HAI-Online.com - Konflik Palestina-Israel belakangan ini kian memanas dan menyita perhatian publik. Apalagi serangan dari Israel di jalur Gaza kian masif.
Baca Juga: 5 Band dan Musisi yang Terang-terangan Mendukung Palestina, Bahkan Sampai Ogah Manggung di Israel
Sejumlah jurnalis Palestina menceritakan tentang ketakutan dan kelelahan mereka selama bertugas meliput di medan perang Gaza, di mana bom Israel mangancam setiap saat.
Setidaknya 222 orang tewas, termasuk 63 anak dalam serangan bom Israel di Gaza, menurut otoritas kesehatan. Sedangkan, sedikitnya 12 orang, termasuk 2 anak di Israel tewas dalam serangan roket dari Hamas.
Serangan Israel telah menyebabkan beberapa bangunan bertingkat tinggi di Gaza jadi sasaran penghancuran. Di antaranya blok menara al-Jalaa yang berisi kantor media internasional. Para pendukung kebebasan pers mengutuk serangan itu sebagai upaya untuk membungkam jurnalis.
Melansir Kompas.com yang mengutip dari Al Jazeera pada Rabu (19/5/2021), sejumlah jurnalis Palestina mengungkapkankisahnya di balik konflik Palestina dan Israel yang berlangsung di Gaza.
Ghalia Hamad
Jurnalis ini menceritakan, “Setiap kali saya mendengar bom, saya merasa panik dan langsung menelepon ke rumah untuk memeriksa keluarga saya,” ungkap Hamad kepada Al Jazeera. Wartawan berusia 30 tahun, yang bekerja sebagai koresponden Al Jazeera Mubasher di Jalur Gaza yang terkepung, memiliki 2 putri, berusia 5,5 tahun.
“Ini adalah perang brutal. Ini adalah pertama kalinya kami mengalami serangan seperti itu dengan keganasan ini. Perang terbaru 2014, dan perang lainnya tahun 2012, 2009 juga sulit, tapi ini yang paling sulit," ujarnya.
Seperti jurnalis lain di lapangan, Hamad tidak berhenti bekerja sejak eskalasi, “Kami harus menghadapi situasi berbahaya di sekitar kami. Kami tidak memiliki apa pun untuk melindungi diri kami sendiri. Setiap orang adalah target dan diserang,” kata Hamad kepada Al Jazeera.
“Saya mencoba untuk melakukan pekerjaan saya tanpa memikirkan kerugian yang mungkin saya hadapi. Kami kehilangan kantor kami yang dibom beberapa hari yang lalu," ungkapnya.
Seperti ibu lainnya, Hamad ingin berada di samping keluarganya, terutama putrinya, selama masa-masa sulit ini, "di mana suara bom terlalu keras dan di mana-mana. Ketika saya mendengar ada bom di dekat rumah saya, saya langsung menelepon untuk memeriksanya," kata Hamad.
“Meski, aku tidak akan pergi (ke sana). Saya harus terus menyampaikan pesan dan menceritakan apa yang terjadi pada orang-orang," terangnya.
Baca Juga: Roket Hamas Tembus Wilayah Israel, Sistem Iron Dome Punya Kelemahan?
Hossam Salem
Jurnalis foto Hossam Salem sebenarnya tidak berencana untuk meliput gejolak kekerasan terbaru di tanah airnya. Fotografer itu meninggalkan Gaza ke Turki 2 tahun lalu, tetapi kembali mengunjungi keluarganya. Ia tiba tepat pada hari yang sama ketika Israel memulai serangan udara di wilayah itu.
“Saya berencana untuk merayakan hari raya Idul Fitri bersama keluarga saya. Namun, secara mengejutkan saya disambut oleh serangan dan pemboman besar pada saat kedatangan saya. Itu adalah kejutan besar bagi saya,” ungkap fotografer berusia 32 tahun itu.
"Saya bergabung meliput di lapangan tanpa melihat keluarga saya sendiri," ujarnya. Salem telah bekerja sebagai fotografer selama lebih dari 10 tahun. Ia telah meliput 3 perang di Gaza, seperti Great March of Return, serqangkaian protes pada 2018.
“Pengalaman saya kali ini berbeda. Situasinya sangat sulit. Ada risiko besar pergi ke tempat-tempat yang dibom tanpa mengetahui apakah pemboman telah berhenti atau tidak," ucap jurnalis foto yang karyanya telah dterbitkan di Al Jazeera English, New York Times dan sejumlah lembaga internasional lainnya.
“Serangan udara Israel memengaruhi segalanya, menara, bangunan tempat tinggal, jalan, rumah, bahkan kantor kantor berita internasional," sebutnya.
“Saya memiliki banyak ketakutan, terutama tentang keluarga saya. Saya mencuri beberapa jam untuk pergi dan melihat mereka dan kembali ke lapangan. Ini adalah pajak pekerjaan kita. Kami harus menghadapi bahaya dari setiap serangan Israel," ungkapnya.
Baca Juga: 7 Pesepakbola yang Terang-terangan Dukung Palestina, dari Mahrez hingga Sadio Mane
Samar Abu Elouf
Samar Abu Elouf bekerja dari pagi hingga sore untuk meliput berita terbaru di Gaza. Dia adalah seorang jurnalis foto lepas, yang bekerja di New York Times dan kantor berita.
“Liputan dari serangan ini jauh lebih sulit dari sebelumnya. Pengeboman ada di mana-mana, dan jenis senjata yang digunakan berbeda-beda,” kata fotografer berusia 33 tahun itu.
Abu Elouf, seorang ibu dari empat anak ini mengatakan bahwa meninggalkan anak-anaknya adalah "titik lemah"-nya, "Ini sungguh berat untuk meninggalkan anak Anda sendiri, ketika mereka sangat ketakutan atas suara bom yang keras di sekitar mereka," ungkapnya.
Beberapa hari yang lalu, Abu Elouf dan keluarganya mengevakuasi rumah mereka, setelah rudal Israel menghantam rumah tetangga mereka, “Itu adalah saat-saat yang mengerikan. Anak-anak saya menangis dan kami meninggalkan rumah secepat mungkin. Rumah saya rusak parah akibat pemboman itu. Pecahan peluru dari rudal menembus atap,” kata Abu Elouf.
Terlepas dari tekanan ini, Abu Elouf mengatakan bahwa kesulitan tidak akan menghentikannya untuk melanjutkan pekerjaannya, dan itu meningkatkan tekadnya untuk meliput cerita tersebut.
"Saya mencoba untuk mengatasi situasi ini dan tetap seaman mungkin," tambahnya. “Menyedihkan melihat menara dan gedung yang dulu tempat kami bekerja dibom. Di setiap tempat kami memiliki kenangan yang tak terlupakan," kata Abu Elouf.
Baca Juga: Bella Hadid Dukung Palestina dan Teriak Palestine Will Be Free, Israel: Dasar Nggak Tau Malu
Rushdi al-Sarraj
Rushdi al-Sarraj, 29, adalah seorang jurnalis dan pembuat film di perusahaan Ain Media. “Pekerjaan saya tidak hanya meliput apa yang terjadi, tapi menggabungkan antara jurnalisme dengan aspek pembuatan film, yang fokus pada pemberitaan, apa yang ada di balik pemberitaan,” ujar Sarraj.
"Saya selalu mencari orang-orang yang selamat dari reruntuhan gedung, mencoba untuk meliput kisah mereka dengan bingkai cerita dan film pandek," terangnya.
"Tugas ini sulit dalam keadaan normal, jadi Anda bisa membayangkan bekerja di bawah serangan sengit yang tidak membedakan antara jurnalis, warga sipil, atau pemimpin militer," lanjutnya. Mengenai pemboman gedung media oleh Israel, al-Sarraj mengatakan Israel bekerja keras "untuk membungkam gambar dan suara, dan untuk melarang berita atau informasi apa pun yang mengungkap kejahatannya".
“Pendudukan Israel membunuh banyak jurnalis Palestina. Rekan saya di perusahaan saya, Yasser Murtaja, terbunuh dalam protes damai Great March of Return dua tahun lalu, dan sekarang target jurnalis terus berlanjut,” ujarnya.
Al-Sarraj mengatakan tugas jurnalis di Gaza berbahaya, karena kurangnya alat pelindung seperti helm, “Selalu sulit untuk memisahkan antara perasaan Anda sebagai jurnalis dan sebagai manusia ketika Anda melihat pemandangan darah yang mengerikan dan orang-orang di bawah reruntuhan,” ungkap al-Sarraj.
“Keluarga saya tidak berhenti menelepon saya, takut saya akan disakiti. Ini adalah lingkaran ketakutan dan kelelahan yang tak ada habisnya. Tapi, kami harus terus membagikan pesan kami,” pungkasnya.
Ternyata bukan hanya orang-orang di dunia yang merasa serangan di jalur Gaza mengerikan. Para jurnalis yang menggambarkan kisah mereka berada langsung di tempat itu saja mengatakan jika semua yang terjadi di sana sangat mengerikan.
Baca Juga: Dukungan Rage Against The Machine untuk Palestina di Tengah Konflik dengan Israel
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Cerita Para Jurnalis dari Medan Perang Gaza yang Diliputi Ketakutan"