilang, buku kedua Robert Galbraith ini bikin dia puas membacanya. Katanya, kalau dibanding buku pertama, The Silkworm mengandung cerita yang lebih kelam.

Namun, di buku kedua ini, Galbraith punya gaya yang berbeda,karena menuliskan kisah misteri meninggalnya seorang penulis novel, maka Siska pun percaya, J.K Rowling telah melakukan banyak wawancara dengan para penulis dan tokoh penerbitan buku untuk memperdalam kisahnya.

"Ini jauh lebih dalam, lebih gelap dari the Cuckoo's Calling. Penulis ini menulis novel yang menyeramkan menjijikkan, penuh simbolisme. Tapi nggak ecek-ecek," katanya melambangkan kisah Ulat Sutra yang penuh kesadisan.

Siska juga menjelaskan, judul Ulat Sutra sudah merupakan perlambang atau simbol yang nggak bisa diubah seperti judul sebelumnya. "Bombyx mori, judul novel yang dibuat dari tokoh Owen ini persis seperti apa yang dialami ulat Sutra. Dia harus dihancurkan sebelum menghasilkan karya yang bagus dan istimewa. Artinya lebih lugas. Tidak bisa dimain-mainkan lagi," jelasnya. Maman sendiri kagum, jalan cerita yang ditulis Robert Galbraith nggak seperti kisah kebanyakan.

"Ini sang novelis gila, dan istrinya yang meminta bantuan Cormoran strike mengungkap kasus tersebut. Cerita yang nggak mudah, tapi seru. Owen meninggalkan naskah yang isinya menghujat banyak orang penting dalam hidupnya bahkan istri dan selingkuhannya. Beberapa orang yang merasa ditelanjangi ini dimungkinkan terlibat dalam hilangnya Owen," jelasnya sedikit spoiler.

Bagaimana pun itu, sensasi kesadisan kisah owen ini bakalan seru, sadis, lebih sadis daripada kasus pembunuhan Mayang, transgender yang tewas di Australia pada beberapa waktu lalu itu.

Editor : Hai

Latest