Cerita Bersambung HAI: Menembus Langit Ep 5

Rabu, 19 Oktober 2016 | 04:30
Alvin Bahar

Ilustrasi: Gio

Sambungan dari Part 4

5

SPIRIT BADEN POWELL

Kesohor di Banten. Sihirnya mampu memincut perhatian pengunjung. Pantai Anyer memang menjadi titik utama wisata pesisir yang didambakan oleh para pelancong. Jarak tempuh 35 km yang mesti ditaklukan olehku dan Solomon tak seberapa melelahkan. Bukannya aku sombong, tapi memang demikian faktanya. Buat petualang sejati, sensasi perjalanan ini malah sebaliknya dijadikan momen menikmati keindahan alam. Mensyukuri keagungan Tuhan terhadap semua yang diciptakan. Yang pasti, sekali lagi aku tak merasa capek melakukan perjalanan mengasikan ini. Padahal, perjalanan yang sudah kami tuntaskan ini dilakukan tanpa jeda istirahat di titik-titik pemberhentian.

Ya, aku membonceng Solomon sengaja untuk melatih fisiku sebagai seorang pramuka. Namun tak sekedar itu, kami juga ingin merasakan suasana sunset di Pantai Anyer yang indah. Jarang-jarang aku dan Solomon bisa pergi sejauh ini. Menikmati pemandangan laut yang menentramkan hati.

Sepeda sengaja tergeletak di hamparan pasir. Karena memang tak ada benda yang dapat dijadikan sandarannya. Kini, aku dan Solomon duduk tanpa alas. Ya, hanya beralas pasir putih saja sambil melihat lautan lepas. Pandangan mata kami menerawang ke titik terjauh garis laut. Sementara deburan ombak di laut terus berirama riuh rendah. Bak mengalunkan lagu ketenangan alam. Menghibur sekaligus mengajak untuk menyatu dengan semesta yang menawan.

Sejak tadi aku lihat Solomon masih terdiam. Dia tak bergeming, masih tak percaya dengan cita-citaku. Daripada diamnya terus berlanjut, aku berinisiatif untuk menyapa sahabat yang jago memainkan gitar ini.

“ Hey… Solomon, ” aku membuka pembicaraan, agar dia bisa bersuara lagi. “ Apa kawan ? ” Dagunya digerakan ke atas. Seolah dia mengerti bahwa aku ini bicara hanya untuk basa basi dalam memulai perbincangan. Tapi apalagi yang mesti aku lakukan kalau tidak memulai untuk membujuk Solomon mengeluarkan suaranya. “ Tadi kau belum menjawab pertanyaanku? ” aku mengingatkan Solomon tentang permintaan pendapatnya soal impianku.

“ Pertanyaan yang mana? ” Entah pura-pura tak tahu atau memang benar dia lupa adanya. Kedua asumsi itu tipis perbedaannya. Tapi tak ada salahnya jika aku mengingatkan lagi kepadanya.

“ Saat kita di perjalanan “, aku yakin dia tak lupa. Soalnya hanya aku dan dia saja kami melakukan perbincangan. Ingatan Solomon yang dikenal jago matematika pasti tak akan pernah lupa.

“ Ah, sudah lupa .” jawab Solomon sambil menggerakan tangan kanannya mengelus-ngelus dahi. Gerakan tangan itu tak menyiratkan bahwa ia lupa. Yang aku baca dia tak mau peduli dengan yang aku tanyakan. Atau mungkin pusing mau berpendapat apa.

Aku yakin sekali, Solomon pasti tidak lupa. Kalau sudah demikian, aku tak akan mengulang pertanyaan lagi. Padahal aku hanya ingin meminta responnya sedikit saja, perihal keinginanku mengeliling dunia dengan transportasi tanpa bahan bakar. Kalaupun aku menanyakan lagi, pasti Solomon akan senyum saja. Atau malah cengengesan sendiri. Apesnya dan lebih menyakitkan dia mungkin bakal mencibir citaku.

Sekarang, tak ada lagi yang ingin kubicarakan lagi. Kedua tanganku menggaruk-garuk pasir, sebagai pelampiasan kekesalanku terhadap sikap Solomon yang mendadak kaku. Aku bermain pasir sendiri, sementara Solomon masih menatap lautan lepas tak berujung. Pandangannya tertumbuk pada matahari yang mulai tenggelam. Entah apa yang dipikirkannya. Seperti melamun dengan sejuta cerita penuh makna.

Sebenarnya, ada banyak aktifitas yang bisa dilakukan di pantai. Bisa berenang, berjemur, bermain bola, voli atau surfing. Terkadang, pantai juga bisa dijadikan tempat menuangkan seni. Berkreasi dengan media pasir. Ya, kini pasir yang aku keruk menggunung sudah. Tanganku bergerak sesuai instruksi perintah otak. Entah apa yang sedang diperintahkannya. Yang pasti, kedua tanganku dikomando untuk menata gundukan pasir putih dan membentuknya menjadi seperti kubus.

Aku menata pasir hingga terlihat rapih. Aku menyadari, membuat sesuatu dari pasir adalah sebuah kesia-siaan. Aktifitas yang hanya untuk mendapatkan kesenangan sesaat. Soalnya, tidak akan lama lagi deburan ombak yang menyisir ke pantai akan merobohkan bangunan yang aku buat. Ombak bisa memupuskan segala apa yang kita sudah kerjakan, dalam tempo yang singkat. Ombak sanggup menghapuskan impian yang telah aku buat dalam sekejap

“ Hey, Fauna, kau sedang membuat Ka’Bah ya ? ” tiba-tiba saja Solomon bicara. Kaget aku dibuatnya.

Aku sendiri tidak paham sedang membuat apa. Dan, baru menyadari ketika sahabatku itu bertanya. Padahal dia non muslim. Tapi Solomon paham sekali dengan bentuk bangunan suci di Mekkah itu. Tapi, kalau dilihat-lihat ada benarnya ia bertanya demikian. Bentuk pasir yang aku tata memang seperti kubus Ka’bah.

“ Oh..Iya, “ jawabku. Aku terus melanjutkan. Berusaha untuk menyempurnakan rumah yang dijadikan kiblat umat Islam itu. “ Bagaimana kawan ? ” Aku meminta Solomon memberi penilaian.

“ Bagus sekali, ” pujinya. Ia mengagumi ukiran pasir yang ditorehkan lewat jari-jariku.

“ Ayo bantu ! ” Ajaku agar keakraban bisa terjalin kembali. Solomon dengan antusias ikut nimbrung juga bermain pasir.

“Fauna !! ” Dia memanggil namaku dengan suara bergetar. “Ya, Solomon, ada apa? ” aku menganggap pasti dia masih kepikiran dengan pertanyaanku.

“ Kalau kau ingin bersepeda keliling dunia ada satu orang yang kau mesti teladani. ” benar saja dugaanku, Solomon rupanya masih memikirkan keinginanku yang disampaikan sewaktu perjalanan.

“Siapa ? Ayahku kah? ” Penuh teka teki sekali sahabatku ini.Tiba-tiba saja aku mesti mencari jawaban orang yang mesti diterkanya.

“ Selain ayahmu, ” terangnya. Rasa-rasanya kalau yang paling dekat dan orang pertama aku teladani adalah ayah kandungku sendiri. Beliau adalah seorang ayah yang sangat mengayomi anak-anaknya. Memberikan pelajaran disiplin yang kuat dan sikap santun.

“ Jadi siapa ? ” tanyaku penuh penasaran. Kalau diminta menyebutkan satu orang selain ayahku aku belum terpikirkan.

“ Ah masak kau tidak tahu, kau ini kan anak pramuka, Fauna ” Solomon menyinyir. Aku dianggap seperti anak kecil yang tak mengerti apa-apa. Lalu, sebagai anak pramuka aku mesti tahu soal apa lagi.

“ Iya..aku memang anak pramuka. Kau juga kan? Nah, memang siapa yang mesti aku teladani? ” Aku meminta kejelasan dari Solomon untuk menyebutkan satu nama itu.

“ Kau tahu Baden Powell ? ” Semua anak pramuka tentu tahu.

“ Oh… beliau aku tahu. Dia pensiunan angkatan bersenjata Inggris. Berjasa dalam dunia kepramukaan, “ aku melengkapi profil lain dari sosok seorang Baden Powell.

“ Nah…, kalau kau punya spirit seperti pak Baden Powell, aku yakin cita-citamu pasti dapat tercapai,” Solomon secara tidak langsung mendukungku. Dibalik rasa acuh tak acuhnya selama perjalanan, sahabatku yang satu ini ternyata punya perhatian lebih. Diamnya itu adalah bentuk kepedulian seorang Solomon.

Selain James Cook dan Christopher Columbus, memang ada satu tokoh lagi yang mesti aku jadikan figure pemberi semangat untuk mengobarkan jiwa petualanganku. Ya, Solomon telah memberi tahu sekaligus mengingatkan.

Robert Baden Powell, anak dari seorang pendeta yang sangat melekat dengan anak pramuka sepertiku. Beliau adalah seorang tokoh idealis dengan memegang erat sikap dan prinsip teguhnya. Mampu mengubah pola kehidupan jutaan anak-anak muda di seluruh dunia. Berkatnya, jumlah anak-anak pramuka terus bertambah, diiringi sikap menghargai sumber daya alam dan generasi penerusnya semakin inovatif. Jadinya ingin sekali kembali ke sekolah. Mengenakan seragam cokelat. Memakai topi lebar, tali tambang, lencana, dasi, kemeja flannel dan tongkat. Tapi tertahan sementara , karena mesti menunggu liburan semester berakhir terlebih dahulu.

“ Kau pernah tahu bukunya pak Baden Powell ? ” Tanya Solomon. Dia tahu aku kutu buku. Semua buku yang ada disekitarku pasti aku lahap. Aku tetap baca meskipun terkadang ada tema-tema buku yang tak begitu aku suka.

“ Belum.., Pak Zaini tidak pernah menawarkan atau meminjamkan buku-buku karya Baden Powell. ” Guru sejarah itu adalah satu-satunya orang yang menjadi tumpuanku mencari referensi buku-buku.

“ Aku juga hanya dapat cerita dari teman bapakku. Baden Powell pernah menulis buku berjudul ‘Scouting for Boys’.” Terang Solomon. “ Wah..sepertinya menarik sekali.” Aku jadi menaruh kagum, padahal aku belum pernah memegang buku yang dimaksud Solomon apalagi tahu apa isi buku tersebut. Solomon malah lebih tahu dari aku tentang bapak pramuka sedunia itu. Padahal aku lebih aktif di ekskul pramuka dari pada remaja bertubuh sintal itu. Sahabatku menjelaskan pesan utama dari bukunya. Bahwa seorang pramuka itu harus bisa melewati lima macam ujian. Diantaranya adalah anak pramuka harus bisa membuat simpul tali, mencari jejak, membaca berbagai isyarat, mengerti cara mengibarkan bendera kebangsaannya dan sanggup berlari sepanjang satu mil.

Lima poin utama itu seolah menjadi puncak berbincangan selama perjalanan kami ke Pantai Anyer. Berkat informasi dari Solomon, wejangan Baden Powell langsung menancap di dada. Terpatri di dalam hati .

Selama ini aku baru tersadar. Aku ikut ekskul pramuka sejak sekolah dasar dengan satu motivasi saja. Yakni ingin bertahan di alam bebas. Belum rinci kepada hal-hal keahlian yang diwariskan pak Powell. Namun, walau baru tahu, setidaknya aku sudah bisa melakukan kelima poin itu.

***

Bangunan Kabah dari pasir yang kami buat dengan bagus dihantam oleh derasnya air laut. Berjam-jam dibuatnya, hancur seketika digulung ombak. Aku dan Solomon hanya pasrah saja, tersenyum bersama. Apa boleh buat. Kemudian kami tertawa terbahak, saling lempar gumpalan pasir. Bergelut dan basah-basahan di pinggir pantai. Kegembiraan nampak dari dua sahabat karib. Seiring dengan terbenamnya matahari kami menutup canda dan berencana bermalam di warung kopi pinggir jalan. (*)

Oleh: Edi Dimyati

Tag :

Editor : Alvin Bahar

Baca Lainnya