Follow Us

Musik, Umur, dan Mitos di Balik 27 Tahun Superman Is Dead

Tim Redaksi - Selasa, 16 Agustus 2022 | 07:05
Superman is Dead Masih Terus Hidup, 27 tahun setelah ia lahir.
HAI

Superman is Dead Masih Terus Hidup, 27 tahun setelah ia lahir.

HAI-ONLINE.COM - Catatan Redaksi: Tulisan 27 tahun Superman Is Dead berikut ini dibuat oleh Bagus Dwi Danto, musisi yang dikenal dengan moniker Sisir Tanah.

Bagaimana sebuah band memberi nama untuk kelompok musik yang ingin dijalankan saat pertama kali terbentuk adalah hal yang menarik. Dilihat dari sudut ini, Superman Is Dead (SID) tampak cukup terhubung dengan ilmu pengetahuan sosial dan filsafat. Di dunia tersebut kita akan mengingat Frederich Nietzsche sebagai sosok yang pernah mengumandangkan Tuhan Sudah Mati (God is Dead). Dalam bukunya “Thus Spoke Zarathustra”, Nietzsche memperkenalkan istilah "ubermensch" atau superman atau adi manusia, yang menganggap manusia adalah sumber nilai.

Di abad yang berganti, tiga orang anak yang ‘muda, beda, dan berbahaya’ dari Pulau Bali mengumandangkan hal yang sama dengan apa yang sudah dikemukakan Nietzsche. Bukan “Tuhan sudah mati” melainkan “Superman sudah mati” atau Superman is Dead. Nama ini memperlihatkan sikap percaya diri dan optimis dari kawan-kawan SID muda, bertemu dengan pemikiran-pemikiran dari filsuf radikal seperti Nietzsche. SID membuat peletakan batu pertama yang mengundang kita berpikir sejak dalam hal memberi nama.

Saya sendiri mendapatkan lagu-lagu SID melalui layar kaca televisi dan menyaksikan mereka dalam berbagai program acara di kanal-kanal YouTube. Salah satu lagu yang saya suka berjudul “Jika Kami Bersama”. Lagu tersebut dinyanyikan bersama Shaggydog, kelompok musik dari Jogja yang sudah melanglang dunia. Di rentang waktu lainnya, kabar tentang SID melintas melalui cerita dari mulut ke mulut. Ini menunjukkan, SID punya daya tarik untuk dikisahkan lewat beragam cara dan media.

Kisah mereka juga ditulis dari kacamata seorang Jan Djuhana dalam buku terbarunya “Di Balik Bintang”. Di halaman 225, Pak Jan menulis bab khusus yang diberi judul “Superman Is Dead, Trio Punk Rock Idealis” yang menggambarkan bagaimana grup musik yang lahir pada 18 Agustus 1995 ini tetap berpegang teguh pada idealismenya. Pak Jan sebagai nama yang pernah memperkuat label-label besar seperti Aquarius, Sony Music Indonesia, dan Universal Music Indonesia jeli melihat posisi SID di tengah belantara musik di Indonesia.

Band ini, kita tahu, menjadi semakin terkenal lantaran bergabung dengan Sony Music Indonesia pada 2003. Dari sana mereka menghasilkan enam album dan membuat prestasi dari berbagai ajang penghargaan musik bergengsi yang ada di negeri ini. Album album tersebut melahirkan lagu-lagu yang mengharumkan nama SID.

Sebagai musisi, SID menghasilkan lagu-lagu yang menjangkau banyak kalangan. Sebagai bagian dari masyarakat mereka gigih menyuarakan berbagai isu lingkungan dan kemanusiaan yang terjadi di Bali maupun di luar Bali. Mereka sanggup menempatkan diri dalam eksositem musik industri dan menyelaraskannya dengan prinsip-prinsip hidup yang mereka yakini.

Pencapaian semacam ini tidak selalu menjadi sebab utama kenapa kita mengagumi sesuatu. Yang membuat kita kagum adalah ketika kita mendapat cukup informasi tentang nilai-nilai kemanusiaan yang SID jalankan dengan baik di tengah tugas-tugasnya sebagai musisi.

Baca Juga: Tampil Perdana Bareng Jerinx, Superman Is Dead Ajak Nora Duet di Atas Panggung!

Reuni di Ruang yang Suram

Suatu hari pada 20 Oktober 2020, saya duduk di sebuah ruang dan melihat Mas Jerinx dari jarak sekian meter. Di ruangan itu, bangku-bangku berjajar ke samping dan ke belakang. Di depan kursi saya persis ada istri Mas Jerinx, Mbak Nora, yang duduk bersama dengan seorang kawan. Di kursi deret terdepan ada Mas Bobby dan Mas Eka. Sejujurnya, hari itu adalah untuk kali pertama saya menyaksikan semua personil SID secara utuh.

Editor : Alvin Bahar

Baca Lainnya

Latest