HAI-ONLINE.COM - Nggak hanya musisi atau seniman aja yang menanggapi adanya Rancangan Undang-undang (RUU) Permusikan, tapi juga dari berbagai kalangan.
Seperti Asfinawati contohnya, selaku Direktur Eksekutif Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Terkait RUU Permusikan, Asfina dengan jelas memaparkan kalau Pasal 5 dari RUU Permusikan adalah pasal karet.
"Di pasal 5, ada ayat dalam proses kreasi, dilarang mendorong kekerasan," ujarnya, ketika ditemui HAI di Selatan, Kemang, Jakarta Selatan, pada Rabu (6/2) sore.
Baca Juga : Arian 13: RUU Permusikan Nggak Bisa Direvisi, Banyak yang Kacau!
"Apa maksud dari kata 'mendorong' ini? Dalam hukum, ini adalah pasal karet. Ini bukan contoh membuat pasal yang baik, harusnya pakai kata 'mengajak'. Tapi ini 'mendorong' seakan ada proses nggak langsung," tambahnya.
Lebih lanjut, Asfina menjabarkan kalau musik adalah salah satu hal serius untuk dijadikan sarana ekspresi, termasuk kritik sosial.
"Musik, di rezim tertentu, sudah menjadi sarana untuk ekspresi, termasuk kritik sosial. Kita bayangkan kalau negara takut sama film, musik, buku," ungkapnya.
"Jadi, musik, buku, film adalah indikator demokrasi," pungkasnya.
Kini, sebuah petisi online sudah ada di dunia maya. Sampai saat ini, petisi itu sudah ditandatangani lebih dari 238 ribu orang.