“Dalam catatan kami di DPRA, ini kasus kedua terjadi di Lhokseumawe. Ini butuh perhatian dan intervensi khusus, agar peristiwa yang sama tidak terulang lagi,” kata Tantawi dikutip dari Kompas.com, Rabu (1/2/2023).
Baca Juga: Membina Jiwa-jiwa yang Salah, Pelajar yang Tawuran di Jakarta Barat Bakal Dikirim ke Pesantren
Dia menyebutkan, langkah responsif perlu dilakukan antar sekolah, sehingga tidak ada lagi remaja yang terlibat tawuran.
"Apalagi ini sudah membawa senjata tajam. Ini sungguh mencoreng dunia pendidikan Aceh. Maka, kita harus segera turun ke sekolah, menemukan titik akar masalahnya,” terangnya.
Sementara itu, Direktur Lembaga Psikologi Tandaseru, Lhokseumawe, Lailan F Saidina menyebutkan, kondisi yang dialami pelajar terlibat tawuran itu diduga faktor gim atau tontonan bernuansa kekerasan secara berulang.
“Sehingga terjadi konformitas, di mana seseorang mengubah perilaku individunya menjadi perilaku yang diterima kelompoknya," ujar Lailan dihubungi melalui telepon.
Dia mendeteksi perkelahian antar kelompok itu talk hanya dipicu dari fighting game, terutamanya yang melibatkan remaja usia 15-19 tahun sampai pecah tawuran adalah adanya kemungkinan faktor lain yang akhirnya berhasil mengubah perilaku pelajar, yakni:
Baca Juga: Good Games Perkenalkan Battle of Guardians dan Bikin Turnamen Game Pertarungan Lokal Pertamanya
- Pertama, ingin menghilangkan beban pelajaran atau melampiaskan kekesalan.
- Kedua, karena kesenangan, perkelahian dirasakan sebagai hal yang asyik dan seru, meskipun terluka.
- Ketiga, karena kesetiakawanan dalam satu kelompok, agar kehadirannya di kelompok tertentu diterima dan dihargai.
Dari situ, dia mengajak orangtua, lingkungan institusi pendidikan dan masyarakat umum untuk mengubah kembali perilaku pelajar tersesat itu secara individu.
“Ini harus ditangani sangat personal,” terangnya.(*)