HAI-Online.com – Buat sebagian orang, matematika mungkin menjadi mata pelajaran paling nakutin.Bahkan beberapa orangmengalami kesulitan meskipun hanya menghadapi hitung-hitungan dalam digit sederhana saja.
Nggak heran, banyak orang yang mengaku buruk dalam matematika, alias lemah dalam hitung-menghitung angka.
Namunkenapa seseorang bisa mudah melakukan soal matematika dan beberapa lainnya lagi lemah dalam penambahan, pengurangan bahkan perkalian angka?
MelansirThe Conversation, faktor mengapa seseorang bisa buruk dalam hitung-hitungan bisadisebabakan olehtrauma matematika.
Baca Juga: 11 Jurusan yang Bisa Dipilih buat Lo yang Nggak Suka Matematika
Apa itu trauma matematika?
Trauma matematika biasanyadiwujudkanke dalam rasa cemas dan takut jika melakukan kesalahan dalam hal menghitung angka.
Selain karena faktor kurangnya pembekalan insting hitung-hitungan sedari dini, trauma akan matematika juga bisa disebabkan oleh sistem pengajaran yang kurang tepat.
Menurut Randy Palisoc, pengajar dari James Jordan Middle School, jika saja semua guru bisa menunjukkan bahwa matematika adalah salah satu bahasa berkomunikasi layaknya bahasa inggris dan bahasa-bahasa lainnya, maka anak-anak akan lebih bisa mengenal talenta alaminya dalam berlogika.
Pemberian batas maksimal waktu pengerjaan soal hitung-hitungan kepada seseorang yang lemah dalam berhitung juga akan memicu ketakutan, dan mematikan memori otak mereka. Hal ini juga akan menyebabkan trauma matematika.
Pengenalanmatematika sedari dini lewat pendekatan yang menyenangkan seperti permainan bisa jadi solusi agarsaat dewasa nanti mereka nggakmengalami trauma matematika.
Baca Juga: Nggak Cuma buat Hitung-hitungan, Matematika Ternyata Banyak Pengaplikasiannya Lho
Kemampuan matematika nggak berkaitan dengan genetika
Kemampuan dan ketidakmampuan seseorang dalam soal hitung-hitungan atau matematika ternyata juga nggak berkaitan sama sekali dengan gender, ras, atau bahkan status ekonomi.
Kemampuan dan ketidakmampuan dalam matematika sangat nggak terkait dengan genetika mengingat matematika belum begitu lama menjadi bagian dari kehidupan manusia.
Mengutip dari laman Big Think, insting matematika pada masing-masing orang baru diterapkan dan dikenalkan ketika seorang anak mulai memasuki jenjang sekolah. Seperti dengan menghitung gambar apel atau gambar berbagai binatang.
Nah, perkembangan akan insting ini berkaitan erat dengan pola pembelajaran orang tua di rumah.
Beberapa anak sudah dibekali orang tuanya insting berhitung sederhana sebelum memasuki jenjang Paud, sedangkan beberapa lainnya baru mengenal angka setelah memasuki pintu Paud.
Jadi hal yang normal dan wajar, jika anak yang belum mendapatkan "bekal" sama sekali akan mengalami perkembangan lebih lamban dibanding anak yang sudah mengenal insting dasar matematika.
Pasalnya, dalam beberapa soal ujian yang diberikan gurunya, anak yang sudah membawa "bekal" ini lebih bisa menguasai soal dan menemukan jawaban dengan cepat. Sehingga tanpa disadari, mereka melabeli dirinya sebagai seseorang yang ahli berhitung, atau ahli matematika.
Baca Juga: Ikut SBMPTN 2021? Materi Ini Paling Sering Keluar di Soal UTBK Saintek
Pelabelan yang tanpa disadari ini akan memicu semangat dan membuat mereka lebih senang belajar matematika dalam berbagai level.
Nah anak yang belum diberi bekal matematika sama sekali, nggak pernah mengetahui jika teman-temannya yang lain sudah mencuri start dengan belajar insting hitung-hitungan sedari dini.
Yang mereka tahu, mereka buruk dalam soal hitung-hitungan, dan pemahaman diri ini akan membuat mereka semakin takut menghadapi berbagai soal matematika. (*)