Follow Us

facebookinstagramyoutube_channeltwitter

Geliat Pers Abu-Abu

- Senin, 03 Oktober 2016 | 07:30
Geliat Pers Abu-Abu
Hai Online

Geliat Pers Abu-Abu

Lantaran majalah sekolah lesu kemudian ceramah jurnalistik menjadi santer digiatkan. Semuanya demi pers abu-abu agar tetap panas.

Efek industrialisasi memang menjadi salah satu penyebab remaja jarang menulis dan membaca buku. Menurut Gola Gong, pengarang favorit era 80-an itu berpendapat bahwa anak muda masih lebih rela mengucurkan dananya ke mal dan menonton bioskop ketimbang menambah koleksi buku bacaan. Ya, remaja lebih suka menonton film daripada membaca. Padahal tradisi menulis tergantung dari tradisi membaca. Jika tertanam dalam kebiasan membaca maka tak mustahil akan menimbulkan keseriusan dalam menulis.

Secara umum memang agaknya kebiasaan menulis jarang tertanam pada kalangan remaja. Sekalipun ada masih terbatas pada lingkungan sekelompok remaja tertentu. Fenomena itu juga sempat terjadi tahun 1997. Padahal 8 tahun sebelumnya, ketika novel-novel pop remaja laku keras, dikalangan pelajar sudah mengenal pers abu-abu. Kala itu jajaran pengurus majalah dinding atau mading dan majalah sekolah sangat getol memburu liputan bak jurnalis profesional. Para penulis remaja pada saat itu seperti Hilman Hariwijaya dan Gola Gong sempat berbesar hati. Mereka meyakini bakal ada regenerasi.

Namun keyakinan itu sedikit tergoyahkan, di mana saat itu pasukan kritis di sekolah sempat kehilangan pamor. Bak cuaca yang sering berubah-rubah, geliat penerbitan sekolah mengalami kelesuan. Yang semula rutin menawarkan liputan heboh menjadi semakin menyusut. Hal ini tentu tak lepas dari banyak faktor yang menyertai. Kendala-kendala seperti dana macet, dukungan motivasi dari sekolah dan sumber daya manusia kurang juga mempengaruhi perfoma penerbitan majalah. Lainnya siswa banyak yang mengeluh soal waktu. Akibatnya majalah sekolah ambruk seiring lantaran kurikulum yang begitu ketat. Karena waktu para pelajar tersita untuk memikirkan pelajaran.

Demi memanaskan pers abu-abu itu berbagai pihak dan majalah kesayangan kamu bergerak, menyemarakan kembali ceramah jurnalistik. Pada waktu itu HAI kerap mengadakan acara ke sekolah-sekolah lewat pelatihan efektif yang memacu kepenulisan. Mengenal dunia jurnalistik, teknik wawancara, kiat mencari berita, penulisan berita dan feature. Mereka berlatih membuat media sekolah. Seperti yang digelar pada tanggal 20 November 1997 di SMP AL Azhar Pondok Labu, Jakarta Selatan. Berikutnya giliran SMA Kanisius Menteng Raya, Jakarta Pusat. Dan, tak hanya di dalam kota, Bandung dan Semarang juga menjadi tempat yang menjadi sasaran jurnalistik HAI. Tak tanggung tanggung, wartawan, illustrator, desainer, fotografer semunya diboyong datang demi memuaskan pengundang.

Memang butuh pengkondisian lewar dialog penulisan kreatif atau pelatihan jurnalistik. Namun dialog-dialog itu perlu ditindaklanjuti atau bukan sekedar teori agar pers abu-abu memanas terus. Makanya, sampai detik ini HAI terbuka lebar menyediakan terus ruang buat kamu. Jangan ragu untuk menuntaskan tulisan-tulisan kamu. Siapa tahu nanti bisa menjadi jurnalis atau bahkan menulis buku dan menjadi pengarang ternama. Apalagi berhasil menghasilkan tulisan-tulisan yang kelak dibaca orang banyak. (*HAI FILE :2 Desember 1997/Edi Dimyati)

Editor : Hai

Baca Lainnya





PROMOTED CONTENT

Latest

x