HAI-ONLINE.COM - Gaya Coldplay yang sederhana, nggak "rockstar", jauh dari kesan glamor, kini mungkin biasa aja. Tapi pada awal mereka terbentuk, terutama pas era rilis debut album Parachutes, Coldplay justru jadi istimewa.Maklum, pada masanya, ada rumus yang kerap dipake grup-grup baru biar bisa eksis dalam industri musik rock. Yakni, kudu berani tampil kontroversiai. Tapi, rumus ini nggak berlaku buat Coldplay. Pasalnya, polah yang disajikan kuartet asal Inggris ini bertolak belakang banget sama tingkah yang banyak 'dijual' band-band pendatang baru lainnya. Nggak ada sajian kasus trauma masa kecil, kebencian atau perilaku seksual yang terlalu diekspos. Semua ditampilkan bersih dan lurus-lurus aja.Kiprah Coldplay dimulai ketika Will Champion (drum) dan Chris Martin (vokal/gitar) berkenalan di tim hoki kampus mereka, University College London, sekitar tahun 1996. Nggak cuma dalam soal hoki aja mereka kompak. Soal musik pun dua orang ini punya kesamaan selera. Dalam sebuah pesta penerimaan mahasiswa baru, keduanya bertemu dengan Jonny Buckland (gitar) yang belakangan mengenalkan mereka pada Guy Berryman (bas). Setelah itu, seperti kata orang, sejarah pun terjadilah.Nama Coldplay sendiri diambil dari nama bekas, yang pernah dipake band lain yang hobi banget gonta-ganti nama. "Hampir tiap minggu itu band ganti nama!" kisah Will, "sayang aja ngedenger nama sebagus itu nggak dipake."
Baca Juga: Bulan Juli 15 Tahun Lalu, Kangen Band Terbentuk. Kenapa Sih Dulu Banyak yang Benci Mereka?
Setelah ngerasa lebih pede dengan corak musiknya, band mulai kepikiran untuk merekam sebagian materi yang udah dibuat. Berbekal modal sebesar 200 pound dari seorang teman, Phil Harvey - yang lalu kebagian tugas jadi manajer, sekitar 1998 band mulai proyek rekaman. Namanya juga anak kuliahan, sesi rekaman cuma bisa dilakukan tiap akhir minggu. Biar gitu, mereka tetep menggarap semuanya dengan serius.Nggak lebih dari sebulan, rekaman kelar. Hasilnya 3 lagu yang kemudian dirilis secara independen dalam jumlah nggak lebih dari 500 biji. Konyolnya, mini-album yang dikasih judul, Safety itu bukannya habis karena terjual. Sebagian besar ludes karena dibagi-bagiin ke beberapa perusahaan rekaman dan kerabat dekat personel. Hingga ketika beberapa toko kaset bersedia menjualnya, stok yang tersisa cuma 50 biji! Desember 1998, momen penting terjadi dalam karir Coldplay. Dalam sebuah konsernya, band berhasil menarik perhatian seorang kolumnis dari NME (tabloid musik yang paling bergengsi di Inggris- RED) yang juga pendiri Fierce Records yang notabene termasuk salah satu label independen sohor di sana.Dibeking penuh oleh label itu, band merilis mini-album kedua mereka yang dikasih judul Brothers & Sisters bulan Januari 1999. Biarpun masih dalam jumlah terbatas, sekitar 2500 kopi, setidaknya mini album itu mampu memberi angin segar buat band.
Pasalnya, sejak itulah kiprah mereka mulai dipantau dan disebut- sebut sebagai the next big thing di blantika musik, khususnya, Inggris. Nggak sampe setaon, tepatnya Juli 1999, setelah sukses merebut hati massa di New Band's Stage-nya Festival Glastonbury serta muncul sebagai pembuka dalam rangkaian turnya Catatonia, Coldplay kembali bergiat di studio. Hasilnya, lagi-lagi, sebuah mini- album yang dikasi judul The Blue Room. Dan lagi-lagi, mini-album itu mendapat respon yang sangat positif, baik dari pasar maupun media. Berbekal semua itu, band mulai tergerak untuk membuat sebuah album penuh. Apa daya, jadwal manggung mereka padat betul. Tapi bukan Coldplay namanya kalo nggak optimis. Alhasil, kerja gila-gilaan pun dijalani sepanjang September 1999 hingga April 2000, dengan menyelipkan jadwal rekaman di antara serangkaian tur yang kudu pula dijalani. Seakan nggak sabar buat menunggu keseluruhan album kelar dikerjain, pihak label memutuskan untuk merilis beberapa materi yang udah beres dalam bentuk singel. Maret 2000, singel Shiver pun dirilis. Diikuti sebulan kemudian dengan rilis Parachutes.Dan seperti dugaan banyak orang, album ini langsung aja menyodok ke jajaran album terlaris di Inggris. Satu hal, selain musik, yang bikin Coldplay begitu mendapat tempat di hati publik adalah sikap personelnya yang nggak neko-neko. Status kuliahan yang disandang tiap personelnya, sedikit banyak juga ngebantu pembentukan imej band secara keseluruhan. Begitu juga dengan kenyataan kalo para personelnya sangat anti dengan drugs.
Terutama Chris. Vokalis satu ini bahkan nggak merokok dan berusaha sebisa mungkin nggak menyentuh alkohol. Sikap seperti itu, nggak pelak sempet membuat band dijuluki the indie-rock-boyband. "Ah, biar aja. Kenyataannya kami emang sempet kok, ngebantuin salah seorang temen kami yang ngebentuk boyband," komentar Chris, sedikit nggak nyambung. "Jadi ya, emang antara kami dan boyband, nggak pernah ada masalah!"
Sebutan seperti itu nggak lama bertahan, menyusul sukses yang dicetak band ketika tampil untuk kedua kalinya di Glastonbury 2000, 23-25 Juni. Kali ini nggak lagi di New Band's Stage, tapi udah masuk daftar penampil di Pyramid Stage, yang notabene adalah panggung utama.Kederhanaan Coldplay, yang pada saat itu bisa dibilang "anti-tesis rock n roll" justru bikin mereka beda dari yang lain. Kesuksesan dengan cepat menghampiri.
Justru, sebenernya Coldplay yang rock n roll sejati karena prinsip be yourself mereka. Nggak ikut-ikutan yang lain, meski mungkin kelihatannya jadi seperti mahluk dari planet lain. Keren kan?