Hai-Online.com – Mudah didapat, praktis, dan enak, adalah beberapa alasan bagi orang yang suka mengonsumsi makanan cepat saji alias fast food. Namun, sebuah penelitian mengatakan bahwa bagi remaja yang sering mengonsumsi fast food dapat beresiko depresi.
Studi ini dilakukan oleh University of Alabama di Birmingham. Mereka menemukan bahwa salah satu penyebab meningkatnya depresi pada remaja di Amerika Serikat adalah karena tingginya konsumsi fast food sementara pola makanan nabatinya rendah.
Penelitian ini dilakukan dengan melibatkan 84 pelajar sukarelawan yang terdiri dari perempuan dan laki-laki. Setelah peneliti menganalisis urine dari para pelajar tersebut, ditemukan bahwa pada pelajar yang mengalami depresi, kadar kaliumnya lebih tinggi dibanding kadar kaliumnya.
Baca Juga: Viral Video Pemuda Keluarin Jurus Silat Pas Mau Ditilang Polisi
Menurut ketua departemen psikologi University of Alabama, Sylvie Mug, kadar natrium tinggi menunjukkan tingginya juga konsumsi makanan olahan yaitu makanan cepat saji, makanan beku, dan cemilan yang tidak sehat.
Setelah peneliti mengaitkan dengan variabel lain seperti berat badan, usia, tekanan darah, dan hasil dari penelitian ini pun masih akurat. Menurut kontributor kesehatan dan nutrisi CNN, Lisa Drayer, penelitian tersebut masuk akal karena makanan kaya kalium adalah makanan yang sehat.
“Jadi, jika remaja memasukkan lebih banyak makanan kaya kalium dalam pola makan mereka, mereka kemungkinan akan memiliki lebih banyak energi dan merasa lebih baik secara keseluruhan yang tentunya akan mengarah pada rasa kesejahteraan yang lebih baik dan peningkatan kesehatan mental,” ungkapnya.
Di Amerika, depresi di kalangan remaja memang meningkat. Data pemerintah federal mengungkapkan, tingkat depresi utama di antara anak berusia 12 sampai 17 tahun melonjak hingga 52 persen antara tahun 2005 dan 2017.
Namun, para peneliti mengakui adanya faktor-faktor lain yang juga memengaruhi tingkat depresi remaja seperti penggunaan sosial media yang berlebihan dan juga kurangnya waktu tidur yang parah. Sehingga, penelitian semacam ini masih harus terus dilakukan. (Lubna Shafira/HAI)