Cerita Bersambung HAI: Menembus Langit Ep 3

Rabu, 05 Oktober 2016 | 03:30
Alvin Bahar

Solomon

Sambungan dari Part 2

3

SOLOMON

Dua buku yang aku pinjam dari guru sejarah, pak Zaini Somad masih tergeletak di ujung kasur yang belum tertata rapih. Satu buku sudah rampung kubaca semalam sebelum tidur. Mengisahkan captain James Cook saat melakukan penjelajahannya ke Pasifik Selatan pada tahun 1771 dan menemukan benua Australia. Catatan-catatan yang mengabadikan sepak terjang petualangannya itu sangat seru diikuti. Beliau adalah seorang pria hebat yang membuatku terobsesi untuk melakukan hal yang sama. Ambisi dari cerita-ceritanya melegenda dan inspiratif. Dalam khayal, aku berimajinasi untuk beberapa tahun mendatang ingin singgah ke negeri kangguru. Seperti yang dilakukan oleh sang pengarung samudera James Cook.

Buku yang kedua adalah biografi Christopher Columbus. Tak terlalu tebal, karena di dalamnya hanya mengisahkan secara umum sang pelayar ulung. Baru dua pertiga dari seluruh halaman kubaca. Walau baru lebih dari separuh tapi aku sudah mendapatkan kesimpulan kisah petualangannya. Ya, tema buku ini memiliki kisah heroik dan mendidik. Tokoh besar dalam dunia pelayaran itu telah menemukan benua Amerika.

Karena belum selesai dibaca, tadinya ingin aku tuntaskan buku bersampul plastik bening itu pada pagi ini. Namun terpaksa harus diurungkan lain waktu saja. Karena hari ini, aku sudah terlanjur berjanji dengan sahabat dekatku untuk pergi ke Anyer.

“ Pak Zaini baik sekali, meminjamkan buku-buku favoritnya kepadaku,” gumamku sambil memegang dua buku itu sambil menghadap ke cermin. Dia adalah guru sejarah yang jarang tersenyum. Buatku senyum Pak Zaini sangat mahal. Langka sekali melihat beliau menunjukan wajah yang sanggup menentramkanku. Malah sebaliknya, setiap berhadapan dengannya aku sering dicecer oleh pertanyaan-pertanyaan dari beliau. Untungnya aku hobi membaca buku sejarah. Jadi semua yang ditanyakan oleh Pak Zaini selalu bisa aku jawab dengan memuaskan. Bukannya menyudahi dengan bertanya kepada yang lain, semakin banyak yang aku jawab maka semakin banyak pula pertanyaan lanjutan yang keluar. Pak Zaini ini punya misi ingin selalu menskak mati. Atau mungkin bisa jadi juga ini adalah bagian pembelajaran yang diberikannya. Yang pasti hobi beliau selalu bertanya dan mengujiku.

Aku letakan buku-buku itu dengan hati-hati di atas meja bulat. Kemudian kurapihkan tempat tidur yang telah mengantarkan mimpi baik tadi malam. Setelah keadaan kamar sudah dipastikan bersih baru aku bersiap menuju ke meja makan. Sekarang aku yakin sudah tidak panas lagi tempe yang sebelumnya aku lahap dengan terburu-buru seperti tadi sehabis mandi.

Kutarik pundak kursi kayu yang merapat pada salah satu sisi meja. Aku duduk dengan perlahan. Pandanganku menyebar kepada semua hidangan yang ada dihadapanku. Memilah-milah mana yang akan aku santap terlebih dahulu. Walau sarapan sudah tersedia, tapi rasanya kurang lengkap jika tak ada yang menemani. Dan, sayangnya sekarang sepi sekali rumah ini. Setelah menyediakan makanan, ibu sibuk dengan kegiatan keseharian lainnya seperti membersihkan pekarangan, mencuci dan lainnya. Tak ada yang bersamaku untuk sarapan pagi bersama. Mpa pergi tadi sejak tadi subuh. Kakak-kakakku: Koko Sukma Negara, Laksmi Sukma Wati, Nikita Sukma Kelana, Evi Asfiah Sukma Dewi dan Indra Sukma Prayoga sudah tidak tinggal serumah dengan kedua orang tuanya. Mereka sudah berkeluarga dan memilih untuk tidak menumpang dengan ayah, ibu atau mertuanya. Padahal baru kemarin kakak-kakaku berkumpul di rumah sederhana ini. Sementara adikku Gemi Sukma Nevi masih meringkuk di kamarnya. Gemi memang anak yang paling sulit tidur lebih awal. Makanya setiap tidur larut esoknya sudah dipastikan susah bangun pagi.

***

“ Kamu makannya yang betul.! Jangan sambil melihat-lihat peta”, Ibu mengingatkanku dengan yang sedang aku lakukan. Aku kebetulan sedang menggenggamnya dan melebarkan gulungan peta itu di atas meja makan.

“ Oh iya bu, tidak apa-apa, aku bisa melakukannya sambil makan,” senyumanku mencoba untuk meredakan ketidaknyamanan ibu karena melihatku. Peta tetap aku bentangkan, piring tetap aku penuhi dengan nasi uduk kreasi ibu tercinta. Sambal yang pedas, mentimun yang menggugah selera dan potongan telur dadar yang melengkapi teman sarapan pagi ini.

“ Ya sudah, nanti piringnya dicuci sendiri ! ” perintahnya. Dalam hati, memang biasanya demikian. Sejak kecil, anak-anak ibu dididik untuk bersikap tanggung jawab. Semua anaknya yang makan di rumah ini sudah terbiasa mencuci piring sendiri. Aktifitas itu menjadi bentuk pengabdian kepada orang tua. Padahal ibu juga tak pernah mewajibkan anak-anaknya melakukan hal demikian. Jadi kesadaran mereka saja yang mengkondisikan budaya selalu cuci piring masing-masing sehabis makan.

“ Baik bu...siap, “ kali ini aku tidak merapatkan keempat jariku di dahi. Karena konsentrasiku sudah berfokus pada peta dan nasi uduk. Pagi ini, aku melihat peta bukan tanpa sebab. Ya, dari semua mata pelajaran di sekolah, Geografi yang paling aku sukai. Jadi, aku memang sering iseng menengok gambar-gambar suatu wilayah dalam skala mini. Hal itu aku lakukan dimanapun aku berada. Aku juga sering memutar-mutar globe yang ada di ruang perpustakaan sekolah, membuka-buka buku peta buta dan menghapal setiap nama-nama kota atau daerah yang ada di setiap provinsi Indonesia dan negara luar. Mendalaminya lebih jauh menjadi sesuatu yang baru dan mengasyikan. Kali ini, yang aku sedang buka adalah peta Banten. Aku pandang dan teliti satu demi satu titik-titik perjalanan menuju ke Anyer nanti.

Biasanya, dalam peta diberikan informasi besar skala dari jarak dan luas suatu daerah. Keterangan skala 1 : 10.000 (satu banding sepuluh ribu) menjadi bekal dasar perhitungan. Aku mencoba mengukur dengan sebuah mistar kayu. Dari sana, jika dihitung menggunakan milimeter akan ditemukam akurasi rentan kilometer antara suatu daerah dengan daerah lainnya. Hal itu tak begitu sulit untuk menghitungnya. Pasalnya kalau soal pelajaran matematika, InsyaAllah aku tak pernah mengalami kesulitan.

Kali ini aku sedang mengira-ngira seperti apa perjalanan menuju Anyer nanti. Aku pelajari peta tersebut dan mulai mencoba untuk mengitung-hitung. Kalau jarak yang harus ditempuh sudah ditentukan, aku lantas memperkirakan waktu tempuh menuju tujuan akhir. Misalkan kecepatanku menggowes sepeda 20 kilometer per jam, sedangkan jarak yang mesti ditempuh 35 kilometer. Maka kebutuhan waktu tempuhnya adalah 1 jam 45 menit. Hanya saja waktu tempuh tersebut mesti dilakukan tanpa henti, tanpa istirahat. Untuk menjaga stamina, tentu harus berhenti di beberapa titik peristirahatan. Makanya aku mesti menyediakan waktu slot tambahan 30 menit . Tujuannya adalah untuk menjaga tubuh agar bugar pada waktu rehat. Jadi, dari rumah diperkirakan menuju pantai Anyer target waktu yang ditempuh dalam waktu 2 jam 15 menit.

Ah, itu hanya hipotesis. Tapi aku lebih senang merumuskann beberapa persiapan teori terlebih dahulu sebelum melakukan tindakan. Agar prakteknya menghasilkan sesuatu yang tak akan jauh berbeda dengan asumsi yang aku buat. Minimal, tingkat melencengnya tak terlalu besar. Dan, teori itu akan dibuktikan saat liburan semester ini dengan bersepeda.

Harusnya aku menuntaskan makan nasi uduk dulu baru mempelajari peta. Tapi aku melakukannnya dengan kebalikan. Setelah asumsi jarak dan waktu perjalanan ke Anyer sudah aku dapatkan langsung aku menyegerakan sarapan. Setelah itu baru cuci piring.

Karena persiapan sudah matang aku langsung berkemas. Belum sempat pamit, ibu sudah bertanya terlebih dahulu.

“ Loh, mau kemana kamu ?” Tanya ibuku yang baru saja selesai menjemur pakaian.

“ Mau jalan-jalan, bu” jawabku sambil mengibas-ngibas bagian bawah kaos yang aku kenakan. “Hari ini kan libur.”

“ Jalan-jalan ke mana? ” ibu ingin tahu tempat yang aku akan singgahi.

“ Maksudnya bukan jalan-jalan, bu, tapi tepatnya bersepeda,” aku meralat sekaligus menegaskan bahwa aku akan mengendarai kereta angin.

“ Iya, ibu tahu, jadi mau ke mana, ? “ tanyanya lagi dengan nada yang lebih tinggi.

“ Pantai Anyer, naik sepeda bersama Solomon,” aku menambahkan.

“ Berdua saja ? ” perasaan aku berjanji dengan Solomon saja, tidak dengan yang lain. Tau ibu akan keberatan kalau aku pergi berdua.

“ Iya, berdua saja, bu,” tegasku.

“ Solomon memang sudah bisa naik sepeda?” sebelumnya ibu sudah mengenal Soloman. Sudah dua kali bertandang ke rumah. Makanya mungkin ia khawatir karena Solomon belum bisa mengendarai sepeda.

“ Belum, nanti aku yang akan bonceng Solomon,” mudah-mudahan kekhawatiran ibu bisa terhapus.

“ Pulangnya ? ” Solomon tidak bisa mengendarai sepeda. Dalam hatiku tentu aku yang akan memboncengnya lagi.

“ Solomon yang diboncengi olehku, ” senyumku melebar. Sumringah. Memangnya siapa lagi yang akan memboncenginya. Kami berdua, satu kendaraan dan hanya aku yang bisa naik sepeda.

“ Wah, nanti kamu capek,” ibu nampak gelisah melihat anaknya pergi bersepeda. Harusnya ibu bisa memaklumi dan membiarkan aku pergi. Aku adalah seorang remaja yang ikut ekstra kulikuler Pramuka di sekolah. Dan, untuk kegiatan seperti ini adalah sebuah aktifitas yang biasa.

“ Tenang saja, aku ini seorang pramuka hebat bu hehe…, kalau nanti lelah saat bersepeda, ya, berhenti dulu, tinggal istirahat saja,” aku menerangkan kondisi perjalanan nanti. “Setelah cukup beristirahat, baru melanjutkan perjalanan lagi.”

“ Ya, tapi kamu harus hati-hati, ” ibu memang selalu mendukung setiap citaku.

“ Pasti, hati-hati itu penting,” imbuhku untuk menselaraskan wejangan umum seorang ibu.

“ Oh ya, ibu bungkuskan nasi ya buat bekal,” aku mengangguk setuju dan berinisiatif mengambil daun pisang dari pekarangan belakang rumah.

***

Kalau bicara soal sahabatku, banyak orang yang bingung. Solomon itu apa atau siapa ? Yang jelas, dia bukan seorang raja dari Israel, bukan pula nama sebuah kepulauan di Samudera Pasifik sebelah timur negara Papua Nugini. Solomon adalah nama manusia yang hidup di bumi, tepatnya di kota Serang, Banten. Satu kelas denganku di SMA 1 Serang.

Ada yang unik dari sikap dari seorang teman dekatku ini. Solomon adalah sahabatku satu-satunya yang tidak pernah mau belajar sepeda. Dasar, entah kenapa dia punya prinsip demikian. Baginya, sepeda itu alat transportasi yang aneh dan nggak masuk akal. Walaupun sudah sekolah di tingkat SMA ia keukeuh enggan mencoba mengayuh kereta angin. Padahal, dirumahnya ada sepeda hitam milik ayahnya.

Aku tak mau ambil pusing. Biarlah Solomon bebas untuk menentukan apa yang dia inginkan. Namun, terlepas dari itu, aku sangat senang punya sahabat seperti Solomon. Dia sungguh humoris dan cerdas. Memiliki tubuh sintal dan selalu terlihat bugar. Wajar dia rajin olah raga hampir setiap hari. Kalau tidak jogging, dia selalu menyempatkan untuk berjalan santai di alun-alun kota.

Hobinya bermain gitar rupanya membuat Solomon malas ingin belajar sepeda. Baginya, gitar adalah segala-galanya. Alat musik petik adalah satu-satunya mainan yang harus dipelajari dengan serius. Karena itu, kegemarannya bergitar menjadi sebuah anugerah buat teman-teman yang dekat dengannya. Tak jarang Solomon ditanggap bersenandung lagu-lagu batak di sekolah. Ia pun dengan senang hati mengikuti titah temannya. Permainan gitar dan suaranya sangat khas dan sangat menghibur.

Matahari sudah sedikit terlihat terang. Aku mencium telapak tangan ibu.

“ Assalamu’alaikum..! ” Aku pamit kepada ibu, sambil menuntun sepeda mini merah muda ke luar pagar rumah. Segera bertemu Solomon. (*) (Oleh : Edi Dimyati)

Bersambung ke Ep 4 #CerbungHAI

*NB: Kasih komen dong di kolom komentar tentang cerita ini, terus kalo teman-teman ada yang bisa membuat ataupunya cerita bagus boleh, loh, di kirim ke dosirweis@hai-online.com buat HAI tampilkan di HOL. Thank you!

Editor : Alvin Bahar

Baca Lainnya