Drummer yang sering menyebut dirinya seorang supir truk ini adalah sosok yang punya pengaruh cukup besar dalam social media, khususnya Twitter. Lewat kicauan-kicauannya di akun @JRX_SID, cowok bernama asli I Gede Ari Astina ini terus melontarkan sikapnya tentang berbagai hal, terutama soal Indonesia.
Beberapa hal yang sering jadi bahan kritisi vokalis Devildice ini diantaranya adalah tentang isu kekerasan di Indonesia, #BaliTolakReklamasi, dan masih banyak lagi. Nggak mengherankan, di penghujung tahun 2013 lalu, HAI memilih dia sebagai salah satu Artists of the Year di tahun 2013.
Ternyata, sikap keras kepala sang drummer yang juga hobi surfing ini masih terus berlanjut, tanpa mengenal waktu dan batasan, dia tetap berceloteh, walaupun sering harus menanggung risiko yang nggak main-main.
Paling anyar, di tahun 2014 ini ia rela "menjilat ludahnya" sendiri, perihal Pemilu. Akhirnya, Jrx memutuskan untuk nggak golput dalam Pemilu Pilpres kemarin. Alasannya simple tapi masuk akal, ia nggak mau sekumpulan orang-orang jahat semakin merajalela memimpin Indonesia.
HAI kembali menampilkan petikan wawancara dengan Jrx ketika ia meraih HAI Artist of the Year 2013. Transkrip wawancara ini akan dibagi menjadi dua bagian. Wawancara ini berceirta tentang banyak hal, Mulai soal Bali Tolak Reklamasi, teror yang sering ia terima, nasionalisme, sisi pribadinya, hingga harapannya untuk Indonensia dan Bali pada khususnya.
Selamat menikmati celotehan sang "supir truk" asal Bali ini.
1. Di tahun ini (2013-RED), anda sangat aktif "berkicau" di social media tentang "Bali Tolak Reklamasi". Bagaimana awal mula cerita anda turut terlibat dalam pergerakkan ini?
"Beberapa tahun terakhir ini saya gerah melihat rumah saya, Bali (terutama Bali selatan; Kuta, Nusa Dua, Seminyak dan sekitarnya) diexploitasi alam serta SDM nya secara membabi-buta atas nama pariwisata. Kemacetan, polusi, sampah hingga masalah kependudukan, semua makin kacau. Masyarakat lokal hanya bisa jadi penonton saat 'potensi' tanah kelahirannya 'dikeringkan' oleh penguasa/pengusaha yang melihat Bali tak lebih dari alat untuk menambah kekayaan dirinya. Isu reklamasi menjadi menonjol karena laut seluas 883 hektar yang hendak direklamasi adalah kawasan konservasi. Efek reklamasi dikhawatirkan menimbulkan abrasi di pantai sekitar Bali selatan serta membunuh ekonomi nelayan/pengusaha lokal yang sudah puluhan tahun mencari nafkah di perairan Tanjung Benoa. Studi kelayakan yang dilakukan para staff ahli dari Universitas Udayana juga jelas-jelas menyatakan reklamasi tidak layak dilakukan. Saya bukanlah aktivis, tapi sejak dulu punya kedekatan dengan kawan-kawan aktivis di Bali khususnya Walhi Bali. Jadi saya selalu berusaha mendukung apapun usaha mereka untuk 'meredam' pembangunan yang ngawur di Bali. Simpelnya, saya sebagai orang Bali hanya ingin ikut serta mempertahankan 'rumah' saya dari nafsu investor/penguasa yang tidak sayang Bali,"
2. Apakah pernah keselamatan anda, teman-teman aktivis lain, bahkan keluarga benar-benar terancam selama aktif dalam "Bali Tolak Reklamasi" ?
"Yep, ada tekanan dari aparat, preman hingga orang-orang berperawakan tegap berambut cepak. Tempat usaha saya didatangi orang-orang mencurigakan yang nanya-nanya dimana alamat rumah saya dan sebagainya, mungkin saya mau dijebak atau dibungkam. Saya punya kawan yang dulu dijebak dan dimasukkan penjara karena memimpin desanya melawan kebijakan penguasa/investor rakus. Jadi hal-hal seperti itu sangat mungkin terjadi pada saya,"
3. Apa alasan utama anda tetap "ngeyel" terus bergerak dengan "Bali Tolak Reklamasi"?
"Saya surfer dan sangat mencintai pantai, tentu saya gak ingin pantai di Bali rusak. Alasan kedua, saya ga rela masyarakat Bali terus-terusan dibodohi penguasa/pengusaha yang hanya mengandalkan argumen "kami akan menyediakan lapangan kerja baru" tapi kenyataannya alam dan struktur sosial Bali perlahan dihancurkan. Nanti kalau alam dan struktur sosial Bali sudah rusak parah, penguasa/investor tinggal jual aset mereka, aman. Nah kita masyarakat lokal hanya akan diwarisi masalah-masalah permanen (krisi air, sampah, abrasi, kemacetan, kependudukan dll). Dengan segala potensi yang dimiliki Bali, masyarakat lokal harusnya jadi tuan di tanahnya sendiri, bukan malah jadi penonton serta kacung orang-orang berduit,"