Beberapa waktu lalu isu tentang bunuh diri terdengar lagi. Seorang pria dengan akun Facebook Pahinggar Indrawan melakukan video live bunuh diri di Facebook miliknya (17/3). Menurut catatan WHO Preventing Suicide Global Imperative Report (2014), pada 2012 ada 9105 orang bunuh diri, terdiri dari 5206 cewek dan 3900 cowok. Selain itu, menurut situs kesehatan Healthline, nggak ada alasan tunggal mengapa seseorang mencoba menghilangkan nyawanya sendiri. Tapi, faktor-faktor tertentu bisa meningkatkan risiko.
Orang lebih mungkin berusaha bunuh diri jika mereka memiliki gangguan kesehatan mental. Sekitar 90 persen orang bunuh diri memiliki gangguan mental atau psikologis. Beberapa literatur ilmiah menyebutkan, faktor genetik juga punya peran dalam kecenderungan seseorang menyakiti atau membunuh dirinya sendiri.
Namun, kondisi lingkungan berperan lebih banyak dalam ekpresi gen tersebut. Akhirnya, lagi-lagi kondisi psikososial kita juga lah yang berperan besar dalam memprediksi kemunculan perilaku bunuh diri.
Contoh, Ibu X udah memiliki riwayat percobaan bunuh diri dan akhirnya meninggal bunuh diri di saat anaknya masih kecil.
“Asumsinya, si anak memiliki gen si ibu. Tapi, jika kondisi psikososial si anak ini sehat dan tidak memberikan tekanan yang hebat, si anak tidak akan memiliki kecenderungan bunuh diri," kata Benny Prawira, psikolog pendiri Into the Light Indonesia, Gerakan remaja peduli kesehatan jiwa dan pencegahan bunuh diri di Indonesia.
Penyebab bunuh diri nggak bisa dilihat hanya satu faktor aja, karena sifatnya multikompleks. Ada faktor biologis, psikologis, dan sosial yang saling bertumpang tindih. Faktor risiko secara psikologis yang secara umum dianggap bisa meningkatkan kemungkinan bunuh diri adalah depresei, keputusan, kesepian, perasaan menjadi beban, serta gangguan trauma atau penyalahgunaan zat.
Faktor risiko sosial bisa karena individu mengalami diskriminasi, marjinalisasi, dan stigmatisasi atas salah satu identitasnya, kesulitan finansial atas akses kesehatan jiwa, akses pelayanan, kesehatan jiwa yang jauh jaraknya, dan lainnya.
Gejala bunuh diri
Masih menurut Benny, orang yang berniat atau memiliki gagasan untuk bunuh diri, biasanya akan menunjukkan perubahan perilaku.
"Tadinya suka bergaul bersama kita tapi sekarang jadi murung dan menarik diri. Secara virtual, misalnya dia tiba-tiba keluar dari grup WhatsApp, foto profilnya berubah jadi hitam atau gelap, terbalik atau diganti dengan meme bernuansa depresif atau kematian," jelas Benny.Cara kita membantu mereka
Menghadapi seseorang yang punya kecenderungan bunuh diri, atau punya niat bunuh diri pastinya nggak gampang. Tapi kalau kita melihat ada teman atau keluarga yang punya gejala mencurigakan, sebaiknya kita jangan berdiam diri.Untuk menghadapi situasi itu, Benny menyarankan, “Yang pertama, sebelum dapat berempati kepada seseorang, kita harus tahan asumsi kita terlebih dahulu. Asumsi atau penghakiman seperti “kurang iman, begitu saja lemah, bodoh, putus asa” harus ditahan.”
“Cobalah menjadi pendengar bagi dia. Entah dia menangis atau marah-marah, kita tidak perlu bereaksi berlebihan atau member banyak nasihat. Yang dia butuhkan adalah sosok pendengar,” lanjut Benny.
Selain itu, kita juga perlu melihat sejauh yang bersangkutan memikirkan kematian. Apakah implicit seperti “Aku berharap nggak dilahirkan” atau “Aku mau tidur dan nggak bangun-bangun lagi”. Atau, malah udah eskplisit dan detail seperti “Aku mau mati gantung diri. Berani nggak, ya?” atay “Dalam sebulan lagi, saya akan minum racun”.
Semakin eksplisit atau jelas dan detail pesannya, artinya semakin berbahaya. Bagi yang bukan psikolog atau psikiater, batasannya adalah bersedia menjadi pendengar atau “tempat sampah” bagi keluh-kesah orang tersebut.
Proses pemulihan adalah tanggungjawab dari psikolog dan psikiater. Karena itu, sebisa mungkin cobalah bujuk dan rujuk orang yang kita curigai punya maksud bunuh diri ke tenaga professional. (Lily Turangan)