Follow Us

facebookinstagramyoutube_channeltwitter

Menanggapi Kasus Meme Stupa Roy Suryo, Pakar Unair: Kebebasan Berekspresinya Melebihi Batas

Tanya Audriatika - Jumat, 05 Agustus 2022 | 13:05
Seorang umat Budha bernama Kurniawan Santoso (kiri) bersama kuasa hukumnya Herna Sutana (kanan) usai melaporkan Roy Suryo terkait unggahan meme Stupa Candi Borobudur Mirip Jokowi ke Mapolda Metro Jaya, Senin (20/6/2022).
KOMPAS.com/Tria Sutrisna

Seorang umat Budha bernama Kurniawan Santoso (kiri) bersama kuasa hukumnya Herna Sutana (kanan) usai melaporkan Roy Suryo terkait unggahan meme Stupa Candi Borobudur Mirip Jokowi ke Mapolda Metro Jaya, Senin (20/6/2022).

HAI-Online.com - Akhir Juli lalu, cuitan dari akun media sosial Twiiter Roy Suryo @KRMTRoySuryo2 sempat membuat heboh lantaran ia mengunggah meme stupa Candi Borobudur yang diedit menjadi wajah Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Melansir dari Kompas.com, atas kasus tersebut, pakar telematika sekaligus mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) itu dijerat pasal ujaran kebencian bernuansa SARA sampai penistaan agama.

Kasus ini juga menuai beragam macam respon dari masyarakat, salah satunya Pakar Komunikasi Politik Universitas Airlangga (Unair), Dr. Suko Widodo Drs. M. Si..

Ia menilai kalau tindakan yang dilakukan Roy Suryo kurang etis. Menurutnya, perilaku mengekspresikan pikiran dan perasaan lewat teknollogi komunikasi dapat berdampak pada potensi pelanggaran etika komunikasi.

“Acapkali kebebasan berekspresi itu melebihi batas,” ucap Suko dikutip dari laman Unair.

Beliau menyebut dalam berkehidupan juda ada yang namanya norma sosial.

Baca Juga: Bongkar Ritual Ariel Sebelum Manggung, Crew NOAH: Dia Teliti!

“Saya melihatnya sebagai (pesan, Red) yang merusak marwah orang maupun tempat suci. Kan Borobudur tempat suci. Cara kritik atau pesan yang disampaikan juga nggak elok sesuai dengan etika,” lanjut Suko.

Suko menungkapkan, dalam penggunaan meme seperti kasus meme stupa yang dibuat Roy Suryo juga punya batasan candaan.

Ia menyebut kalau dalam melakukan candaan meme, perlu melihat candaan yang dapat dinikmati oleh kalangan tertentu, dan mana candaan yang dapat dinikmati ruang publik.

“Seringkali banyak yang nggak ngeliat batasan itu. Dan, itu [meme sebagai candaan] harus ada pertanggungjawabannya,” tegasnya.

Suko menyebut cara berekspresi masyarakat Indonesia di sosial media termasuk dalam negara nggak sopan di dunia.

Hal ini lantaran kurangnya literasi digital yang dimiliki oleh masyarakat. Selain itu, adanya culture shock masyarakat terhadap kemajuan teknologi nggak dibarengi dengan kemajuan berpikir dan kemampuan bijak menggunakan sosial media.

“Kita ini masih belum siap sebenernya dengan kecepatan teknologi, apalagi norma sosial si sosmed masih belum terbentuk, dan undang-undang seperti ITE masih belum sempurna,” pungkasnya. (*)

Editor : Hai

Baca Lainnya





PROMOTED CONTENT

Latest

x