Cerita WR Supratman Muda, 19 Tahun Perform di Pesta Kondangan!

Senin, 09 Maret 2020 | 18:44
Sobry

Cerita WR Supratman Muda, 19 Tahun Perform di Pesta Kondangan!

HAI-Online.com – Berasal dari keluarga yang kurang bahagia, dengan kisah perkawinan yang kurang bahagia. Ia banyak menderita, tukang gadai, tinggal di rumah lantai tanah atap rumbia.

Hanya karena ia berkulit coklat, dia pernah diludahi Belanda. Oh, pak guru yang pernah menanggalkan biola, menciptakan Indonesia Raya, delapan hari Cuma.

Ia sendiri tak tahu, kala itu bahwa lagu ciptaannya bakal jadi lagu kebangsaan.

Baca Juga: Bikin Konten Prank Coronavirus, 6 Pemuda Jadi Berurusan dengan Polisi

Seniman, wartawan bersahaja ini pun menghadap Tuhan dalam usia 34 tahun, tepat tanggal 17 Agustus 1938.

Bagaimana dengan kisah muda WR. Supratman? HAI punya cerita dalam arsip edisi 1984, berikut HAI-Online.com beberkan ulang tepat di Hari Musik Nasional.

Gairah Musik Supratman

Hati seorang pemuda bernama Supratman tergugah dan tertantang melihat permainan biola kakak perempuannya. Dia ingin sekali memainkan biola itu.

Seperti biasa, dia akan mengerjakan keinginannya itu dengan diam-diam. Hampir tiap hari, calon guru ini berlatih biola di kamarnya.

Umurnya baru 19 tahun ketika dia mulai memamerkan kepandaiannya di sebuah pesta kawinan.

Rukiyem, sang kakak, kali ini dibuatnya kaget. Dalam dua tahun permainan Wage Rudolf Supratman ternyata jauh lebih baik darinya.

Sejak saat itu, Supratman dikenal sebagai pemain biola di Ujung Pandang, tempat tingalnya bersama Rukiyem.

Cuplikan film WAGE

Wage itu Hari Lahirnya!

Nama pemberian orangtua hanya Supratman. Tapi karena lahir pada hari Jum'at Wage, dia mendapat panggilan akrab di keluarga si Wage dan nama baptis Rudolf.

Lahir 9 Maret 1903, anak laki-laki tunggal putra sersan Kartodikromo ini sangat dimanja di keluarganya. Ibunya meninggal dan ayahnya menikah lagi.

Wage yang pendiam dan senang berkhayal ini makin tak betah di rumahnya di Jatinegara, Jakarta. Akhirnya dia ikut kakak tertuanya ke Ujung Pandang.

Baca Juga: Bangga! Andrea Turk, Cicit WR Supratman Menang Lomba Bikin Lagu Berbahasa Inggris di London, Ini 5 Faktanya!

Remaja Merantau

Otaknya cukup cerdas, hanya sayang kulitnya coklat matang hingga dia ditolak di sekolah Belanda. Mau nggak mau dia harus sekolah di Bumi Putra.

Umur 17 tahun dia tamat sekolah dan diangkat menjadi guru. Menyukuri keberhasilannya ini Wage berkata pada kakaknya "Kalau tidak karena kakak, tidaklah aku dapat menjadi guru. Dengan apa kubalas budi kakak?".

"Balaslah dengan lebih rajin belajar terhadap segala macam ilmu. Ingatlah kau telah menjadi guru. Itu berarti tanggung-jawabmu pada masyarakat besar sekali,” kata kakaknya.

Kata-kata itu juga yang terus menjadi pegangan utamanya dalam menghadapi hidup selanjutnya.

Dengung pergerakan kebangsaan mulai terdengar di Ujung Pandang. Sebagai remaja, Wage merasa terpanggil untuk mengenal gerakan yang berpusat di Pulau Jawa.

Bosan dengan gaya hidup kebarat-baratan dia pindah ke Bandung dan bekerja sebagai wartawan. Dia yang biasa bekerja sebagai guru, pekerjaan yang teratur dan tenang, sekarang harus hidup sebagai wartawan dengan gaji kecil dan pekerjaan tak teratur.

Dia juga harus belajar bergaul dengan semua lapisan masyarakat. Untuk menutup kekurangannya. Wage bekerja sebagai pemain musik di sebuah perkumpulan musik kaum peranakan Belanda.

Intisari

Biola WR Supratman, Ikon Museum Sumpah Pemuda

Jadi Wartawan Miskin

Tak puas dengan Bandung, ia pindah ke Jakarta. Dia sekali lagi harus menentukan pilihan, meneruskan hidup kebarat-baratan atau menerima kenyataan bahwa wartawan itu miskin?

Barang-barangnya habis digadaikan, tapi dia puas mendapat kesempatan menghadiri pertemuan-pertemuan politik.

Sedikit demi sedikit pengaruh pergerakan nasional merasuk ke jiwanya.

Korban Rasisme

Kalau dulu dia senang hidup ala Belanda, sekarang dia bisa marah bila ada yang menyinggung soal pribumi. Tapi toh malah dianggap "Belanda pun tidak''.

Hingga terjadi peristiwa di mana ia dimaki tiga pemuda Belanda dengan sebutan inlander (pribumi) sambil meludahinya.

"Lu kira lu berdarah Eropa? Lu nggak lebih dari Inlander yang makan singkong busuk," kata orang Belanda itu.

Hinaan itu membuatnya tercengang. Tapi justru saat itulah, setelah kemarahan reda, merupakan titik balik sikap hidup Supratman. Dia merasa berdosa pada tanah airnya dan berjanji akan berbakti semampunya.

Definisi me(derita)rakyat

Dari rumah gedung, Wage Supratman pindah ke kampung dan mengontrak pondok beratap nipah dan berlantai tanah. Di daerah tempat tinggalnya, dia mulai mengerti penderitaan rakyat.

Bersambung ke bagian (2)...

Editor : Al Sobry

Baca Lainnya