HAI-Online.com - Pasti kalian udah familiar dengan berbagi istilah teori konspirasi, dong?
Yoi, udah sejak lama teori konspirasi di dunia berkembang. Mulai dari vaksin yang dapat menyebabkan autisme, bumi datar, hingga teori bahwa dunia ini dipimpin oleh elit reptil; apapun teorinya, yang namanya teori konspirasi selalu diikuti oleh banyak orang.
Pertanyaannya adalah kenapa banyak orang percaya pada teori-teori tersebut, meski pun bukti-bukti yang ada berbicara sebaliknya?
Dilansir dari Time, teori konspirasi yang paling umum adalah teori yang mengikuti perkembangan arus politik. Sebagai sebuah aturan yang luas, partai yang nggak berkuasa akan lebih cenderung percaya pada persekongkolan daripada mempercayai kelompok yang berkuasa.
Baca Juga: Gundala Bukan Film Superhero, Tapi Jadi Penanda Lahirnya 'MCU Indonesia'
"Teori konspirasi adalah untuk yang kalah," kata Joseph Uscinski, profesor ilmu politik dari University of Miami dikutip dari Time, Minggu (15/10).
Uscinski menekankan bahwa dia menggunakan istilah ini secara harfiah dan nggak bermaksud merendahkan. "Orang-orang yang kehilangan kekuasaan, baik uang atau pengaruh mencari sesuatu untuk menjelaskan kerugian itu," sambung salah satu penulis dari buku American Conspiracy Theories itu.
Jadi, secara konsisten dan dapat diprediksi, teori-teori konspirasi muncul bersamaan dengan masa pemilihan umum atau pemilihan presiden.
Namun tentu saja, nggak semua anggota partai dan pemilih yang nggak puas dengan hasil pemilu mempercayai cerita-cerita konspirasi tersebut. Ada faktor lain, seperti tingkat pendidikan dan kekayaan.
Sebuah survei menunjukkan bahwa sekitar 42 persen orang dengan pendidikan rendah setidaknya percaya pada satu teori konspirasi. Sementara itu, hanya 23 persen orang dengan pendidikan tinggi percaya terhadap teori konspirasi.
Penelitian pada tahun 2017 juga menemukan bahwa rata-rata orang yang berpendapatan rendah cenderung lebih percaya pada teori konspirasi.
"Dalam kasus ini, teori konspirasi bisa seperti obat emosional," kata Joseph Parent, profesor ilmu politik di Notre Dame University.