Cerita Bersambung HAI: Menembus Langit Ep 6

Rabu, 26 Oktober 2016 | 12:00
Alvin Bahar

Ilustrasi: Gio

Sambungan dari Part 5

6

DEBAT AKTIVIS

Tak kala teori sudah aku kuasai. Mulai menghitung skala jarak di peta hingga mengumpulkan informasi dari semua negara yang ingin disinggahi adalah modal. Ya, perhitungan teoriku selama ini tak pernah meleset soal menerka jarak tempuh. Obsesiku kini coba kusampaikan kepada teman-teman dekat lainnya. Serasa tak bisa disembunyikan lagi. Dan, Wimas menjadi tempat curhatku selanjutnya, setelah Solomon.

Wimas Agung, anak muda keturunan Tiongkok betubuh gemuk. Rajin ke masjid dan sering jadi imam kalau sedang sholat bersama teman-teman. Pria yang memiliki pipi bulat itu menjadi salah satu sahabat karibku. Karena, sewaktu SMP Wimas sering menjadi tim di pangkalan latihan pramuka di Sekolah Mardi Yuana. Sekolah swasta tertua bergengsi yang didirikan misionaris Belanda.

Sama-sama aktivis Pramuka. Aku dan Wimas sudah sering berargumentasi, selalu beradu opini dan kerap berbeda pendapat dalam membicarakan banyak hal. Walau demikian, kami tak pernah emosional, berantem, apalagi sampai memutus tali silaturahim.

***

Dua sepeda terparkir. Bersandar di bangku taman alun-alun kota Serang. Satu sepeda mini merah muda miliku, satunya lagi sepeda balap milik Wimas Agung. Disinilah biasanya aku bertemu dengan sahabatku yang paling subur. Sebuah taman luas yang kerap dimanfaatkan untuk bermain dan berolahraga. Lokasinya persis di sebelah timur sekolah kami. Untungnya, ini bukan bulan puasa. Biasanya, kalau ramadhan tiba alun-alun berbentuk persegi panjang seluas 4 hektar itu banyak dikunjungi pasangan muda-mudi dan keluarga. Berjubel hingga menyulitkan kendaraan untuk lewat.

Hari ini agak lenggang. Siang yang terasa sunyi ini memang aku siapkan untuk ngobrol bersama Wimas, bersenda gurau dengan sahabatku yang paling sering berselisih. Di sini pulalah aku menjadikan alun-alun sebagai rumah ketiga. Rumah pertamaku adalah milik orang tua, yang kedua stasiun Kereta Api Serang sekaligus medan perjuangan saat dulu menjual es mambo.

Di alun-alun ini aku sering sekali bermalam dan tidur hanya beralas sebelah lengan. Kadang bersama teman-teman dan tak jarang pula sendiri.

“ Halo sahabat ! Apa kabar hari ini ? “ sapaku sambil memeluk Wimas.

“ Baik sekali, “ Wimas mendekapkan erat tubuhnya. 10 detik kemudian baru ia melepaskan dekapannya.

“ Alhamdulillah, “ aku senang jika Wimas mengatakan demikian.

“ Bagaimana liburan kau ? “ dia tak balik bertanya perihal kabarku. Wimas malah ingin tahu aktifitasku selama tak masuk sekolah.

“ Seru sekali, aku dan Solomon bersepeda ke Anyer. ” aku sengaja tak mengajak Wimas, karena memang aku ingin lebih fokus bercerita secara personel, tidak masal. Cerita soal keinginan dan obsesiku bersepeda melanglang buana.

“ Wah..wah mengasyikan sekali, ” ungkap Wimas memberikan kesannya setelah mendapat kabarku selama liburan.

“ Iya, kami ngobrol ngalor ngidul di warung kopi pingir jalan pantai Anyer. ” hanya itu saja. Aku tak menjelaskan obrolan-obrolan ku dengan Solomon secara detail.

“ Bagaimana? Tema apalagi yang akan kita diskusikan siang ini?” Wimas memang orangnya tak pernah bersabar, apalagi kalau sengaja diajak berdebat. Begitulah wataknya.

“ Ha.ha.. ha.. tenang, mari kita beralih dulu ke rerumputan di sebelah sana ! ” Aku mengajak ke tempat yang lebih nyaman. Sengaja berpindah tempat karena aku lihat sungguh asik kalau berdekatan dengan rerumputan kecil yang terlihat seperti tikar plastik. Wimas pun tak keberatan beralih dan ia ikut beranjak.

“ Oke, sepertinya santai di sini,” Wimas setuju dengan ajakanku. Pilihan tempat yang tempat untuk berbincang santai.

Sesuai rencana, aku dan Wimas memang akan nongkrong di alun-alun hingga matahari terbenam. Kini kami sedang duduk bersama direrumputan. Aku menghela nafas, berfikir untuk mencari kata-kata yang akan disampaikan kepada Wimas. Sementara itu, pemuda berambut lurus itu sedang menanti apa yang ingin kusampaikan.

“ Wimas Agung, sahabatku,” aku memulai pembicaraan dengan menyebut nama lengkapnya.

“ Iya, Fauna Sukma Prayoga partnerku,” balasnya tak mau kalah.

“ Begini… kawan, menurutmu bagaimana? ” bukan bermaksud menggantungkan pertanyaan. Tapi aku ragu untuk mengatakannya. Tahu sendiri aku dengan watak Wimas.

“ Apanya yang bagaimana ? ” Tanya Wimas penasaran. Ia terlihat sudah tak sabar dengan kalimat penjelasanku itu.

“ Misalnya begini…” aku tak kuasa ngomong to the point. Karena Wimas dikenal sebagai orang yang selalu berbeda pendapat. Apapun tema pembicaraan dan siapapun yang diajak debat, anak muda ini pasti punya pandangan yang berlawanan. Melawan arus.

“ Duh, misalnya bagaimana? Bisakah kau langusung saja ” Wimas sedikit kesal. Aku tertunduk. Nafasku tersenggal, kemudian berdiam sesaat agar bisa lebih tenang aku menyampaikannya.

“ Baiklah, Wimas, bagaimana kalau aku ingin keliling dunia, Wim? Apa pendapatmu? ” Nah, ini langsung pada pokoknya, pertanyaan pertama aku lontarkan mantap.

“ Hahhhh !! ” Benar saja, Wimas terkejut sejadi-jadinya. Matanya melotot, tak berkedip sedikitpun. Tatapannya menusuk titik nyaliku. Mimik wajahnya seperti mengeksekusi bahwa aku ini sudah gila. Sebentar kemudian ia menggeleng-gelengkan kepala.

“ Iya begitulah,” aku berkata dengan tenang. Mencoba untuk sedikit menantang.

“ Kamu serius ? ” keseriusan memang tak sekedar diucapkan dengan lisan. Hari ini belum mulai aku bisa tuntaskan keseriusan itu. Walau hanya baru wacana dan niat, tapi setidaknya itulah bentuk keseriusan keinginan awalku. Wimas bertanya dengan pertanyaan yang wajar. Sudah kuduga bahwa soal ini pasti orang lain akan banyak memberikan keraguan yang kadarnya tidak rendah.

“ Iya aku serius, ” aku menegaskan penyataanku. Wimas masih belum yakin denganku, apalagi untuk langsung percaya dan mengatakan setuju.

“ Naik apa ? hah…, ” Wimas seperti menyepelekanku. Dia berfikir bahwa pasti aku tak punya uang banyak buat membeli tiket pesawat untuk keliling dunia. Kalau itu yang disangsikan tentu sebuah fakta yang tak bisa dibantah. Yang pasti aku tak akan naik pesawat terbang. Selain mahal buatku, jalur itu tidak butuh perjuangan ekstra ketika berkelana.

“ Naik sepeda,” jawabku sambil menunjuk kereta angin berwarna pink kesayanganku.

“ Hahhh !! ,” terkejutnya lebih dari sejadi-jadinya. Sepertinya, buat Wimas, naik sepeda berkelana ke tempat yang jauh sekali adalah sebuah ketidakniscayaan. Banyak resiko yang bakal dihadapi. Belum lagi sepeda mini yang aku punya belum layak menjadi partner menemaniku melanglang buana. Belum cukup tangguh kalau dilihat dari sosoknya.

“ Tekadku sudah bulat, ” raut wajah Wimas masih terlihat keheranan. Gelengan kepalanya ia ulangi lagi beberapa kali. Giginya meringis, gemeretaknya terdengar sedikit seperti memendam amarah. Ia mungkin khawatir dengan kemaunku yang sudah final. Atau mungkin juga ia menganggapnya aku hanya sedang mengumbar bualan semata.

“ Kamu gila ya ? ” Wimas sedang mengecek suasana otakku sepertinya. Bak berlaga jadi dokter syaraf saja yang bebas dan cepat mengeksekusi pasiennya. Aku tak seperti yang disangkakan oleh Wimas.

“ Aku masih waras, Wimas ” aku tentu menolak dibilang gila. Memang demikian faktanya. Aku tidak dalam sedang halusinasi dimana pikiranku melayang ke dunia lain.

“ Kau masih eling? ” dia bertanya lagi dengan kata-kata yang seolah memojokan. Wimas semakin meninggi tensi amarahnya. Ia tak sudi kalau aku tetap teguh dengan impianku sejak kecil.

“ Ya, aku masih sadar, sempurna akal, ” tak ada maksud lain. Aku hanya sedang menangkis eksekusi Wimas. “ Iya, tapi cuma orang gila saja yang punya rencana seperti itu.” Si Wimas memang nggak pernah mau memberikan argumentasi dalam terlebih dahulu. Terus dan terus aku dianggap gila. Harusnya ia memberikan solusi atau sanggahan yang bisa dijelaskan dengan santai.

Wimas bukan Solomon, begitu juga sebaliknya. Peranakan Tiongkok yang beragama Islam itu mungkin mengira bahwa aku ini punya rencana terpendam yang sifatnya main-main. Aku juga kaget melihat tanggapan yang diberikan Wimas. Menohok, tanpa basa basi. Bibirku mendadak mengering, lalu aku sapu dengan lidah.

Aku hanya bisa memakluminya. Memang demikian karakter Wimas. Tak ada kompromi dalam mengunyah dan mengurai sebuah persoalan.

“ Tapi aku ini serius, serius sekali. Ingin sekali aku melanglangbuana,” aku hanya menyampaiakan semua apa kata hatiku.

“Iya, aku paham, serius itu harus tapi kamu harus kaya. Mengelilingi dunia itu butuh uang banyak,” dalam bayangannya, berkelana keliling dunia itu harus bersandar pada materi yang berlimpah.

“Aku….,’” belum sempat melanjutkan Wimas sudah memotong.

“Naik kapal terbang saja, jangan naik sepeda,” bagi Wimas pesawat lebih praktis dan cepat. Tapi tentu tidak akan pernah merasakan sensasi petualangannya dibandingkan lewat jalur darat. Apalagi dengan bersepeda.

“ Apa mesti menunggu kaya raya? Sampai kapan? Sampai kita gila semua ? ’” Aku sendiri tak sadar mempertanyakan hal itu dengan kasar, keluar begitu saja saat Wimas menyarankan untuk naik pesawat.

“ Eh, ya bukan begitu pula. Tapi orang banyak uang itu gampang kemana-mana, mau naik apa saja bisa, mau melakukan apa saja bisa. Sudah kau kumpulkan uang, kemudian naik pesawat, ” tangan kanannya mengapung-ngapung, menyiratkan gerakan kapal terbang di udara. Wimas tak mau kalah berdebat.

“ Bukan begitu, Wim. Kalau menunggu punya banyak duit baru bikin sejarah terlalu lama, “ ucapanku itu menjadi pelampiasan obsesi lama untuk membuat sensasi luar biasa.

“ Ya, terserah kamu kalau begitu, tapi ingat jangan sampai menyusahkan dirimu sendiri,” sinis Wimas mulai nampak dari bahasa tubuhnya. Telunjuknya menekan-nekan dadaku.

Aku hanya mesem-mesem saja. Mencoba untuk tak mengubris apa yang dikatakannya. Tapi, agak terperangah juga dengan emosi Wimas. Menggedor dan mencoba menggoyahkan kebulatan hati. Aku tatap sahabatku itu dengan rasa sabar. Walau di balik itu bergejolak kejengkelan karena Wimas tak mendukungku. Dia adalah sahabat yang sedang mengacaukan rencanaku.

***

Sementara itu matahari mulai condong di ranah barat. Sinarnya sedikit pudar. Aku lihat wajah Wimas nampak berminyak. Entah karena emosi yang dikeluarkan untuk menanggapi keinginanku atau mungkin cahaya matahari yang muncul dari celah pepohonan membiaskan mukanya.

“ Wimas, kau tidak yakin kalau aku mampu mengelilingi dunia dengan sepeda? ” aku berharap ada jawaban lain.

“ Kalau aku punya saran boleh dikatakan sekarang? ” Sergahnya.

“ Wah, boleh, silahkan,” tentu dengan senang hati, siapapun boleh memberikan masukan.

“ Baiklah, Hmmm..begini, sebaiknya kau pikir-pikir terlebih dahulu. Pertimbangkan lagi niat gilamu itu,” lagi dan lagi Wimas berkata gila.

“ Tentu saja, kawan,” aku paham tindakannku. Rencana besar ini pastilah mesti dipersiapkan dengan masak-masak.

“ Bagus.” Jempolnya diangkat ke atas.

“ Niatku itu sudah aku pikirkan sejak kelas 6 SD, percayalah,” aku coba menenangkan suasana sambil menggenggam kedua pundak Wimas.

“ Ya, Bagus, bagus.” Dia membalas genggamannya. Kedua sahabat saling meremas pundak teman di hadapannya.

“ Terimakasih, kau sudah menemaniku hari ini Wimas.” Sahabatku tersenyum simpul.

“ Tak masalah Fauna,” ungkap Wimas.

***

Kini, sinar matahari sudah semakin memudar dan akan menghilang. Tinggal lembayung yang nampak menghiasi langit kota Serang. Tak berselang lama, suara azan berkumandang dari speaker besar Masjid Agung. Sang muadzin mengucap takbir. Tak terasa panggilan untuk sholat Magrib telah tiba. Obrolan hari ini panjang tapi terasa singkat.

Wimas bediri terlebih dahulu, lalu memegang erat kedua telapak tanganku, menarik dan membantu beranjak dari duduk. Beberapa kali tangan kanannya menepuk pundaku. Hanya tepukan itu saja yang baru bisa menenangkanku. Walau bukan dari ucapannya tapi aku menganggap sebagai bentuk support dari seorang sahabat.

Aku dan Wimas meraih sepeda. Meninggalkan alun-alun kota menuju masjid. Saat kami menunggangi sepeda masing-masing, Wimas menyempatkan untuk menoleh kearahku dan hanya mengucapkan satu kata.

“ Semangat.! ” (*)

Oleh: Edi Dimyati

Editor : Alvin Bahar

Baca Lainnya