HAI-Online.com - Buat lo yang kalo belajar pernah baca buku paket sekolah atau buku ilmiah, pastinya sering lihat nomor ISBN di belakang. Buat lo yang 'sekadar pake' bukunya, nomor itu nggak punya makna apa-apa. ISBN ini singkatannya International Standard Book Number.
Padahal, buat penerbit, nomor ini sama pentingnya dengan nomor Kartu Tanda Penduduk (KTP). Biasanya, nomor ini ditulis kecil di tempat yang jarang dilihat pembaca. Di bagian bawah sampul belakang atau di balik halaman judul, misalnya. Setiap buku di dunia memiliki nomor ISBN berbeda.
Sistem penomoran buku emang setua sejarah buku, Tapi sistem penomoran secara internasional belom sampai setengah abad. Waktu jumlah buku belum begitu banyak, urusan penomoran buku belum jadi masalah rumit.
Dilansir dari Intisari Online, awalnya buku-buku itu dinomorin pakai sistem nomor urut biasa. Masalah mulai muncul saat abad ke-20 waktu miliaran buku dicetak. Perdagangan buku lintas negara juga makin marak. Makanya, sistem penomoran buku secara internasional mulai dipikirin.
Baca Juga: Meski Punya 2,6 Juta Followers, Kaos Jualan Selebgram Ini Cuma Laku Sedikit
Cikal bakal ISBN bermula dari gagasan W. H. Smith, pemilik toko buku terbesar di Inggris tahun 1965. Waktu itu Smith punya rencana mindahin toko bukunya ke gedung baru yang dilengkapi sistem komputerisasi. Dengan bantuan konsultan ahli dan Komite Distribusi dan Metode dari Asosiasi Distribusi Penerbit Inggris, Smith ngenalin sistem Standard Book Numbering (SBN) tahun 1966.
Setahun berikutnya, sistem yang ia gagas diterapkan di Inggris. Di tahun yang sama, International Organization of Standardization (ISO) mulai bahas kemungkinan mengadopsi sistem ini untuk pemakaian internasional.
Tahun 1970, ISO pun menyetujui sistem ISBN sebagai standar yang dikenal sebagai ISO 2108. Sampe sekarang sekitar 150 negara udah pakai sistem ini, termasuk Indonesia. Masing-masing negera memiliki badan resmi yang berhak mengeluarkan ISBN. Di Indonesia, otoritas itu dipegang Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI).
ISBN terdiri dari sepuluh digit angka. Bagian pertama nunjukin negara asal penerbit (untuk Indonesia 979). Bagian berikutnya menunjukkan identitas penerbit. Sebagai misal, Gramedia Pustaka Utama (GPU) 655, sehingga ISBN-nya 979-655-XXX-X. Sementara buku-buku terbitan Mizan ber-ISBN 979-433-XXX-X.
Bagian ketiga nunjukin urutan judul buku di dalam penerbit tersebut. Kalo angka terakhir itu angka pemeriksa (check digit). Angka ini diperoleh melalui rumus tertentu berdasarkan angka-angka sebelumnya.
Meski letaknya paling ujung, angka pemeriksa punya fungsi penting. Kita tahu, salah ketik sering terjadi saat nulis angka. Waktu seseorang lagi masukin sembilan angka ISBN, angka pemeriksa akan muncul di tempat lain dan dicocokkin dengan digit ke-10 ini.
Jika nggak sama, berarti ada angka yang salah ketik. Pada buku-buku penting dan berumur panjang, ISBN biasanya digabungin dengan barcode sistem EAN (European Article Number).