Zaman sekarang, pecinta indie mana yang nggak tau nama Elephant Kind? Meski usianya pun belum genap 3 tahun, tapi band pop yang digawangi Bam Mastro (vokalis, gitaris), Dewa Pratama (multiinstrumentalis/ gitar/ backing vocal), dan Bayu Adisapoetra (drum) ini tampaknya udah cukup kedengeran dan mendulang prestasi. Dua EP dan satu album telah mereka rilis ke pasaran. Banyak yang suka, banyak juga yang jadi nge-fans berat. Bam cs pun udah sering naik turun panggung, dari Indonesia, bahkan Malaysia.
Sebagai musisi yang memilih jalur indie buat berkarya, tentu produktivitas dan eksistensi mereka di sejumlah panggung itu nggak bisa dianggap sebelah mata. Mereka bahkan bisa nunjukin kalo tanpa masuk ke label atau menjadi musisi yang “tau beres” pun, mereka udah bisa pasang badan dan bangga sama pencapaiannya.
Tapi bener nggak, nih, kalo Elephant Kind tetep akan mandiri dan independen selamanya?
Well, sejauh ini mungkin nggak ada yang bisa nebak-nebak. Cuma, kalo ditanya ke para personilnya yang sempet menyambangi markas HAI beberapa saat lalu, mereka sempet juga tuh ngebocorin pandangan dan rencana-rencana mereka ke depan. Termasuk, pandangan mereka tentang geliat musik sidestream dan juga mainstream.
Apa katanya?
“Gue dulu pernah, udah lama banget, sih, tahun 2000-2001, gue sempet ketemu sama Jerinx ‘Superman Is Dead’, dan itu dia baru banget mau masuk ke Sony Music, terus akhirnya ngobrol-ngobrol, dan dia bilang, banyak yang ngata-ngatain Superman Is Dead. Dia bilangnya, lo (SID) ngapain masuk mainstream, band punk tapi masuk-masuk mainstream. Cuma gue ngeliatnya, mereka berani untuk ambil big step dan lebih bodo amat, yang penting mereka berkarya. Itu, sih, yang menurut gue keren banget,” jelas Bayu.
Yap, 2,5 tahun berkarya secara independen, Elephant Kind bilang kalo mereka nggak nutup kemungkinan buat nantinya berkarya di bawah label –asal label sama sekali nggak gangguin proses kreatif mereka dalam menciptakan karya. Lagian, terima atau nggak, major label pasti udah punya sistem sendiri yang mempermudah proses perkembangan satu band.
“Gue fine aja, sih sama label. Kalo zaman 10 tahun lalu, indie masuk ke label itu kesannya haram banget, sekarang udah nggak lagi sih, sama-sama aja,” ungkap Bayu. “Lagian menurut gue, nggak ada jaminan kalo masuk label besar, kita bakal sukses, balik lagi ke karyanya,”
Meski punya pendapat kayak gitu, buat sekarang-sekarang ini, band yang terbentuk sejak 2014 ini udah cukup ngerasa enjoy sama apa yang mereka kerjain (dan perjuangin) lewat jalur mandiri. Dengan mengandalkan kekuatan sendiri aja, mereka udah berhasil, kok, manggung di berbagai kota besar di Indonesia, bahkan di luar negeri. Tapi bukan berarti, mereka gampang puas dengan semuanya. Mereka cuma masih nyaman untuk ngurusin tetek-bengek ngebandnya sendiri, dari produksi, sampai distribusi.
“Menurut gue, indie itu gimana cara kita ngejalanin ini. Kalo label kan udah punya caranya sendiri. Gue pernah kerja di kantor musik dan ketemu sama banyak label, dan menurut gue, yang gue aplikasikan ke Elephant Kind adalah cara mereka. Ternyata mereka, setiap band, ada orang PR (Public Relation, RED)-nya lah, ada orang ininya segala macem, itu yang kita aplikasiin di Elephant Kind sekarang,” jelas Bayu.
Dengan belajar dari label, lalu konsisten nyiptain karya tanpa intervensi eksternal sebagai modal berkelana dari satu panggung ke panggung lain, band yang semua liriknya pake bahasa Inggris ini yakin kalo siapapun yang berjalan di arus pinggir ini bisa juga meraih pasar yang lebih luas. Malahan, bukannya nggak mungkin, apa yang kita kenal sekarang sebagai sesuatu yang sidestream, suatu saat nanti malah jadi mainstream dan jadi konsumsi massal.
“Mainstream tuh menurut gue, kalo emang karya lo bisa diterima banyak orang, eventually itu jadi mainstream. Bisa jadi gol juga. Tapi kalo gol kita, bukan disukain semua orang, tapi gol kita adalah kita bisa didengar semua orang. Kalo semua orang suka, karya kita, ya, bakal bisa jadi mainstream,” tukas Bam optimis.