Sejarah Panjang Masuknya Musik Metal ke Jakarta, Mulai dari Apotek hingga ke Pub!

Jumat, 09 Maret 2018 | 01:00
Fadli Adzani

Anak Metal

HAI-ONLINE.COM - Berawal dari komunitas penggemar musik cadas yang doyan meng-cover band metal dari luar negeri macam Metallica, Sepultura, dan Kreator. Akhirnya menjelma menjadi sebuah sub-kultur yang hidup sampai sekarang di Ibukota.

Virus metal disebar dari apotek, lewat pub dan turun ke sekolah dan kampus. Ungkapan ini ada benarnya juga. Karena memang begitu adanya penyebaran scene metal di Indonesia, khususnya Jakarta, dan lebih konkretnya lagi Jakarta Selatan. Inilah awal mula kisah metal masuk ke Jakarta.

Sebenarnya nggak jauh berbeda dari kondisi sekarang sih. Band-band cadas sejak awal tahun 2000-an sudah dapet sambutan meriah di acara-acara sekolah macam PL Fair (SMA Pangudi Luhur), Alseace (Al Azhar BSD), Labs Project (SMA Labs School Rawamangun), Alseace (Al Azhar BSD), dan lain-lain.

CEK JUGA:4 Gigs Penting Bagi Skena Musik Independen Indonesia

Dulu pun sekitar pertengahan sampai akhir 1980-an, musik-musik cadas lebih diterima di pentas seni sekolahan. Virus metal juga udah dilancarkan di berbagai acara sekolah “angkatan tua” seperti PL Fair, Pamsos (SMA 6 Jakarta, sebelum punya pensi Klassix, RED), dan HSK (SMA 34 Jakarta).

Lantas apa bedanya?

Kalo sekarang band-band metal bisa langsung mengandalkan lagu-lagu karya sendiri pas tampil di pensi. Dulu sih boro-boro. Mereka seperti punya kewajiban untuk memainkan lagu band-band cadas mancanegara yang lagi ngetop.

"Alasan kami jadi band cover waktu itu adalah karena musik belum dihargai. Bikin album nggak ada royaltinya. Bawain lagu sendiri nggak ditanggapin. Akhirnya kami semua bermusik dengan bawain lagu orang. Sekalian melatih skill. Dulu kan makin keras dan cepat, dianggap oke,” ujar Jaya, eks gitaris Roxx.

Roxx, di tahun 1989, pernah jadi panutan baru band cadas ibukota karena dianggap sebagai pembuka jalan untuk band-band metal gara-gara lagu mereka, Rock Bergema. Lagu ini selalu jadi pilihan lagu favorit saban ada kompetisi band rock yang banyak banget digelar di era itu.

Musik Roxx dianggap fresh karena di era awal sampai pertengahan 1980-an, musik cadas yang sering jadi contoh adalah God Bless, SAS, sampai Elpamas. Musik ketiganya juga berkiblat dari luar. Tapi lebih ke band-band hard rock seperti Iron Maiden, Motley Crue, Van Halen, dan Def Leppard.

NGGAK SUKA MAINSTREAM

Makin mendekati tahun 90-an, tren berganti. Anak-anak band masa itu nggak lagi bergantung pada genre hard rock, yang diusung band-band tadi. Era metal pun lahir, dengan membawa sederet band panutan dari negeri Abang Sam dan daratan Eropa.

Roxx tentunya juga awalnya muncul sebagai band cover yang sangat update. Mereka kadung dicap sebagai band tribute Metallica dan Anthrax. Kala itu, Roxx adalah Trison Manurung (vokal), Iwan Achtandi (gitar), Jaya (gitar), Didik Sugianto (bas), dan Arry Yanuar (drum). Trison sempat gabung sama Edane di tahun 2000, kemudian balik lagi ke Roxx. Sementara Arry meninggal pada tahun 1999.

Bareng mereka, ada pula band Razzle yang sering membawakan lagu-lagu Guns N Roses, Sucker Head (Kreator dan Sepultura), Commotion of Resources (Exodus), Parau (DRI, MOD, AMQA). Band-band ini kerap muncul sebagai show pamungkas di sebuah festival band atau kompetisi band pelajar.

Tentunya, para penggemar musik ini, biasanya berkostum T-shirt hitam, sudah mulai berkerumun di depan panggung nungguin lagu yang enak buat dibikin pecah. Pokoknya tiap lagu Extreme Aggression-nya Kreator, Seek and Destroy-nya Metallica atau Bowling Ball-nya AMQA berkumandang di pentas, area depan panggung udah kayak puting beliung. Penonton ber-slam dancing, head banging, sampai stage diving. Nah, kalo udah kayak gini, biasanya para cewek minggir tuh, dan aparat bersiap siaga.

“Kami nggak menikmati musik mainstream saat itu . Kayak Nicky Astria, Anggun C. Sasmi, menurut kami kurang asik, kurang kenceng. Sampai akhirnya kami ngeliat album milik band AMQA (Apple Maggot Quarantine Area),” kisah Haryo Pramoe, drummer Parau.

Cowok yang sekarang terkenal sebagai Chef ini masih ingat betapa lagu Bowling Ball yang ada di album berjudul Mutant Cats From Hell milik AMQA itu bisa membuat massa penonton menjadi liar. Tentunya, karena Parau adalah spesialis band tribute AMQA, lagu itu sering jadi andalan saban manggung.

Semua penonton tau lagu itu, karena referensinya sama. Apalagi kalo bukan berburu kaset impor gelap dari Malaysia. “Bangga banget kalo punya kaset yang ada tulisan SDN.BHD (istilah PT, Perseroan Terbatas, dalam bahasa Malaysia, RED). Artinya kaset itu dari Malaysia yang casing-nya warna putih,” kenang Iwan AS, sang gitaris.

Iwan masih ingat gimana ia meyakinkan teman-teman sebandnya untuk manjadikan Bowling Ball sebagai anthem band ini. “Gue bilang waktu itu ke band, kita bawain lagu ini aja! Gampang, tapi asik!,” ujar Iwan AS, vokalis merangkap gitaris yang baru bergabung di Parau tahun 1989.

Di era itu, metal menjadi sesuatu yang fresh di Indonesia, khususnya Jakarta. Karena ritem-ritemnya bersuara garang, sementara ketukan drumnya seolah berlomba-lomba dengan raungan gitar. Dan vokalnya punya range dan warna yang lebih luas. Mulai dari menggeram, berteriak seperti orang bentak-bentak sampai growl yang nggak jelas lagi nyanyian liriknya.

“Ada semacam pemahaman baru waktu itu yang kami rasain. Pertama, vokalis band musik cadas ternyata nggak perlu melengking juga bisa asik. Kedua, vokal teriak-teriak dan nggak bernada juga bisa enak didengar, contohnya kayak karakter vokal James Hetfield-nya Metallica. Terakhir, lagu dengan ritem-ritem cepat juga bisa dijual,” tutur Jaya yang akrab dipanggil Abah ini panjang lebar.

Bagi Roxx yang pada tahun 1989 keluar sebagai juara II Festival Rock se-Indonesia V garapan Log Zhelebour di Surabaya, teknik bermain musik seperti itu mungkin bisa dianggap sebagai having fun aja. Tapi bagi penonton, aksi mereka udah kayak menyaksikan Metallica secara langsung di depan mata. Dan itu berlaku juga buat band lain.

“Senang aja rasanya ngeliat kami diterima sampai seperti itu meskipun nggak ada penonton cewek yang nunjukkin to*etnya ke kita kayak di konser grup rock bule,” gurau Jaya terkekeh.

“Bagusnya kami semua emang merasa senasib, karena musik kami dianggap rusuh, nongkrong bareng, punya fans bareng, jadi besar di panggung bareng, padahal waktu itu (di akhir tahun 80-an) bisa dibilang nggak ada karya yang kami buat,” lanjut Iwan AS.

Satu-satunya penghargaan yang mereka terima adalah sebuah acara radio bernama Rock N’ Rhythm 1991 asuhan Bugi Usman di MustangFM yang memutar lagu-lagu cadas. Mulai dari musik punk, sampai death metal. “Pengasuh acaranya sendiri (Bugi), awalnya nggak direstuin bikin acara itu, hehehe,” kenang Haryo.

APOTEK DAN PUB

Sebenarnya kalo soal tongkrongan, becandaan Jaya soal cewek tadi, nggak perlu dikhawatirkan. Asal tau aja, anak metal pada zaman itu, justru jadi inceran cewek-cewek cantik. Nggak percaya? Inilah catatan para pelaku tongkrongan anak metal di akhir tahun 80-an. Informasi ini mungkin sudah banyak ditulis di berbagai situs sejarah musik underground lokal.

Ya, mereka kerap nongkrong di pelataran parkir Apotek Retna, di bilangan Jalan R.S Fatmawati, Jakarta Selatan. Entah kenapa, para cowok gondrong yang bergaya lusuh itu, malah jadi perhatian kaum hawa yang selalu wangi.

Tersebutlah beberapa nama seleb cewek kinclong di tahun-tahun segitu yang rajin mampir ke pelataran Apotek Retna. Sebut aja Ayu Azhari, Cornelia Agatha, Sophia Latjuba, Karina Suwandi hingga Krisdayanti sering mampir ke sana. Aktris Ayu Azhari sendiri bahkan sempat nikah sama almarhum Jodhie Gondokusumo, yang sempat jadi vokalis Rotor dan Getah. Di tempat itulah mereka semua berkumpul. Asal muasal band metal di Jakarta waktu itu bisa dibilang semua berawal di pelataran Apotek Retna. Dari yang tukang mabok, sampe ajang pamer kaset dan kaos impor ada di sana.

“Yang mabok ya mabok, yang dengerin metal keras-keras di mobil ya lanjut. Biasanya almarhum Arry (drummer Roxx), tuh yang suka bawa kaset impor untuk didengerin bareng. Nggak ada polisi yang berani negor. Takut kali! Soalnya mereka kan anak pejabat semua, hahaha,” celoteh Jaya.

Biasanya, abis dengerin lagu baru, mereka pun latihan bareng di sebuah studio musik yang berjarak kurang dari satu km dari Apotek Retna. Namanya studio One Feel, atau Cockpit di Panglima Polim.

“Pokoknya harus semirip mungkin sama di kaset kalo mau manggung. Master of Puppets (Metallica) udah jadi andalan banget deh!” tambah Jaya.

Karena panggung sekolah dan kampus nggak selalu tiap minggu, mereka sering manggung di Pid Pub, sebuah bar di bilangan Pondok Indah. Tempat yang sekarang berlokasi di dekat R.S Pondok Indah itu, dulu menjadi ajang hura-huranya anak metal. Di sinilah hubungan pertemanan mereka menjadi semakin luas dan kuat. Banyak lagi band metal yang lahir dari sini.

“Bangga juga lho manggung di Pid Pub, soalnya banyak anak JIS (Jakarta International School) yang nonton. Mereka bisa nikmatin musik keras bareng kami,” kenang Jaya.

Haryo bahkan punya kenangan lebih detail soal Pid Pub. “Itu yang punya namanya tante Esther. Alat-alat di panggungnya tuh sumbangan dari anak-anak. Drumnya gue yang nyumbang. Transportasi urusan si Krisna (almarhum J. Sadrach dari Suckerhead) tuh, pake VW Kombi kuning. Gue inget banget!” kenangnya.

Memasuki tahun 90-an, mereka- para jebolan Pid Pub- semakin giat memperjuangkan musik cadas. Akhirnya juga bisa menciptakan karya mereka sendiri. Meski nggak banyak dari mereka yang berhasil menghasilkan album, tapi tanpa seru-seruan di pelataran Apotek Retna, studio One Feel, dan Pid Pub, kayaknya nggak bakalan ada tuh skena metal kayak sekarang.

Respect!

(Artikel ini diambil dari HAI METAL ISSUE, PERGERAKAN METAL INDONESIA, 4 Juli 2011)

Editor : Fadli Adzani

Baca Lainnya