Follow Us

Mengenang Masa Tumbuh, Redup dan Bangkitnya Skena Musik Emo Di Indonesia

Rizki Ramadan - Kamis, 21 September 2017 | 04:20
gigs musik emo
Rizki Ramadan

gigs musik emo

"Ichod anti jablay, Ichod anti jablay," sebuah suara memecah keheningan ketika Killing Me Inside sedang bersiap-siap untuk memainkan sebuah tembang andalan From First To Last, Ride The Wings of Pestilence. Di dalam video yang diunggah di YouTube pada 12 Februari 2007 tersebut, tampak Sansan (vokal), Josaphat (gitar), Onad (bas), Rendy (drum), dibantu oleh Dochi (additional gitar) tampil all out, di sebuah gig yang di gelar di News Cafe Kemang. Tanpa ada batasan, antara band dengan penonton membaur jadi satu dalam gig yang intim tersebut.

Gambaran suasana gig di atas adalah hanya salah satu contoh dari sekian banyak gig yang banyak digelar di Jakarta dan sekitarnya pada saat itu. Selanjutnya, virus emo dengan cepat menyebar, selain musik, emo juga menjalar sebagai fashion statements anak muda kala itu.

Berselang lebih dari 8 tahun kemudian, tepatnya pada, Jumat, 30 Oktober 2015, gig berkonsep serupa kembali di gelar di Rossi Fatmawati, Jakarta Selatan. Saat itu, di atas panggung yang tingginya nggak lebih dari setengah meter, terdapat Sansan (vokal), Josaphat (gitar), Rudye (Keyboard), Angga Tetsuya (Bas), Dochi (gitar), dan Davi (drum) kembali memainkan sebuah tembang emo legendaris dari Saosin, Seven Years.

"Padahal belum sempat latihan, tuh, yang Seven Years, langsung hajar aja, hehehe...," kata Dochi setelah turun panggung.

Kenangan ini mau nggak mau menyeruak ketika HAI melihat poster sebuah acara yang akan berlangsung di Beer Garden, Kemang, pada 23 September besok yang akan menghadirkan para pionir scene emo di Jakarta. Arck, Too Late To Notice, Side Project, dan Seems Like Yesterday bakal manggung bareng di acara yang diberi nama Party Like It's 2008.

Yap, di Indonesia, emo tumbuh pada kisaran 2003-2006 dan membesar setelahnya. Nggak heran jika 2008 dianggap sebagai momen puncak yang paling dikenang.

Emo Pernah Tiba-tiba Menjamur

Balik lagi ke gig di tahun 2015 yang bernama Risorgimento itu. Di sana beberapa "alumni" KILLMS kembali berkumpul bersama dan merasakan atmosfir gig di era pertengahan 2000-an, ketika wabah emo tengah melanda di seantero Ibu Kota, dan menjalar ke beberapa kota lainnya di Indonesia.

Sebelum KILLMS dikenal banyak orang, masih di era itu, nama-nama seperti Killed By Butterfly, Seems Like Yesterday, The Side Project, Jakarta Flames, Sweet As Revenge juga telah dikenal. Menurut Aldy, gitaris sekaligus frontman Seems Like Yesterday, geliat band-band emo di luar kota selain Jakarta juga cukup tinggi, ada nama-nama The Astronauts dan End of Julia dari Yogyakarta, sedangkan dari Bandung ada Alone at last, Love Hate Love, hingga Jolly Jumper.

"Dulu, pas gue awal nge-band, belum ada scene emo. Band emo pun masing-masing mainnya di acara melodic atau gig campuran hardcore/ metal. Acara pertama yang ada emo-emonya itu kayaknya We No Need No Emo 1, di Rogue, Kemang, Jakarta Selatan. Sekitar 2003 atau 2004-an gitu," kata Aldy.

Selanjutnya, perkembangan emo di Indonesia semakin masif. Aneka gig yang diisi band-band emo semakin banyak. Hal ini juga cukup dipengaruhi oleh band-band yang tengah digemari di Barat sana. Mulai dari Finch, Saosin, A Static lullaby, The Used, Underoath, Matchbook Romance, hingga yang mainstream seperti My chemical Romance mempunyai penggemarnya sendiri.

Sempat Dihadang Gerakan Antimo (Anti-emo)

Editor : Rizki Ramadan

Baca Lainnya

Latest