Cerita Bersambung HAI: Menembus Langit Ep 22

Rabu, 15 Februari 2017 | 11:00
Alvin Bahar

Ilustrasi: Gio

Sambungan dari Part 21

22

MARTABAK PELANGI

Sorak-sorai penonton membahana dari dalam stadion. Bergemuruh, menggetarkan bangunan besar yang menampung puluhan ribu manusia penggemar bola sepak. Pantas meriah sekali, rupanya ada dua kesebelasan lokal papan atas yang sedang menuntaskan perjuangan, berlaga di partai puncak guna menentukan sang pemenang kompetisi. Pertandingan pamungkas yang digelar di kuil olahraga megah ini menjadi tontonan yang sangat dinanti oleh para suporter kedua tim. Final kali ini benar-benar menjadi ajang adu gengsi dari dua klub besar yang sama-sama memiliki banyak fans.

Tanya punya tanya, kick off dilakukan tak lebih dari 5 menit lalu. Walau sudah mulai, tentu aku tak khawatir dengan pertandingan panas dan mendebarkan malam ini. Pasalnya, bukan klub sepak bola dari Tatar Sunda yang sedang bertanding. Kalau saja Persib, klub favoritku, yang ada di dalam, tentu aku akan berusaha dan memaksakan diri untuk mencari tiket masuknya. Tak peduli tiket itu harus kudapatkan dari calo dengan harga selangit sekalipun, aku akan rela demi menonton langsung aksi Pangeran Biru yang bukan saja menjadi kebanggaan Kota Bandung, melainkan juga kesayangan masyarakat Jawa Barat.

Calo bukan hanya ada di Indonesia. Itulah yang kusaksikan dan kualami saat ini. Mereka juga tak kalah kejam. Beberapa saat lalu, aku ditawari tiket dengan harga yang tak masuk akal. Tentu saja aku menolaknya. Bukan semata karena harganya yang kelewatan dan kebangetan, aku memang tak berniat menonton pertandingan. Aku hanya tak sengaja melewati stadion untuk melihat-lihat keramaian di sekitarnya.

Soal calo, di mana pun pasti banyak orang yang tak menyukainya. Namun, tidak bagi mereka yang tergila-gila pada klub idolanya. Berapa pun harga yang dibanderol, tiket di tangan para calo tetap bisa ludes terjual. Inilah sepak bola, hiburan rakyat dengan sejuta pesona. Sepak bola membius para fans fanatiknya dan menyuguhkan tontonan pelepas lelah bagi siapa pun. Seru dilihat, geregetan saat menikmati jalannya pertandingan. Begitulah sepak bola yang dengan pesonanya bisa membuat emosi teraduk-aduk sepanjang 2x45 menit.

Lagi-lagi seorang calo menghampiriku, berusaha menjajakan tiket pertandingan malam ini. Risih, aku coba menjauh. Kutuntun sepedaku mengelilingi stadion guna menghindari mereka. Ternyata bukan calo saja yang beredar di sekitar stadion. Penjual makanan juga tak kalah banyak. Mereka menggelar lapak di sepanjang pelataran, berharap agar dagangannya laku. Mulai dari jualan merchandise klub, aksesoris suporter, hingga makanan serta minuman ringan dijajakan para pedagang itu. Bagi mereka, pertandingan sepak bola adalah berkah.

Melihat deretan lapak dan gerobak kuliner, selera makanku tergugah. Perutku keroncongan walaupun jenis makanan yang dijajakan tak semewah sajian di restoran atau rumah makan mentereng. Dari sekian banyak pedagang yang mangkal, aku memilih merapat ke pedagang makanan yang sering aku temui di Serang. Ya, di sana ada juga martabak manis. Makanan berbahan dasar tepung dan telur itu telah memincutku. Bentuknya mini, seperti dua apem selong ditumpuk yang pernah menjadi oleh-oleh bibiku dari Surabaya ketika aku kecil.

Ada berbagai macam rasa yang ditawarkan, penuh warna. Mulai dari pisang, cokelat, kismis, durian, dan keju. Makanya si penjual menamakan makanan yang dijajakannya itu martabak pelangi. Nama itu terpampang di stiker yang menempel di depan gerobaknya. Meski mini, kulihat porsi martabak itu masih cukuplah untuk sekadar mengganjal perut malam ini. Harganya pun sepertinya bersahabat.

“Berapa harganya?” tanyaku kepada sang penjaja makanan berambut klimis dan berkumis tipis. “80 sen, silakan,” jawab si penjual sambil merapikan barang dagangannya yang terlindung di dalam kotak kaca. Ia pun mempersilakan aku untuk mencoba mencicipi dagangannya itu. Pria yang terlihat gesit ini memang sangat bersahabat. Tanpa malu-malu, dengan cekatan, aku mencomot satu, rasa keju. Nyam, enak sekali. Bukan karena lapar, tapi rasa makanan ini memang menggugah selera. Nikmatnya sudah terasa saat gigitan pertama.

“Sepi sekali?” Kucoba berbasa-basi sambil mengunyah martabak yang separuhnya masih aku pegang.

“Awak nih gimana… Semua orang sedang menonton bola,” ujar si penjual martabak. Wajahnya sedikit merengut. Memang betul apa yang dikatakannya, tapi rengutannya sekarang beda. Bukan rengutan yang disebabkan oleh pertanyaanku tadi. Aku perhatikan dan menebak, bisa jadi ia tak bersemangat karena makanan yang dijajakannya ini belum laris seperti yang diharapkan. Aku lihat sendiri, tumpukan martabak yang ada di dalam kotak kaca itu terus meninggi.

“Oh, iya.... Betul,” kataku sambil tersenyum. Aku pun berbasa-basi lagi. “Masih banyak makanannya?” Mudah-mudahan pertanyaanku kali ini tak membuat si penjaja merengut seperti tadi.

“Iya, tadi telat datang,” selorohnya. Aku pun bergumam dalam hati, “Oh, pantas martabaknya masih banyak.” Kalau saja disiplin waktu, pasti tidak sedikit penonton yang ingin mencicipi martabak itu sebelum masuk ke stadion.

“Siapa awak?” Semua orang yang pertama kali melihat penampilanku pasti akan bertanya yang sama. Mencari tahu sosok unik yang berpakaian cokelat-cokelat ini. Aku tak akan pernah bosan menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti itu.

“Saya dari Indonesia. Nama saya Fauna,” jelasku memperkenalkan diri. Karena tangan kananku belepotan minyak dari martabak yang tadi kupegang, aku tak mengajaknya bersalaman. Aku hanya merapatkan kedua telapak tanganku dan mengangkatnya sebagai tanda salam hormat.

“Dari Sumatera?” tanya si penjual martabak lebih spesifik. Aku terhenyak sejenak. “Mengapa dia bisa menyangkaku orang Sumatera? Apa wajahku mirip orang Batak?” gumamku. Padahal wajahku lebih dekat dengan raut orang India. Hitam kearab-araban.

“Bukan, saya dari Serang, Banten,” tegasku. Aku bangga menyebut kota asalku, Serang, kepada semua orang yang kutemui.

Mendengar jawabanku, si penjaja martabak memberikan respons yang membuatku terkejut. “Kumaha damang?” katanya. Aku pun memandang dalam-dalam ke wajahnya. Ah, dia memang seperti dari Jawa Barat.

“Awak dari Indonesia?” tanyaku menduga-duga. Benar saja, namun dia bukan orang Jawa Barat.

“Iya, dari Pagaralam,” jawabnya menyebutkan salah satu daerah yang sepertinya familiar dalam ingatanku namun lamat-lamat saja. Aku coba mengingat-ingat daerah yang baru saja dikatakan olehnya. Ah, daripada salah, aku tanya untuk memastikannya.

“Di mana itu Pagaralam?”

“Pagaralam, Sumatera Selatan. Tapi, orang tua keturunan Solo,” jelas dia. Aku pun teringat, Pagaralam itu sebuah kotamadya. Daerahnya berdekatan dengan Gunung Dempo, gunung tertinggi di Provinsi Sumatera Selatan.

Perbincangan pun berlanjut. Kami bercerita tentang daerah masing-masing. Tentang keramahan masyarakat Kota Serang dan dinginnya Kota Pagaralam. Andi, si penjual martabak itu, jadi antusias berbincang denganku. Maklum, orang yang dia temukan ini terbilang aneh. Bukannya melanjutkan sekolah atau bekerja, selepas SMA malah bersepeda keliling dunia. Tapi, Andi tidak mencibirku. Dia malah merasa beruntung bertemu denganku.

Dari gelagatnya, ia ingin tahu banyak tentang diriku. Tentu aku dengan senang hati memberikan informasi apa pun yang diinginkannya. Jalinan persahabatan langsung terpupuk malam Minggu ini. Suasana keakraban menjadi sebuah kebahagiaan yang dirasakan dengan hangat. Kami berdua terduduk di atas gundukan tanah pinggir taman dan larut dalam perbincangan seperti layaknya dua sahabat yang sudah lama tak bertemu. Andi dan dan Fauna asyik berbagi kisah.

***

llustrasi: Gio
Tempo sorak-sorai penonton di dalam stadion mulai menurun, tak lagi seriuh pada awal laga. Kini yang terdengar hanya lantunan yel-yel. Itu pun sayup-sayup saja. Yel-yel dengan nada lagu-lagu yang populer memang bak lagu wajib bagi para fans klub sepak bola. Tak di sini, tak di Eropa, sama saja. Itulah cara mereka menunjukkan eksistensi di stadion dan memompa semangat para pemain yang membela klub pujaan mereka.

Rupanya babak pertama pertandingan final itu sudah berakhir. Sesuai peraturan FIFA, setelah babak pertama berakhir, para pemain mendapatkan masa rehat. Durasinya paling lama 15 menit, kecuali ada insiden yang membuat wasit harus memperpanjang masa rehat tersebut. Dalam keseharian, kita mengenal masa rehat ini dengan istilah turun minum. Turun minum bukan hanya berguna untuk memulihkan kebugaran dengan setidaknya menenggak air minum, melainkan juga untuk mengatur taktik dan strategi saat melakoni babak kedua nanti. Adapun bagi penonton, 15 menit turun minum adalah saat untuk menurunkan ketegangan, mengendurkan urat-urat syaraf.

“Mas Andi, bagaimana kalau saya bantu jualan martabaknya?” Tiba-tiba saja naluri bisnisku keluar. Siapa tahu yang ditawari bantuan menyambut dengan gembira.

“Ini kan saya sedang berjualan. Kamu tidak lihat memang?” ucap Andi seraya membolak-balikkan martabak dengan kayu bergagang yang ujungnya pipih.

“Maksud saya, saya bantu jualan di dalam stadion,” jelasku.

“Boleh saja, tapi bagaimana mungkin? Gerobak ini tidak diperbolehkan masuk,” ujar Andi yang selera humornya mulai keluar.

“Bukan itu maksudnya,” senyumku merespons dagelannya, dan Andi pun memahami apa yang aku maksud.

“Bisa saja,” ungkapnya. Tentu yang aku tawarkan dapat membuat ringan si penjual martabak.

“Wah, sip Mas Andi,” jempol jari kanan aku angkat. Menandakan bahwa hal yang sedang kami bicarakan benar-benar mantap untuk dijalankan. Kesepakatan mulai dibicarakan seperti saat aku berbisnis jualan es mambo sewaktu sekolah dasar dulu.

“Bagus.” Andi membalas jempolku. Bedanya dia memberikan dua jempol.

“Tapi, ada syaratnya…” Aku coba memberanikan diri untuk bernegoisasi. Anak pramuka yang satu ini memang benar-benar tak mau rugi. Ya, supaya sama-sama enak dan diuntungkan.

“Apa itu?” Andi penasaran. Ia pun tampak berharap agar negoisasi dariku tak memberatkan.

“Saya jual martabak Mas Andi di dalam stadion, tapi saya dibelikan tiket. Bagaimana?” kataku. Rasanya syarat itu tidaklah memberatkan. Namun, sepertinya tidak demikian bagi Andi. Lama dia merenung, berpikir dalam-dalam, usai aku mengatakan hal itu.

“Hm.., sebentar...” Andi menengadahkan wajahnya ke langit, matanya menatap gemerlap bintang. Dia menimbang-nimbang syarat yang kuajukan.

Kebetulan aku melihat seorang calo tiket sedang duduk di pinggir taman sambil memegang satu tiket yang tersisa. Kalau sudah satu babak, pasti harga tiket yang awalnya selangit itu bisa turun drastis. Saat Andi masih berpikir dan menghitung-hitung dagangannya, aku mendekati si calo itu. Dugaanku benar, setelah bicara sebentar, si calo mau melepas tiketnya dengan harga miring. Tentu saja dia mau melepasnya dengan harga miring. Itu jauh lebih baik daripada tiketnya hangus begitu saja. Mendapat kabar gembira itu, aku kembali kepada Andi. Mengajukann permintaan yang sama, dan mengulang pertanyaan serupa.

“Saya ambil martabaknya dari Mas Andi 80 sen. Di dalam stadion, saya diperbolehkan menjualnya lebih dari itu. Bagaimana dengan tawaran tersebut, setuju?” paparku to the point saja. Biar jelas transaksi jual belinya dan sama-sama enak.

“Tiket masuk kau?” tanya Andi yang khawatir aku tak bisa masuk ke dalam stadion. Padahal, sebelumnya, aku sudah mengatakan, soal itu menjadi tanggung jawab si penjual martabak.

“Saya sudah menawar kepada calo yang duduk di sana, bisa setengah harga tiketnya.” Tentu hal itu bisa meneguhkan Andi untuk meneruskan bisnis satu malam ini. Biar tak ada rasa curiga, Andi aku antar dan biar dia sendiri yang membeli tiket kepada si calo. Andi pun tampaknya sekarang tidak merasa keberatan dan langsung merogoh koceknya untuk menuntaskan pembelian tiket.

Akhirnya, tiket sisa satu babak sudah berada di genggamanku. Misi dimulai untuk memperjuangkan martabak pelangi.

“Oke kalau begitu,” ucap Andi. Mudah-mudahan bisa laris makanannya.

“Ikhlas?” tanyaku mempertegas kesepakatan ini. Tak lupa kuulurkan tanganku untuk berjabat tangan sebagai tanda persetujuan terhadap sebuah kesepakatan.

“Iya, ikhlas,” jawab Andi seraya membalas uluran tanganku. Dia lalu merapikan makanannya ke dalam baki yang terbungkus. Agar tak terkena debu, plastik bening aku bentangkan di atas baki yang berisi tumpukan martabak segala rasa. Aku pun melenggang masuk ke dalam stadion dengan sejuta harapan.

Nilai jualku tinggi. Ketika melangkahkan kaki masuk ke dalam stadion, aku menetapkan sendiri harga martabaknya. Aku rasa harga 2 ringgit cukup bagus. Apalagi di dalam jarang ada makanan, kemudian para penonton pasti butuh kudapan pada rehat jelang babak kedua ini.

Tak disangka, belum saja lima langkah aku berjalan, di barisan bangku paling akhir sudah banyak yang ingin membeli martabak yang aku bawa. Antusisme begitu di luar dugaan.

“Silakan, martabak!” Aku menawarkan makanan yang kubawa. Rupanya kehadiranku benar-benar dibutuhkan. Keberadaan anak pramuka di dalam stadion ini menjadi dewa penolong bagi mereka yang ingin mengisi perut.

“Beli satu!” teriak seorang bapak. Memang harus berteriak karena suasana di tribun penonton luar biasa riuh. Kalau ingin berbincang saja, suara harus dikeraskan agar terdengar oleh lawan bicara. Situasi seperti itu membuatku harus lebjh berkonsentrasi agar bisa mengerti perkataan para calon pembeli.

“Dua ringgit.” Aku memberi informasi harga, coba memancing respons dari mereka.

“Hah! Mahal sekali?” protes si bapak sementara martabak yang tadi dicomotnya sudah tergigit separuh. Nampaknya dia geram dengan harga yang aku berikan. Aku pun menjelaskan alasan harga martabaknya menjadi naik. Aku punya alasan kuat untuk menaikkan harga jualnya.

“Saya masuk tidak free,” jelasku sambil mengibas-ngibaskan tiket masuk yang tadi dibelikan Andi. Tiket yang dibeli tentu secara otomatis mendongkrak harga martabak. Bagaimanapun, itu menambah biaya yang harus dikalkulasikan juga ke harga barang dagangan. “Tiket masuk ini mahal.”

“Oh, ya I see,” seru si bapak memakluminya. Dia kemudian mengeluarkan uang untuk melunasi martabak yang baru saja dia lahap. Malah nambah lagi sampai membeli 3 martabak rasa coklat. Belum selesai aku menerima uang dari si bapak tadi, ada beberapa penonton lainnya yang mendekat. Benar adanya, mereka butuh sekali camilan. Makanan yang aku bawa menggugah rasa lapar. Mereka tak ubahnya monster yang sudah lama belum melahap mangsa.

Namun demikian, semuanya mengatakan sama, harga martabak ini tidak seperti biasa. Sebagai jawabannya, kukeluarkan tiket yang dibeli dari calo. Kupamerkan kepada pembeli martabak yang protes bahwa aku masuk ke stadion ini dengan modal yang cukup besar. Jadi, wajar saja kalau harga martabaknya tidak normal. Anehnya, semua penonton di sini tak memedulikan harga martabaknya. Kalau sudah aku tunjukkan tiket, mereka semua rela membeli martabakku dengan harga 2 ringgit. Tiket yang aku pegang ini telah menjadi kartu as dalam usahaku menjual martabak titipan Andi.

Tak perlu keliling lebih jauh, seperti bintang lapangan, martabakku jadi idola juga. Permintaan martabak di luar dugaan sebelumnya, tak terbendung. Seratus martabak yang aku jual laris dalam sekejap. Aku pun tak mengira, berjualan makanan di dalam stadion sungguh menjanjikan. Jadinya, aku tak perlu berjalan lagi, menjajakan makanan hingga akhir pertandingan. Cukup berdiam diri, para penonton bak lalat yang menghinggapiku.

***

“Cepat sekali kau kembali?” tanya Andi terheran-heran begitu melihat aku tergopoh-gopoh berjalan ke arahnya. Dia terkejut luar biasa mengetahui martabak yang kubawa ke dalam stadion tadi tandas tak bersisa.

“Laris!” kataku, pendek saja. Tentu dengan wajah berseri-seri karena membawa hasil yang sangat memuaskan. Bukan perkara gampang menjual seratus martabak dan mengosongkan baki wadahnya.

“Hebat! Kau jual berapa?” Mendengar pertanyaan itu, aku tak lekas menjawab. Dalam hati, aku bergumam, “Wah, Mas Andi mau tahu saja rahasia perusahaan. Bukankah sudah menjadi hakku untuk menaikan harga semauku? Tadi kan sangat jelas, perjanjiannya aku ambil 80 sen dan bebas menjual berapa pun kepada penonton.” Tapi, bagaimanapun, aku harus tetap menjunjung transparansi. Kalau dia ingin tahu harga yang kutetapkan, ya aku mesti mengatakannya dengan jujur, tak perlu ditutup-tutupi.

“Dua ringgit.” Aku akhirnya menjawab. Memang demikian adanya. Untuk setiap martabak pelangi, pembeli harus menebusnya dengan uang dua ringgit.

“Hah... Dua ringgit?” Andi luar biasa terkejut. Dalam hatinya, ia pasti bertanya-tanya bagaimana orang sepertiku bisa menjual martabak dengan harga selangit? Laris manis pula. “Iya, terjual semua. Habis,” jawabku sambil membolak-balikkan baki tempat menaruh martabak. “Kau.., kau corruption!” Tiba-tiba saja Andi menghardikku. Namun, pantas juga dia berang karena aku yang tidak membuat martabak, hanya bantu menjual, justru mendapat keuntungan melebihi dirinya.

“Tidak, tidak, saya tidak korupsi,” tegasku berulang-ulang. Kujelaskan lagi kesepakatan awal yang kami buat. “Saya ambil dari Mas Andi 80 sen dan bebas menjualnya dengan harga berapa pun.” Itu sudah disepakati sebelum aku melenggang masuk ke dalam stadion. Kesepakatan itu memang tidak dituangkan hitam di atas putih dan ditandatangani di atas materai, tapi bukankah jabat tangan tadi sudah cukup?

“Tapi, kau corruption. Untungnya tinggi sekali,” ucap Andi seperti tak rela aku bisa untung lebih dari dua kali lipat.

“Iya, tinggi tapi tidak korupsi. Sesuai dengan kesepakatan kita di awal,” jawabku, lagi-lagi menyinggung perjanjian yang dibuat sebelumnya. Tampaknya, dengan rasa terpaksa, Andi akhirnya mau menerima kenyataan yang ada. Dia menerima fakta bahwa aku berhasil menjual martabaknya dua ringgit per buah. Dan, 100 martabak yang aku bawa ludes dalam hitungan belasan menit. Memang harus demikian Andi bersikap. Menghormati sebuah kesepakatan.

“Saya humor... Tentu kamu tak corruption. Saya salut dengan kamu.” Lega rasanya mendengar penjual martabak dari Pagaralam itu tidak memaksa dan meminta keuntungan lebihnya. Dia malah malah memujiku.

“Terima kasih,” kataku sambil menyodorkan baki dan uang yang menjadi hak si tukang martabak. Toh, melihat pendapatan yang tak sebanding, aku tak enak hati juga. Aku pun melebihkan setoran. Tapi, tak dinyana, dia malah menolaknya. Pria dari Pagaralam ini ternyata tak ingin mengingkari janji yang telah dibuatnya. Inilah bisnis. Bisnis martabak pelangi. Jual sebentar, untungnya besar.

Andi merasa senang dengan kehadiranku. Mungkin, baginya, aku ini sosok pembawa keberuntungan. Makanya tak segan-segan dia mengajakku mampir ke rumah yang dikontraknya. Andi memintaku untuk bermalam agar bisa lebih mengenalku. Aku menolak dengan halus. Tapi, penjual martabak dari Pagaralam itu terus memaksaku.

“Ayolah, semalam saja,” pintanya.

“Saya sudah terbiasa bermalam di tempat terbuka,” jawabku. Pramuka itu kuat, tak pernah khawatir dengan situasi apa pun. Dalam kondisi semerana apa pun harus tetap sabar dan tabah menjalaninya.

“Awak sudah membantu, mari bermalam di rumah!” Lagi-lagi Andi berkeras. Kulihat ketulusan dari ajakannya. Dia akan merasa gembira kalau aku menuruti keinginannya. Sebaliknya, dia tentu akan sangat kecewa bila aku menolaknya. Aku pun tak kuasa menolak permintaan itu. Bagaimanapun, bukankah menyenangkan hati orang lain adalah bentuk ibadah juga?

“Tapi, saya takut merepotkan,” ujarku tanpa maksud berbasa-basi. Aku tahu persis, kalau aku ikut, Andi pasti akan sibuk menjamu tamunya. Aku harus memastikan hal itu tak menambah beban hidupnya.

“Tak repot,” tegasnya. Melihat harapan yang begitu besar dari matanya, aku terharu. Puji syukur aku panjatkan, malam ini benar-benar penuh berkah. Mendapat rezeki besar dan bertemu sahabat baru yang baik sekali.

Dentuman petasan terdengar keras. Langit hitam diwarnai oleh percikan kembang api. Suara peluit panjang dari sang pemimpin pertandingan telah terdengar. Tanda laga telah berkesudahan. Entah siapa yang menang. Aku tak tahu persis dan tak mau tahu juga. Satu hal yang pasti, salah satu tim pasti sedang semringah, mengangkat trofi tinggi-tinggi diiringi riuh penonton yang mengelu-elukan.

Tak ikut gembira bersama tim pemenang, aku dan Andi melenggang meninggalkan stadion. Kami berdua merayakan persahabatan yang mulai terajut. Pagaralam dan Serang menyatu. (*)

Oleh: Edi Dimyati

Editor : Alvin Bahar

Baca Lainnya