Nilai HP Lebih Tinggi dari Nyawa, Pelajar SMP Rela Bunuh Temannya, Sosiolog UNS: Budaya Kekerasan Masuk ke Anak-anak

Minggu, 07 Agustus 2022 | 09:59
Apple

ilustrasi penggunaan handphone

HAI-Online.com-Seorang pelajar ditemukan meninggal dunia di sebuah perkebunan kopi di Desa Baleagung, Grabag, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Kamis (4/8/2022) lalu.

Saat ditemukan, tubuh korban berinisial WS (13) yang masih duduk di bangku SMP ini penuh dengan luka.

Menurut keterangan Kapolres Magelang AKBPMochamad Sajarod Zakun, terduga pelaku adalah teman sekolah korban.

Baca Juga: Emosi Labil, Pemuda Bunuh Ibunya Sendiri yang Seorang Penjual Bubur, Netizen: Auto Masuk Neraka

"Untuk sementara ini baru satu (terduga pelaku yang diamankan), yakni temannya yang mengajak keluar korban, dan yang bersangkutan juga sudah mengakui perbuatan itu," ujar Sajarod dikutip HAI dariKompas.com, Minggu (7/8/2022).

Dari hasil pemeriksaan sementara, pelaku mengaku nekat menganiaya dan menghabisi nyawa korban karena takut ketahuan telah mencuri ponsel milik korban.

Lantas, mengapa seorang anak bisa nekat membunuh temannya? Menyoal sosiolog dari Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta Drajat Tri Kartono mengatakan, seorang anak yang membunuh itu menandakan telah tersebarnya budaya kekerasan pada masyarakat, terlebih anak-anak.

Budaya kekerasan ini, pada tingkat tinggi akan menyebabkan anak berani mengambil tindakan menghabisi nyawa orang lain.

"Budaya kekerasan ini muncul pada mereka (anak-anak) dari beberapa sumber, bisa saja dari media, termasuk juga belajar dari film-film," jelas Drajat,Sabtu (6/8/2022).

Selain itu, imbuh Drajat, budaya kekerasan juga bisa berasal dari rumah. Misalnya, saat orang tua tidak akur dan tidak bisa menjaga konflik keluarga dari anak.

"Itu menimbulkan pemahaman pada anak bahwa kekerasan itu bisa ditolerir," tutur dia.

Baca Juga: Ikut Andil Lawan Kekerasan Bersenjata, Fall Out Boy Berdonasi ke Komunitas di Kota-Kota Kelahiran Mereka

Untuk mengendalikan budaya kekerasan yang berkembang, Drajat mengatakan bisa dilakukan dengan mengambil langkah-langkah preventif.

Langkah tersebut, salah satunya dengan pendidikan serta penanaman nilai-nilai kemanusian dan adab kepada anak-anak oleh satuan pendidikan, tokoh-tokoh agama, atau pihak lain.

Selanjutnya, bisa juga melalui upaya represif dalam bentuk penegakan hukum jika telah terjadi kekerasan.

Meski demikian, Drajat menuturkan, anak yang berhadapan dengan hukum kerap kali menimbulkan kebimbangan.

"Apakah anak itu akan dihukum seperti orang dewasa atau dia harus direhabilitasi supaya masa depan dia tidak rusak," ucap Drajat melanjutkan.

Lebih lanjut Drajat menjelaskan, kekerasan hingga tindakan pembunuhan yang dilakukan anak-anak bisa juga lantaran perubahan sosial yang tidak bisa diikuti oleh anggotanya.

Ia mencontohkan, keluarga yang tidak bisa mengikuti perubahan ekonomi masyarakat, sehingga masuk dalam golongan masyarakat miskin.

"Kalo saya melihat dari masalah HP ini kayaknya ini ada ketertinggalan itu. Jadi ada semacam deprivasi di mana anak melihat kenyataan di masyarakat semua orang sudah mempunyai HP, sementara dia belum bisa memakai atau membeli HP," ungkap Drajat.

Baca Juga: Suka Duka Berduka Series: Sajikan Beragam Konflik Sepanjang Pembagian Harta Warisan

Hingga akhirnya, si anak mencuri ponsel temannya dan melakukan pembunuhan pada korban karena takut ketahuan.

Tindakan tersebut, menurut Drajat, menyangkut perubahan sosial masyarakat.

Jika masyarakat tak bisa mengikuti, akan memunculkan pemikiran bahwa aspek material lebih penting dibanding aspekvalueatau nilai.

"Jadi yang penting itu punya tidaknya HP. Khawatirtemannya tahu (sehingga dibunuh), maka nilai dari nyawa dan manusia itu menjadi lebih rendah daripada HP itu sendiri," ungkapnya. (*)

Editor : Al Sobry

Baca Lainnya