"Kita" yang dimaksud Pevi Permana, adalah para skaters. Dan pernyataan itu mungkin hanya sebagian kecil dari sekian banyak kekecewaan seorang skater lokal yang sudah mencatatkan diri sebagai skater Indonesia yang berhasil menembus dunia pro-skating di negeri asalnya, Amerika. Termasuk Pevi sendiri.
Keberangkatan Pevi pada pertengahan Juni-Juli 2009 lalu ke The DEW Tour di Boston, Amerika Serikat harus diakui adalah pencapaian luar biasa. Selain jadi atlet Indonesia pertama yang turun di ajang itu, keikutsertaannya saat itu sama sekali tanpa campur tangan pemerintah. Toh, minus dukungan yang diperlukan, Pevi tetap berhasil mencatatkan diri di peringkat 40 dunia. Menyeruak di antara ratusan lainnya.
"Setiap mau berangkat bertanding ke luar negeri saya selalu lapor pemerintah. Khususnya KONI sebagai lembaga olah raga. Tapi entah kenapa jawabannya selalu sama, 'Nanti akan diusahakan'. Itu jawaban klasik yang sering sekali saya dengar," cerita cowok kelahiran Bandung, 25 Maret 1988.
Janji-janji macam itulah yang bikin Pevi dan teman-temannya gerah. Sehingga akhirnya seringkali memutuskan untuk jalan sendiri
Begitupun halnya dengan fasilitas dan prasarana latihan bagi para skaters. Area bermain dan berlatih yang jadi kebutuhan utama untuk berprestasi itu, saat ini keberadaannya makin menipis oleh penggusuran dan pengalihan peruntukan lahan. Beberapa kali skaters, terutama di Bandung, mengkritik tentang hal ini dan selalu nggak dapat tanggapan yang memuaskan.
Selain mengungkapkan kekecewaannya itu, Pevi juga bercerita seputar awal karirnya. Baca saja majalah Hai edisi 28 yang terbit 11-17 Juli 2011.