Follow Us

Ngintip Tradisi Ngabuburit Remaja Jakarta 70-an: Main Bleguran!

Alvin Bahar - Minggu, 12 Mei 2019 | 15:00
Tiga orang anak sekolah dasar di Kompleks Mabako, Kelurahan Watunggene, Kecamatan Kota Komba, Manggarai Timur, Flores, NTT, Jumat (19/12/2014) membunyikan meriam bambu di samping rumah mereka. Tradisi meriam bambu merupakan warisan leluhur orang Flores untuk menyambut kelahiran Isa Almasih.
(KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR)

Tiga orang anak sekolah dasar di Kompleks Mabako, Kelurahan Watunggene, Kecamatan Kota Komba, Manggarai Timur, Flores, NTT, Jumat (19/12/2014) membunyikan meriam bambu di samping rumah mereka. Tradisi meriam bambu merupakan warisan leluhur orang Flores untuk menyambut kelahiran Isa Almasih.

HAI-ONLINE.COM - Biasanya, kalo lo nunggu buka puasa ngapain? Ngabuburit atau kegiatan mengisi waktu menjelang buka puasa di bulan Ramadhan dapat dilakukan dengan beragam cara. Ada yang memilih berjalan-jalan di berbagai tempat wisata, berkeliling mencari makanan takjil, atau berkeliling ke berbagai pusat perbelanjaan. Namun tradisi ngabuburit warga Jakarta masa lalu tak seperti sekarang. Menurut sejarawan, penulis, sekaligus pendiri penerbitan Komunitas Bambu, JJ Rizal, sekitar tahun 70-an, warga Jakarta lebih memilih menunggu waktu berbuka puasa dengan melakukan aktivitas sembahyang di rumah atau melakukan kegiatan berkelompok bersama warga kampung. “Ya ada, jadi walaupun ada yang bilang tidur saja lebih baik daripada menimbulkan dosa gitu ya, tapi ngabuburit itu bisa dilakukan macem-macem. Misalnya dulu ada ngabuburit digunakan untuk menyiapkan aneka macam permainan. Misal para remaja mempersiapkan permainan bleguran begitu ya,” ujar Rizal saat dihubungi Kompas.com, Jumat (10/5/2019). Rizal mengatakan, menjelang berbuka para remaja pada masa itu akan pergi ke kebun untuk mencari bambu kentung atau bambu yang memiliki rongga yang besar sebagai bahan dasar membuat bleguran.

Baca Juga : Nggak Terima Dirazia, 2 Pelajar SMP Nekat Lempar Petasan ke Markas Polda Riau“Bambu yang besar itu kemudian dimasukkan karbit lalu disundut. Biasanya nanti akan dibawa malam hari. Bleguran juga sering disebut meriam sundut,” lanjut Rizal. Menurut Rizal, meski berbentuk seperti meriam dan menghasilkan suara yang keras, bleguran nggak berbahaya. Para remaja dan warga kampung lainnya akan berkumpul dan menikmati keceriaan membunyikan bleguran bersama. Sayangnya, lanjutnya, tradisi bermain bleguran kini sudah semakin ditinggalkan dan nyaris hilang. Banyak faktor yang menyebabkan tradisi ini hilang, salah satunya kurangnya lahan terbuka di Jakarta dan budaya warga Jakarta yang mengalami perubahan. Ia berharap, budaya-budaya semacam ini dibangkitkan kembali. Sehingga nantinya dapat jadi salah satu bentuk pelestarian atraksi budaya masa lalu warga Jakarta yang dapat menarik minat wisatawan.Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Bleguran, Tradisi Ngabuburit Remaja Jakarta Tahun 70-an"

Editor : Alvin Bahar

Baca Lainnya

Latest