Follow Us

Ini 5 Alasan Pelajar SMA Setuju Dengan Penghapusan Ujian Nasional

Rizki Ramadan - Senin, 28 November 2016 | 03:00
Siswa peserta ujian nasional 2016 menunggu aba-aba dimulai ujian (foto Ilustrasi)
Rizki Ramadan

Siswa peserta ujian nasional 2016 menunggu aba-aba dimulai ujian (foto Ilustrasi)

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy dengan mantap memutuskan untuk menghapus Ujian Nasional (UN) 2017. Penghapusan UN bakal ditetapkan dalam Instruksi Presiden (Inpres). Pak Muhadjir juga mengatakan, jika UN akan dilaksanankan kembali dengan catatan apabila pendidikan sudah merata di setiap tingkatan se-Indonesia.

Kabar ini menjadi salah satu kabar yang paling mengejutkan buat para pelajar, khususnya anak SMA. Dari 58 pelajar SMA yang HAI tanyai, 89,7% persennya senang dengan keputusan ini. Sementara sisanya masih mengharap adanya UN.

Kepada yang setuju dengan kebijakan pak menteri ini, HAI bertanya. Apa, sih, alasan mereka. Inilah beberapanya.

1. UN itu nggak adil

Lewat UU No 20 tahun 2003 Pasal 5(1) tentang hak dan kewajiban warga negara, berjanji: “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”.

Tapi nyatanya, ya seperti yang kita tahu, lah. Kualitas pendidikan di nusantara ini belum merata. Temen kita di Lanny Jaya, Irian Jaya sana bahkan banyak yang belum bisa baca dengan baik, padahal mereka sudah SMA.

“UN tuh nggak adil. Semua sekolah baik di kota besar ataupun daerah terpencil dikasih soal yang standar kesulitannya sama. Sedangkan fasilitas dan kualitas pengajar dan fasilitas sekolah jelas kontras banget antara di kota besar dan daerah pinggiran. Sepupu gue di kampung nilai UN saat SMP 23 dari 40. Nilai itu di sana udah dicap pinter. Padahal kalau di Jakarta nilai segitu belum ada apa-apanya,” kata Mega, dari SMA 91 Jakarta.

2. Nggak Ada UN Pelajar Bisa Fokus Persiapan Masuk Perguruan Tinggi

Kalau udah kelas XII, temen-temen kita tuh udah susah banget diganggu. Mereka pada sibuk bimbel, bimbel dan bimbel. Nah, selama ini ujian yang mereka hadapi ka nada dua, UN dan SBMPTN.

“Lebih baik fokus sama SBMPTN dan mengejar SNMPTN dibandingkan dengan UN yang tidak akan dipakai sama sekali (hasilnya),” kata Ridho dari SMAN 3 Depok.

Tapi, di satu sisi, fokusnya kita terhadap SBMPTN justru menghadirkan masalah sendiri sih. Wuih. Apa tuh?

“Jadinya anak-anak lain bisa memanfaatkan waktu yang seharusnya siap-siap buat UN sekarang jadi fokus SBM. Jadi makin ketat aja gitu persaingannya. Hehehe,” canda Alifa Shavira dari SMAN 81 Jakarta.

3. Anggaran untuk UN Bisa Dialokasikan Untuk Kebutuhan Lain

Nurul Fatiha, temen kita dari SMAN 68 Jakarta berpendapat bahwa dalam urusan dana, UN tuh nggak efektif.

“Gue sih setuju (dengan penghapusan UN), karena menurut gue UN itu ngabisin uang negara, kurang efektif dan malah memperbesar kesempatan buat mainin anggaran kan? Hehe. Lebih baik lagi kalo anggaran UN tahun depan dialokasikan buat tenaga pengajar. Gue nggak bisa ngebayangin aja seberapa kekurangannya tenaga pengajar di kota yang jauh dari Jakarta. Orang di Jakarta aja pengajarnya begini”. Lanjut doi yang peduli banget sama pendidikan ini.

Setelusur HAI, anggaran yang dipakai untuk UN tuh bisa sampai ratusan miliar. Tahun 2012, dilaporkan anggaran UN sampai Rp 600 miliar, sementara di tahun 2015 sampe Rp 560 miliar.

Kalau dialokasikan untuk beasiswa untuk pelajar di daerah pelosok, bisa banyak tuh penerimanya. Hehe.

4. Gara-gara UN, Orientasi Belajar adalah Nilai

Ya, yang satu ini side effect aja, sih. Tapi perlu diperhatikan juga. Soalnya, gejala ini cukup meradang. Esensi belajar, kan, untuk memperbanyak ilmu pengetahuan dan wawasan, biar kita bisa melakukan sesuatu yang baik dan bermanfaat. Nah, tapi apa yang terjadi sekarang. Kita belajar lebih utamanya demi mengejar nilai, tuh.

Coba aja tanya ke temen-temen kita yang ikut bimbel, tujuan utama mereka tuh biar menambah ilmu atau sekedar biar tau cara cepet ngerjain soal ujian dan kisi-kisinya, demi dapet nilai tertinggi? Semoga sih HAI salah

5. Kecurangan UN Selalu Merajalela “Ujian Nasional hanya menjadi ajang unjuk nilai yang hasilnya hanya didapat oleh kecurangan oleh karena beberapa oknum yang tidak bertanggung jawab dan menyebarkan kunci jawaban yang belum bisa dipertanggungjawabkan,” kata siswa SMAN 8 yang bernama panggil Cupang.

Dugaan HAI sih, masalah in terjadi karena gejala di poin keempat itu. Setuju nggak? Demi dapet nilai tinggi, segala cara dihalalkan. Udah bukan rahasia umum lagi kalau tiap UN tuh selalu ada aja kecurangan. Penyebaran kunci jawaban juga selalu ada, tuh. Cerita guru yang ngebantu muridnya dalam menjawab soal juga udah sering banget didengar.

Yah, kita lihat aja nanti apakah UN bakal bener-bener ditiadakan. Yang pasti sih, kalo bener UN nggak ada lagi kita bakalan rindu suasana dulu ketika mau UN.

Kita bakal rindu suasana rumah yang tiba-tiba gaduh disaat mau ujian. Momen ketika sebelum Ujian Handphone disita sama ortu, dan jadi nggak boleh pergi kemana-mana.

Bakalan rindu ketika dibuat nangisin rame-rame sama motivator ketika mau ujian dengan jurus “Bayangkan jika kamu….”. Tiba-tiba banyak yang jadi alim dan lebih taat agama. Dan yang paling sedih sih gabakal lagi lihat temen yang tipe-nya easy going, yang ketika ujian menganut Teori paham DaKeLu : Datang-Kerjakan-Lupakan. Ya nggak sih?! Hehehe.

Apa pun keputusan pak Menteri nanti, yang penting kita terus belajar dengan bener aja ya, bro!

Penulis: Rizki Ramadan

Reporter:

Bintang P.D - SMKN 1 Depok

Editor : Hai

PROMOTED CONTENT

Latest