HAI-Online.com – Kalian pasti udah nggak asing sama Kota Solo atau Surakarta. Sebagai kota yang punya kekayaan sejarah, budaya sampai kuliner, Solo kerap jadi destinasi liburan bagi wisatawan, baik lokal maupun mancanegara.
Namun, pernahkah kalian bertanya-tanya, sebenarnya apa sihperbedaan Solo dengan Surakarta? Terus mana yang penyebutannya benar?
Menjawabpertanyaan ini, Dekan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Prof. Wartomenerangkan bahwa kota yang berada di Provinsi Jawa Tengah ini pada mulanya memang bernama ‘Sala’.
Pasalnya, kota yang berada di tepi Sungai Bengawan Solo ini dulunya merupakan sebuah desa “perdikan” yang bernama Desa Sala. Sebelum jadi seperti sekarang, desa ini dipimpin oleh seorang kiai bernama Ki Gede Sala atau biasa disebut juga Kiai Sala.
“Itu nama yang punya sejarah panjang. Jadi, Kota Solo yang sekarang kita kenal itu kan awalnya dari sebuah perpindahan kerajaan dari Kartosuro ke Surakarta tahun 1745,” jelas Prof. Warto, melansir laman uns.ac.id pada Senin (11/10/2021).
Baca Juga: Sama-Sama dari Minang, Ini Bedanya Nasi Kapau dengan Nasi Padang
Kemudian, seiring kedatangan orang-orang Belanda, penyebutan nama Sala yang semula menggunakan huruf “a” berubah menjadi “o” sehingga pelafalannya berubah menjadi Solo.
“Dengan huruf ‘a’. Ingat huruf Jawa ‘o’ dan ‘a’ punya perbedaan yang sangat penting. Kalau Sala ditulis dengan huruf Jawa nglegena atau telanjang. Kalau di-taling-tarung jadi ‘o’ makanya So–lo gitu. Dan, alasannya Sala jadi Solo karena orang Belanda susah ngomong Sala,” ungkapnya.
Selain itu, ia menjelaskan bahwa Desa Sala yang awalnya merupakan desa perdikan berubah menjadi pusat kerajaan dengan berdirinya Keraton Surakarta Hadiningrat.
Pemilihan Desa Sala sebagai lokasi baru keraton didasarkan pada pertimbangan Tumenggung Hanggawangsa, Tumenggung Mangkuyudha, dan J.A.B. van Hohendorff usai Keraton Kartasura hancur akibat Geger Pecinan.
Dalam sejarahnya, Geger Pecinan terjadi akibat pemberontakan pada tahun 1740 yang berhasil menghancurkan Keraton Kartasura. Walaupun Keraton Kartasura berhasil direbut kembali, namun Pakubuwana II yang kala itu masih berkuasa menganggap lokasi keraton sudah kehilangan “kesuciannya” dan berinisiatif memindahkannya ke lokasi yang baru.
Akhirnya, terpilihlah Desa Sala sebagai lokasi baru keraton.