“Penerimaan terbaik justru datang dari teman-teman saya” kata Maria sambil tersenyum.
Ketika dia memberi tahu keadaannya, sahabatnya justru mendukung dan memberikan semangat kepada Maria. “Nggak ada sikap yang berubah dan perlakuan diskriminatif sama sekali. Kita masih sering minum dari sedotan yang sama bersama-sama, nggak ada yang berubah,” kata Maria sambil tersenyum.
Begitu juga dengan George, walau di awal keluarganya mengunkungnya dari berbagai aktivitas, kini ibunya malah menjadi lebih perhatian dari sebelumnya. Ibunya selalu mengingatkan George untuk minum obat dan menemaninya ke dokter, misalnya.
"Dulu itu informasi tentang HIV/AIDS sangat kurang, sehingga masyarakat jadi nggak bener dalam menghadapi ODHA. Namun, masyarakat sudah semakin pintar, mereka semakin tahu bagaimana penularan HIV/AIDS yang sebenarnya," jelasnya.
Para remaja juga menunjukkan kepeduliannya terhadap masalah HIV/AIDS ini, terutama masalah stigma negatifnya itu. Rifqi Ramadhan, siswa kelas XII SMA, memang belum pernah kenal atau berteman dengan ODHA. Tapi doi yakin banget, bahwa ODHA tuh nggak boleh dijauhi.
“Gue sih bakal biasa aja kalau ada temen yang kena HIV. Gue mau semangatin aja hidupnya,” kata Rifqi.
Begitu juga dengan Dzabi. Sejak ia tinggal di rumah yang bersebelahan dengan pusat rehabilitasi ODHA mantan pecandu narkoba, ia makin yakin bahwa ODHA tuh nggak perlu dipisahkan.
“Gue kenal mereka. Nggak ada yang beda dari mereka. Kalau ketemu, pelukan juga nggak kenapa-kenapa. Nggak bakal menular,” kata drummer muda yang tinggal di daerah Potlot, Jakarta Selatan ini.
Bisa menerima ODHA sebagai teman, sahabat, dan keluarga adalah langkah besar. Setelahnya, ketidakadilan lainnya juga akan ikut tergerus. Beriringan dengan itu, penangangan kasus HIV/AIDS ini pun semoga semakin gencar dan berhasil.