Para pendiri punya pemikiran kayak gini: HAI harus lahir sebagai majalah remajacowok. Kemudian, sampai hari ini, HAI jadi unik. Karena nggak ada majalah untuk remaja cowok selain HAI. Di dunia.
Ya, sejarahnya memang begitu. Waktu Hai terbit, 5 Januari 1977, majalah ini dengan segera jadi perhatian anak-anak SMA dan juga SMP (yang sekarang mereka sudah seumuran bokap). Kenapa? Karena isinya waktu itu didominasi oleh komik. Dan jenisnya juga pas dengan selera anak-anak cowok.
Nggak tanggung-tanggung, yang ngomik pun para jawara komik Eropa. Ada Empire of Trigan karya Mike Butterworth dengan artwork yang digarap Oliver Frey serita Gerry Wood (serial ini rilis tahun 1965-an, duluan mereka dari Star Wars). Lalu ada trio Storm-Si Rambut Merah-Nomad yang kira-kira isinya petualangan ala John Carter from Mars-nya Edgar Rice Burroughs. Kayak apa komiknya? Coba search di Google. Kita bakal melihat karya realis dengan detail memikat.
Baca: Trigan: Komik Legendari dari Eropa ada di HAI Pertama
Komik lain adalah Arad & Maya yang kocak, juga strip Coki Si Pelukis Cepat. Oh, iya ada satu lagi: Roel Dijkstra. Kalo yang ini boleh tanya bokap. Mereka pasti pernah nge-fans berat. Roel Dijkstra menceritakan tentang sosok pemain sepakbola. Penggarap awalnya, Jan Steeman & Andries Brandt (Belanda) kayaknya terinspirasi sosok genius pemain timnas Belanda waktu itu: Johan Cruyff. Keseruan komik ini bukan sekadar adu taktik di lapangan, tetapi justru dunia intrik sepakbola di belakangnya. Mulai dari Liga Belanda, Premier League, sampai Liga Korsika.
Isi majalah yang banyak komiknya, barangkali itu poin unik yang lain dari HAI. Lebih keren lagi, karena selain memuat karya komikus besar Eropa, HAI juga memuat karya para kampiun komik Indonesia. Antara lain: Ganes Th, Jan Mintaraga dan “Master of the Darkness” Teguh Santosa. Sebagai catatan, Teguh Santosa adalah komikus Indonesia pertama yang bekerja untuk Marvel Comics.
Anak-anak cowok memang suka komik. Dan kebetulan pula HAI memang lahir pada masa keemasan komik Indonesia. Keadaan waktu itu seperti ironi. Di satu sisi orang tergila-gila komik, di sisi lain sensor atas barang bernama komik juga ketat. Semua komik yang beredar harus diperiksa oleh dua pihak: Kepolisian dan Kejaksaan Agung. Jika ketahuan ada yang dianggap terlalu bokep, sadistis, SARA, langsung distop.
Nah, kalo kebetulan punya koleksi komik tua, coba lo periksa. Di situ ada cap stempel dari dua lembaga yang berwenang. Tentu bukan cuma komik. HAI tercatat sebagai majalah remaja yang rajin menerbitkan tulisan terjemahan sastrawan dunia. Cerpen dari Guy de Maupassant dan Leo Tolstoy misalnya. Pun tak kurang-kurangnya penulis muda memperoleh tempat di HAI.
Masuk tahun 90-an siapa yang nggak kenal serial Lupus (hilman Hariwijaya), Anak-anak Mama Alin (Bubin Lantang) dan Balada si Roy (Gola Gong). Berbeda dengan cerpen di majalah remaja lain yang isinya cinta-cintaan, cerpen maupun serial di Hai sangat variatif. Ada kisah detektif seperti serial Imung dan Kiki dan Komplotannya (Arwendo Atmowiloto, boss-nya Hai waktu itu), silat, komedi, serta petualangan. Pokoknya cowok banget. Ragam ceritanya yang nggak mainstream membuat HAI jadi unik.
Di ranah musik? Ah sudahlah. Sudah sejak tahun 80-an HAI menjadi referensi. Dan karena image yang kuat atas dunia musik itu, orang menyangka HAI adalah majalah musik. Padahal bukan. Dari dulu hingga sekarang HAI masih menjadi majalah remaja cowok.
Kalau kalian punya saudara atau kenalan yang sekarang seumuran bokap-nyokap dan bahkan lebih mudaan, semua pasti punya cerita pengalaman bersentuhan dengan majalah ini.
HAI menggagas banyak hal yang kemudian menginspirasi. Dari HAI lahir “Pesta Pelajar” yang kemudian mengilhami banyak Pensi. Karya visual art di Hai, sepanjang 80-90-an sedikit banyak membuat banyak anak SMA memilih kuliah dan memilih bidang pekerjaan yang nggak mainstream waktu itu: desain grafis dan fotografi. Lalu pada awal tahun 2.000-an puluhan anak-anak SMA yang magang di Hai jadi pengen menekuni bidang Komunikasi. Entah jadi jurnalis, atau bekerja di bidang broadcast maupun yang kemudian menjadi PR. Beberapa malah menjadi manajer kelompok musik.
Intinya, banyak pembaca maupun mereka yang pernah magang di HAI terjun di dunia kreatif. Dunia yang kini lagi menarik perhatian dan bahkan sampai perlu ada kementeriannya. Inilah dunia bagi orang-orang yang pikirannya selalu terpicu untuk menciptakan hal-hal baru atau memperbaharui banyak hal dan kerap unik, berbeda.
Tentu para pengasuh HAI senang. Senang karena sedikit atau banyak, sudah ikut membantu audiensnya mencapai impiannya. Banyak atau sedikit ikut mempengaruhi pola pikir dan wawasan audiensnya. Pun kalau ditarik ke belakang (eh, kapan mendorong ke depan ya?) itu sejalan dengan semangat pengasuh HAI ketika pertama kali terbit.
Tau nggak kalau HAI itu adalah singkatan. Para pendirinya membuat akronim dari kata: Hibur, Asuh, Ilmu.
Spirit itu masih bergentayangan, hingga hari ini. Para pengelola Hai boleh berganti. Audiensnya dari waktu ke waktu boleh beda gaya beda tabiat. Pun, medium komunikasinya boleh bertambah dengan platform digital. Tetapi kesetiaan HAI menemani hari-hari para remaja Indonesia, nggak pernah surut. Dalam setiap persentuhan antara lo dan HAI selalu tersimpan harapan serta keyakinan: bahwa lo semua bakal menjadi sosok yang cool, confidence, creative dan mustinya ada unik-uniknya juga dong. (Ed Suhardy, Pemred HAI 2005-2009)