Bagaimana Arus Pinggir Skena Musik Indonesia Semakin Deras

Jumat, 09 Maret 2018 | 02:30
Fadli Adzani

Gigs Lokal

Di saat musik mainstream udah nggak terlalu diminati, ada arus lain yang siap unjuk gigi (lagi).

Arus itu bernama sidestream, yang secara harfiah berarti arus pinggir. Emang bukan hal baru sih. Kalo balik ke era ’80-an, sekumpulan anak-anak gondrong yang doyan nongkrong di pelataran parkiran Apotik Retna di Jalan Fatmawati, Jakarta Selatan, tanpa sadar jadi pionir sebuah perubahan. Pergerakan arus pinggir musik cadas Indonesia diawali dari pelataran parkiran apotek. Nggak percaya?

Merekalah cikal bakal band Roxx, Rotor dan Suckerheads yang jadi motor arus pinggir musik cadas negeri ini di tahun 80-an. Kenapa arus pinggir? Ya, karena di blantika musik rock pada masa itu, yang jadi arus utama alias mainstreamnya musik kayak Godbless, Elpamas, Anggun C. Sasmi, Nike Ardilla dan Nicky Astria.

Mereka menganggap, musik para seniornya ini kurang keras dan kurang kenceng. Maka kiblat pun mereka geser ke luar negeri. Metallica, Anthrax, Sepultura dan Kreator lantas jadi panutan. Dan sebuah arus lain tercipta, sampai mengubah cara bermusik para rocker pada saat itu. Rock pun digusur metal. Komunitas musik underground bertebaran di mana-mana.

Arus tersebut nggak berhenti sampai di situ, di tahun ’90-an, musik britpop dan punk muncul ke permukaan, mempengaruhi anak-anak muda untuk “menjarah” bar dan kafe kecil di ibukota untuk mengadakan gigs yang bisa menampung musik mereka. Di era ini istilah indie sebagai singkatan dari independen, jadi suatu yang keren.

Gigs 2000-an
Pada akhirnya, istilah indie/underground vs major label pun jadi terasa usang, malah jadi debat panjang yang nggak berkesudahan. Untungnya, ada angin segar yang dimotori oleh anak-anak muda Jakarta pada awal tahun 2000-an yang mulai bergerak untuk menciptakan pasar sendiri, seperti Aksara Records yang melahirkan band-band seperti Sore, The Adams, The Brandals, hingga White Shoes & the Couples Company.

Istilah sidestream untuk menggambarkan mereka terasa lebih pas. Karena pergerakkannya melampaui segala macam debat istilah, attitude dan gaya bermusik.

Merekalah yang menjadi salah satu contoh pionir skena musik sidestream di era millennium baru, yang mau mewadahi segala macam cara unik dan nggak lazim dalam bermusik. Contoh kasus bentuk skena musik arus pinggir yang nggak lazim dan ditolak mentah-mentah oleh major label adalah grup musik Bottlesmoker pada tahun 2005.

“Suatu saat, sebuah major label nawarin kita untuk bergabung, tapi persyaratannya (kami) harus pakai vokalis, dan tentu aja itu langsung bentrok dengan konsep band kita. Apalagi, vokalisnya ditentukan oleh dan dari mereka,” ujar Anggung Suherman alias Angkuy, salah satu dari dua personel Bottlesmoker.

Bottlesmoker
“Menyebarluaskan (musik) di Indonesia itu ada masalah penerimaan oleh publik dan media. Karena musik kami minimalis, jadi nggak diputar di radio, nggak bisa di-review. Semacam ada penolakan di negeri sendiri. Itu kenapa kami rilis di Internet,” katanya dengan nada satir.

Sebaliknya, kebebasan penuh memang dari dulu dirasakan ketika seorang musisi bergabung dengan label independen.

Daffa Andika, salah satu pendiri label independen Kolibri Rekords, pun membeberkan yang terjadi di dalam label yang ia bentuk tahun 2013 lalu.

“Kita memberikan wewenang terhadap band, label hanya sebagai pihak yang membantu memfasilitasi perilisan, publikasi dan manage aja,” ujar Daffa ketika ditemui di kawasan Sarinah, Jakarta Pusat.

Namun, Daffa dan teman-temannya nggak mau gegabah dalam merekrut sebuah band, apalagi meriliskan album mereka begitu aja. Belajar dari yang udah-udah, Daffa pun menceritakan kisah sukses Aksara Records yang dengan jeli bisa mengorbitkan nama band sidestream.

“Setelah gue telaah, di dalam label Aksara Records, walaupun independen, gue tau mereka tetap punya arahan atau kurasi tertentu. Karena, label independen yang baik itu nggak serta-merta melepas musisinya begitu aja. Tapi tentu juga mengarahkan, memberi opsi dan saran, entah itu dari segi musikal atau artistiknya,” tambahnya.

Bedchamber
Sesudah merilis album musisinya, label independen memiliki tugas lain, yakni menyediakan panggung Kolibri Rekords memiliki gigs rutin bernama Internet Fwendz dan Who Let The Birds Out. Nggak hanya itu, mereka juga nggak jarang mengadakan tur ke luar kota untuk mengenalkan band-bandnya.

Begitu juga Orange Cliff, label independen Bandung, Jawa Barat yang gemar mengadakan gigs untuk mengorbitkan artis-artis yang albumnya mereka riliskan.

Otomatis, munculah pendengar baru yang setia mengeksplor band-band antah berantah ini, yang akhirnya memicu terciptanya pasar baru. Seperti yang pernah disampaikan Cholil Mahmud, pentolan grup musik Efek Rumah Kaca melalui lagunya, Pasar Bisa Diciptakan.

Seperti kata Indra Ameng, Direktur Program Ruang Rupa (Ruru) yang meyakini bahwa lagu Pasar Bisa Diciptakan ditujukan kepada para seniman yang sedang berupaya keras mengenalkan karya mereka.

“Kalo perspektif gue, lagu itu membuat kita percaya diri atas apa yang kita bikin, kalo kita suka dan merasa bahwa apa yang kita ciptakan itu bagus, pasti yang dengerin dan nonton juga akan senang,” tegas Ameng, yang juga menjadi kurator untuk acara-acara seperti RRRec Fest dan Superbad!, dua gigs yang keberadaannya sangat disyukuri oleh musisi arus pinggir.

“Menurut gue, scene (sidestream) di Indonesia udah semakin terbentuk, ada loyalitas di dalamnya. Kita harus menciptakan pasar sendiri, pasti ada yang dengerin, mau sebusuk apapun musiknya,” ujarnya tegas.

Karena pasar bisa diciptakan, sebenarnya musik sidestream bisa menjadi mainstream. Itulah yang terjadi sekarang, karena seunik-uniknya selera musik, dengan kreativitas dan kegigihan, pasti ada yang mau melirik. Kita nggak bisa menutup mata, nggak sedikit yang mendengarkan pop melayu, tapi nggak jarang juga yang mau dengerin punk dan aliran musik arus pinggir lainnya.

“Kenapa sekarang (musik sidestream) bisa berkembang, jelas selera orang beragam, dan selera orang yang beragam inilah yang harus dimasukkan, bukan nyari yang kuantitatif. Kita percaya bahwa itu nggak bisa dibantah, bahwa orang seleranya beragam,” tegasnya.

Perlu diketahui, usaha Ameng mengenalkan grup musik arus pinggir itu sangat unik. Suatu saat, ia mengadakan acara musik di Galeri Nasional. Kala itu, ia memanggil band-band kecil untuk manggung, pun yang sangat terkenal. Namun, ia malah memberi panggung yang besar kepada grup musik kecil, stage untuk band besar ia tempatkan di ruang sempit.

“Biar masyarakat bisa nonton (band) yang baru, yang ruang kecil (untuk band besar) biar pada rebutan. Nggak perlu lagi ditonton sama orang banyak, yang baru-baru yang mesti ditonton,” katanya.

Nggak cuma itu, perjuangan Ameng dalam menciptakan pasar baru bagi musisi-musisi arus pinggir juga ditandai dengan berdirinya gigs rutin bernama Superbad! Sejak tahun 2008, setiap bulannya, Ameng bersama Keke Tumbuan menggelar acara itu di Jaya Pub, Thamrin, Jakarta Pusat.

“Harus melakukannya dengan rasa senang, kalo nggak senang, ya ngapain? Jangan ekonomi (uang) yang jadi motif awal, walau nggak salah, tapi kita harus lebih mengutamakan penemuan baru. Kita kasih yang beda, dan pasti akan susah cari sponsor dan dana, karena mereka udah mau yang jadi,”

Untuk mengadakan acara musik yang layak, Jaya Pub sebenarnya tidak terlalu nyaman untuk dijadikan panggungnya para musisi. Tempatnya yang kecil dan sumpek membuat orang-orang yang berdatangan jadi susah jalan, kadang mereka harus berdesak-desakkan untuk menonton band kesukaan mereka.

Tapi, Ameng punya pendapat lain. Menurutnya, ruang-ruang seperti itulah yang harus diperbanyak.

“Keintiman adalah hal yang istimewa dalam musik sidestream. Kalo di panggung gede, lo nggak akan ketemu sama band-band lain di backstage dan akan ada jarak antara penampil dan penonton. Makanya, tempat-tempat manggung (kecil) seperti Rossi, Borneo dan Jaya Pub itu penting banget dan harus diperbanyak,” curhatnya.

MENYULAP GUDANG

Ngomongin tentang menciptakan pasar, Ameng beserta temannya dari Ruru, Ade Darmawan, menemukan sebuah “taman bermain” bagi para seniman, termasuk musisi, untuk menuangkan kreativitasnya. Ya, Gudang Sarinah, tempat yang akhir-akhir ini ramai dikunjungi anak muda. Kebangkitan gudang yang udah lama “mati” ini ditandai oleh acara Jakarta Biennale 2015 yang diadakan oleh Ruang Rupa (Ruru).

“Gudang Sarinah itu mewah, luasnya 2,5 hektar, posisinya di tengah kota, sangat bagus jika dijadikan tempat pusat kreativitas. Jakarta harus memiliki tempat seperti ini, gimana caranya kita bisa nyaingin 150 mall kalo nggak ada tempat seperti Gudang Sarinah?” ungkapnya.

Mengelola Gudang Sarinah tentu aja nggak murah, bagi Ruru, mengeluarkan uang sendiri untuk menjaga eksistensi tempat tersebut nggak jadi masalah. Mereka sangat terbuka untuk bekerjasama dengan pihak lain demi menghidupi ekosistem baru, bahkan sama pemerintah sekalipun. Namun, mereka tidak menerima intervensi, pokoknya, seniman harus mandiri.

Belum lama ini, sebuah perusahaan rokok ternama di Indonesia, menggunakan tempat di Gudang Sarinah untuk mengadakan acara musik besar-besaran dengan line-up band sidestream yang namanya udah sangat beken. Itu membuktikan bahwa keberadaan musisi arus pinggir mulai diperhitungkan.

Dengan kata lain, band-band sidestream telah sukses menarik perhatian perusahaan besar untuk menyediakan panggung unjuk gigi dan juga mendanai gigs mereka. Dengan begitu, industri musik Indonesia menjadi lebih berwarna dengan kehadiran musisi-musisi antah berantah ini.

DIAKUI NEGERI ORANG

Udah banyak band sidestream yang diajak manggung di luar negeri. Seperti festival musik SXSW di Texas, Amerika Serikat yang menampilkan White Shoes & the Couples Company pada 2008, The S.I.G.I.T. pada 2009 dan Shaggydog pada 2016. Lalu ada Stars and Rabbit yang tur ke Britania Raya tahun lalu. Belum lama ini, mereka juga manggung di Laneway Festival bareng Bottlesmoker. Masuk ke musik metal, ada Burgerkill dan Jasad dari Bandung yang mengguncang tanah Eropa pada 2015 di Jerman, Inggris hingga Republik Ceko.

Di dalam negeri, kesuksesan musik sidestream dapat dilihat dari banyaknya perusahaan rokok besar yang mau mendanai gigs mereka, seperti gigs rutin Thursday Noise dan festival Lalala Fest. Diikutsertakannya Barasuara ke dalam ajang penghargaan AMI Awards dan memenangkan satu pialanya juga dilihat sebagai sebuah pencapaian industrI sidestream yang patut dibanggakan. Itu semua membuktikan bahwa musik mereka sangat dinikmati kualitasnya.

Meskipun grup musik yang bergerak di arus pinggir ini sempat nggak dianggap di negeri sendiri. Namun, mereka berhasil membuktikan, bahwa nggak perlu mainstream untuk sukses!

Intinya, nggak perlu mengikuti arus utama untuk menyebarkan karya, karena ketika kita sudah menciptakan pasar sendiri, jalur untuk mengenalkan karya kita akan terus terbuka. Jangan takut untuk bermusik di arus pinggir, karena pasar dapat diciptakan.

Jangan pula terjebak di istilah indie/underground yang mentok di attitude dan DIY aja, nggak akan maju! Lewat sidestream, karya kalian bisa didengar melalui jaringan pendukung industri pasar sendiri!

Editor : Fadli Adzani

Baca Lainnya