Cerita Bersambung HAI: Menembus Langit Ep 21

Rabu, 08 Februari 2017 | 12:00
Alvin Bahar

Ilustrasi: Gio

Sambungan dari Part 20

21

DANA PENGGANTI

“Itu hanya lelucon, kawan. Mimpi yang tak akan pernah terjadi.”

“Mustahil itu bisa kamu lakukan.”

“Keinginanmu terlalu muluk, Fauna.”

Perkataan yang bersumber dari orang-orang sinis itu masih terngiang di telingaku. Sindiran-sindiran bernada negatif yang aku dapatkan saat berada di Serang bertubi-tubi datang tanpa tedeng aling-aling. Sekarang, insyaallah aku bisa mematahkan semuanya. Mimpi itu sedikit demi sedikit telah menjadi sebuah keniscayaan.

Tak terasa pula, kini aku sedang berpijak di tempat yang jaraknya ribuan kilometer dari rumah. Aku tengah melintasi Selat Johor yang membatasi dua wilayah, Singapura dan Johor, Malaysia Barat.

Sindiran tak hanya datang dari teman-temanku. Kesangsian terhadap tekad dan mimpiku juga pernah ditunjukkan Bupati Serang. Saat itu, beliau menampakkan wajah yang sama sekali tak bersemangat. Beliau tampak setengah hati saat aku berkunjung ke rumah dinasnya.

Kak Priatna adalah orang yang berjasa. Ia selalu membantu mematangkan persiapanku sebelum bersepeda jauh. Ia pulalah yang meluangkan waktu untuk mengantarku ke hadapan bupati. Tujuannya guna meminta support dan izin kepada pemimpin daerah kami. Sebagai anak pramuka yang ingin membawa nama Serang, tentu aku sudah seharusnya berpamitan kepada sang pengelola kabupaten.

Di hadapan bupati, aku mengutarakan niat yang telah lama kurencanakan itu. Setelah aku menerangkan secara panjang lebar, Pak Bupati hanya mengangguk-angguk. Beliau terlihat mengerti segala yang kukatakan. Tapi, responsnya datar, biasa-biasa saja. Tak ada usulan, wejangan atau saran panjang yang terlontar dari mulut beliau. Aku jadi serbasalah. Aku menangkap kesan, beliau menganggapku datang untuk meminta bekal, memohon bantuan materi atau dana yang akan digunakan selama perjalanan. Tatapan Pak Bupati kepadaku seolah sedang melihat proposal saja. Padahal, sama sekali aku tidak punya niat demikian.

“Saya membawa adik pramuka, Pak. Namanya Fauna,” kata Kak Priatna memperkenalkan aku kepada bupati yang sudah rapi dengan pakaian dinasnya. Ia merapat dan mempersilakan kami duduk. “Jadi, intinya, ada maksud apa kalian kemari?” tanya bupati. Maklum, pertemuan ini memang tidak direncanakan jauh-jauh hari. Untunglah beliau mau menyempatkan waktu untuk bertatap muka sebentar. Kak Priatna dan aku langsung datang ke rumah beliau. Dan, kebetulan Pak Bupati tidak sedang terburu-buru menuntaskan segala agenda yang akan dihadirinya hari ini.

“Fauna ingin berkeliling dunia,” terang kakak pembinaku. Kak Priatna menjelaskan dengan runut persiapan dan agenda perjalananku secara umum. Pak Bupati mendengarkan penjelasan kakak pembinaku dengan acuh tak acuh. Malah Kak Priatna yang terlihat begitu antusias bercerita.

“Wah, luar biasa sekali keinginanmu,” ujar Pak Bupati. Sekilas,kata-katanya memang penuh kekaguman. Namun, rasa kagum itu tak bisa aku lihat dari raut wajahnya. Terkesan dipaksa, bupati menanggapinya dengan intonasi datar. Malah aku lihat kerutan di dahinya yang mencerminkan sebuah keraguan. Apakah Fauna bisa melakukannya? Masa iya, anak yang baru lulus SMA bisa mewujudkan mimpi sebombastis ini?

“Bukan begitu, Fauna?” tanya Kak Priatna sambil menoleh ke arahku. Dia memastikan kehendakku. Sambil menyeruput teh manis, aku pun tersenyum sebagai tanda mempertegas niatku.

“Betul sekali, Pak. Saya ingin sekali berkeliling dunia. Ingin menjelajah dengan bersepeda, Pak Bupati,” paparku menambahkan sedikit saja dari uraian yang sudah disampaikan Kak Priatna. Orang nomor satu di Serang itu seperti kebingungan dan berat hati menanggapi citaku. Bingung, entah harus bersikap apa terhadapku. Berat karena mungkin merasa harus memberikan sesuatu kepadaku. Hal itu aku lihat dari gerak tubuh dan cara bicaranya. Beliau terlihat tak antusias dengan misi yang menurutku sangat dahsyat ini. Bupati tak begitu semringah mendengar kabar dari salah satu rakyatnya yang ingin membawa nama kota kelahiranku ke seluruh dunia.

Pak Bupati Sumarna terdiam sesaat. Beliau memikirkan cara menanggapi keinginanku yang sepertinya tak masuk akal.

“Niat kamu hebat, namun saya belum bisa janji akan memberikan kamu uang,” ucap beliau. Benar saja, Pak Bupati pikir aku datang ke rumahnya membawa berkas permohonan dana. Padahal, aku hanya ingin minta izin, tak berharap lebih.

Kesungguhanku bukan dan tak bisa diukur dengan materi. Aku hanya berharap dukungan moril dari Pak Bupati. “Saya belum bisa men-support Dik Fauna. Dengan berat hati, saya mohon maaf,” lanjut Bupati Sumarna dengan datar. Mungkin aksiku dianggapnya tak bisa menghasilkan kontribusi lebih untuk kota kelahiranku. Jadi, Pak Bupati tak bisa memberikan kucuran derma berupa uang. Pak Sumarna, sang bupati yang menjabat sejak 1983 itu terlihat gerah oleh kehadiranku. Sepertinya ia ingin segera beranjak dan tak mau berlama-lama lagi bertatap muka denganku.

Aku bukan pemalak, aku bukan tukang rongrong yang selalu merengek meminta donasi. Mpa tidak mengajarkan bersikap demikian. Tangan di atas lebih bagus dari tangan di bawah.

Mengikuti suasana perbincangan di ruang tamu yang luas ini mengharuskan aku bersikap maklum. Aku paham dengan kondisi yang ada. Mungkin saja anggaran pendapatan daerah Kabupaten Serang masih difokuskan pada pembangunan jalan. Atau masih terkonsentrasi dengan program pemerintah daerah lainnya yang masih dianggap penting. Jadi, untuk urusan sepele sepertiku bukan sebuah prioritas yang perlu didukung. Mungkin juga memang sama sekali tidak akan masuk dalam list agenda yang menjadi perhatian khusus.

“Tidak perlu, Pak, terima kasih. Saya butuh doa saja dari Bapak,” jelasku kepada Pak Sumarna. Aku memang butuh itu. Butuh didoakan saja. Uang bisa habis dalam sekejap, tapi doa bisa membantuku dalam kekuatan menjelajah. Hal itu aku utarakan langsung di hadapannya. Aku berpikir, kalau minta doa, pasti akan diberikan. Bukankah sekadar memanjatkan doa tidaklah berat untuk dilakukan?

“Oh, kalau begitu, saya buatkan surat dukungan untukmu,” ujar beliau. Raut mukanya sekonyong-konyong berubah. Beliau tampak begitu semringah. Setelah aku mengatakan hanya perlu dukungan doa, dengan cekatan Pak Bupati bergerak.

Ajudan dan sekretaris pribadi yang berada di sampingnya langsung menerjemahkan sikap tuannya. Surat pun dibuat dan tak lama kemudian Pak Bupati langsung membubuhkan tanda tangan di lembar kertas berkop surat Pemerintahan Kabupaten Serang. Tak lupa cap biru berlogo resmi kabupaten juga melekat di kanan bawah.

Sambil mengucapkan terima kasih, kami pamit dan bergegas meninggalkan rumah dinas bupati. Di luar, aku dan Kak Priatna tertawa cekikikan. Kalau urusan dana, pasti sulitnya minta ampun dan makan hati. Tapi, kalau minta doa saja, secepat kilat dikabulkan. Semoga doa Pak Bupati mengiringi perjalananku hingga titik negeri yang paling sakral di dunia.

Ilustrasi: Gio
***

Aku berdiri di sisi jembatan jalan. Mataku menatap Selat Johor. Perlahan kubuka lembaran kertas yang diberikan Bupati Serang. Selama ini, surat itu masih tersimpan rapi. Setelah melihat sebentar, kulipat kembali surat itu dan kuselipkan di antara berkas-berkas lainnya. Surat-surat penting ini kelak akan menjadi kenangan indah dan catatan sejarah perjalananku berkeliling dunia.

Saat melintas dari negara satu ke negara lain, alhamdulillah, aku tak pernah mengalami hambatan berarti. Paling hanya masalah-masalah kecil dan bisa segera kuatasi. Itu karena aku memiliki semua dokumen yang diperlukan. Tak sia-sia persiapan matang yang kulakukan selama di Serang sebelum memulai kayuhan pertama. Persiapan matang, dalam hal apa pun, memang sangat dibutuhkan. Apalagi untuk sesuatu yang sangat besar seperti petualanganku ini.

Bahkan ketika ditanya oleh petugas imigrasi soal uang yang aku punya, kerap kali sang petugas terbelalak. Mereka tak menyangka ada seorang pengendara sepeda yang memiliki uang 5 ribu dollar. Tak sebanding dengan penampilanku yang terlihat biasa saja.

Sebuah pengalaman menarik kudapatkan saat masuk ke Malaysia. Petugas heran dan menanyakan pekerjaan orangtuaku. Dengan enteng, kujawab saja bahwa ayahku bekerja di real estate. Itu agar mereka bisa maklum dan tak curiga terhadap uang yang kubawa. Padahal, Mpa hanya punya kegiatan sampingan sebagai perantara. Ya, kalau ada orang yang mau mencari kontrakan rumah, Mpa berperan sebagai penghubung.

Para petugas imigrasi itu percaya saja pada ceritaku, sementara aku tertawa dalam hati. Berkat uang 5 ribu dollar itu pula, aku tak kesulitan melintas batas. Ibaratnya, itu adalah senjata pamungkas dalam menghadapi para petugas imigrasi yang tanpa kompromi.

Di samping sebagai emergency cost, uang itu memang berperan sebagai jaminan untuk memasuki negara lain. Salah besar bila ada pengeliling dunia tanpa modal apa-apa. Tanpa uang jaminan, seseorang akan ditolak masuk ke sebuah negara. Dia akan dipulangkan dan itu berarti misinya gagal total. Uang dalam jumlah tertentu memang diperlukan untuk menjamin seseorang tak akan sengsara di negara orang yang tentunya akan merepotkan banyak pihak, terutama pemerintah setempat.

Di Malaysia, aku sejak awal berencana tinggal cukup lama. Selain serumpun, aku juga ingin menunaikan ibadah puasa Ramadan yang akan dimulai beberapa minggu lagi. Mungkin juga aku akan berlebaran di sini.

Agendaku bakal banyak. Walau demikian, rencana bisa saja berubah sesuai dengan situasi dan kondisi yang kuhadapi. Kali ini, kedatanganku sudah ditunggu oleh ibu-ibu pejabat kedutaan. Dalam korespondensi sebelumnya, aku memang punya program untuk memberikan pelatihan keterampilan di Kedutaan Besar RI di Malaysia. Pesertanya adalah ibu-ibu dan warga negara Indonesia yang tinggal di Malaysia. Tak dinyana, kedatanganku disambut antusias. Bendera-bendera kecil dikibarkan oleh semua orang yang ada di hadapanku. Kemeriahan tersebut mengingatkanku pada detik-detik keberangkatanku. Teman-teman pramuka di Serang mengantarku dengan penuh harapan.

Para ibu kagum ketika aku datang mengendarai sepeda dengan setumpuk tas yang aku bawa. Banyak yang bertanya tentang perjalanan yang selama ini sudah kutempuhi. Tak sedikit pula yang melontarkan pujian.

Aku seperti superhero yang datang dari langit. Perjamuan yang kudapatkan terkesan berlebihan. Namun, karena acaranya sudah diprogram demikian, aku ikuti saja rangkaiannya tanpa bertanya banyak. Rupanya mereka sudah lama menantiku. Sambutan yang luar biasa. Ternyata, bukan hanya ibu-ibu pejabat yang menungguku. Suami-suami mereka juga ikut mendampingi, mungkin penasaran melihat sosok Fauna yang punya aksi gila ini.

Selain para pejabat, pihak kedutaan tak lupa pula mengundang pengangkap atau pramukanya Malaysia. Mereka juga ikut menunggu dan ingin bertegur sapa serta saling berbagi pengalaman. “Capai kau, Dik Fauna?” tanya seorang ibu dengan rambut disanggul menanyakan kondisiku. Dalam hati, aku berkata, “Ya tentu saja.” Tidakkah terbayangkan aku mesti mengayuh sepeda menyeberangi pulau dan melintas negara? Tidakkah cukup hal itu menggambarkan betapa jauhnya jarak yang harus aku tempuh dan tentu saja sangat melelahkan?

Meski begitu, aku tak menanggapi pertanyaan retoris itu dengan sinis. “Kalau capai, istirahat dulu, Bu,” jawabku dengan setengah bercanda dan menyembunyikan rasa lelah dan penat. Mengeluh hanya akan menunjukkan kekalahan. Aku harus menunjukkan diri sebagai patriot yang selalu bersemangat setiap saat. Itu juga agar teman-teman pengangkap jadi termotivasi oleh kehadiranku. Adik-adik pengangkap itu kebetulan berasal dari Sekolah Kebangsaan, Kuala Lumpur.

Aku ambil kotak terpal buatan Mang Wiri, salah satu warga biasa yang memberi dukungan kepadaku. Di dalamnya ada bahan-bahan untuk kegiatan kali ini. Benang, kain, tali, kain flanel, kancing, dan lem perekat. Benda-benda tersebut sengaja aku bawa untuk aktivitas di Malaysia ini. Sebelumnya, aku kerap bertukar surat dengan Ibu Mery, istri salah seorang pejabat kedutaan. Aku dan beliau memang berencana memberikan ilmu berkreasi setibanya aku di Malaysia.

Makanya, begitu datang, aku langsung ditodong untuk segera memberikan pelatihan kreativitas tersebut. Padahal rasa lelah masih menggelayut. Bu Mery sudah sangat lama menunggu kehadiranku. Ia khawatir kalau-kalau aku tak sampai ke sini.

“Bagaimana persiapan kegiatan yang sudah kita rencanakan?” tanya Bu Mery dan rekan-rekannya sudah tak sabar mengutak-atik bahan-bahan yang sudah ada di hadapan. Tangan-tangan lembut mereka ingin segera bekerja.

“Sudah siap. Saya hanya butuh koran bekas dan gunting, Bu,” terangku.

Membuat kerajinan tali-temali, anyaman, dan gantungan kunci adalah beberapa kreasi yang kuajarkan. Luar biasa, antusiasme yang ada sungguh besar. Para suami pun tak ketinggalan ikut nimbrung mempraktikkan tahap demi tahap yang aku contohkan. Adapun adik-adik pengangkap tak kalah gembira membantuku membuat prakarya unik.

Senang sekali diberi kesempatan untuk berbagi ilmu. Bonusnya, alhamdulillah, aku mendapat honor dari aktivitasku singgah di kedutaan. Uang ini dianggap oleh para ibu sebagai upah jasa bagiku yang telah menularkan kreativitas tersebut.

Tak dapat dana perjalanan dari Bupati Serang, sebagai penggantinya aku menerima uang saku dari urunan para ibu di KBRI Malaysia. Tentu saja aku tak menolak pemberian mereka ini karena memang hakku yang telah memberikan pelatihan kepada mereka.

Uang itu sangat membantuku dalam meneruskan perjalanan dan petualanganku. Kusadari, inilah mungkin yang disebut pertolongan tak terduga dari Sang Maha Pengasih. Aku pun lantas teringat Mpa. Adakah ini balasan atas hal-hal yang telah dilakukan Mpa selama ini?

Sewaktu kecil, aku melihat Mpa sering menolong orang lain. Bentuk pertolongannya kadang terlihat tidak seberapa. Ya, biasanya para pedagang kue keliling, tukang ojek bahkan sampai pemulung yang sering dijumpai kerap didekati. Mpa tak jarang mengajak mereka mengobrol, mulai dari hal remeh-temeh sampai yang penting. Beliau menggali informasi tentang hal yang sering mereka alami. Soal pekerjaan mereka, pengalaman berkesan yang pernah mereka dapatkan, dan kondisi keluarga mereka di rumah. Begitu keakraban terjalin, Mpa selalu mengajak mereka untuk bersantap siang bersama. Sebuah kebiasaan yang sangat aku kagumi. Sebagai anak, sudah semestinya aku melakukan hal yang sama dan kalau bisa berbuat lebih dari itu.

Selesai menuntaskan tugas yang penuh dengan keceriaan, aku berpamitan kepada para ibu dan suami mereka serta para tamu undangan. Kemudian, tak lupa aku membagi-bagikan brosur Candi Borobudur dan tempat-tempat wisata lainnya di Pulau Jawa kepada adik-adik pengangkap. Brosur-brosur itu nantinya akan diteruskan kepada teman-teman serta guru-guru mereka di sekolah sehingga mereka tahu bahwa Indonesia punya banyak keajaiban. (*)

Oleh: Edi Dimyati

Editor : Alvin Bahar

Baca Lainnya