HAI-Online.com - Mahasiswa Arsitektur asal ITB, Muhammad Isa Tsaqif bikin konsep rumah terapung yang bertajuk Cilincing Flood Resilient Housing.
Ia merealisasikan desain perumahan apung tahan banjir tersebut lengkap dengan segala fasilitasnya.
Sebagai warga asal Jakarta, Isa menyadari ancaman yang menghantui wilayah metropolitan ini. Makin didorong oleh isu tenggelamnya Jakarta di 2050, Isa merasa masih kurang pengambilan langkah riil guna mencegah ataupun mengatasi krisis ini.
Baca Juga: Pertama di Indonesia, Universitas Budi Luhur Buka Prodi S1 Manajemen Bencana
Dari premis ini, Isa memutuskan untuk berbalik dan mencari intisari masalah untuk menemukan jawaban yang paling relevan. Dan kesimpulannya yakni mencari cara untuk hidup beradaptasi dalam genangan air tersebut.
Saat disinggung soal latar belakang ide kreatif ini, Isa menyebut sudah banyak bangunan apung namun selama ini bentuknya masih satuan.
“Dengan mencoba untuk merealisasikan konsep rumah padat penghuni apung yang lengkap dengan fasilitas penunjang yang juga dapat mengapung di kala banjir,” jawab Isa dilansir dari laman ITB.
Berdasarkan penelitiannya, hampir seluruh kota di daerah pesisir sebenarnya berisiko kehilangan lahan tinggal karena perubahan iklim yang kian mengglobal.
Dari kajian desain yang dibuatnya ini, ia ingin membuka pikiran masyarakat.
“Dengan modal dan ilmu yang cukup, sebenarnya kita dapat memilih untuk beradaptasi dengan perubahan yang terjadi. Bila kita terapkan adat ini, gue yakin hasil kerja gue bisa membantu masyarakat luas dalam menjalankan kehidupannya sehari-hari,” ungkapnya.
Dalam pengerjaan, inovasi Isa ini didukung dosen pembimbing dari kelompok keahlian khusus: Dr. Allis Nurdini, S.T., M.T. (KK Perumahan dan Permukiman), didampingi Rr. Diah Asih Purwaningrum, S.T., M.T., Ph.D. (KK Perancangan Arsitektur) dan Dr. Eng. Mochamad Donny Koerniawan, S.T., M.T. (KK Teknologi Bangunan).
Walaupun sudah digadang sebagai salah satu Tugas Akhir Arsitektur 2022 terbaik dan memboyong predikat Cum Laude dengan IPK 3.80, Isa menyampaikan kesadarannya bahwa penelitiannya ini belum sepenuhnya optimal.
“Ya, salah satunya disebabkan karena cukup sulit ketika proses pengerjaan. Karena, preseden serupa masih minim bahkan nyaris tidak ada. Saat itu, gue juga terhalang kendala teknis karena diharuskan untuk mempertimbangkan kemampuan beban apung benda,”
Isa menambahkan, “Gue harus berkonsultasi dengan mahasiswa dari Teknik Kelautan untuk mendapatkannya,” jelasnya.
Sehingga untuk kajian lebih lanjut diperlukan keilmuan yang multidisiplin.
Menyadari masih belum seutuhnya sempurna, Isa pun menyampaikan niatnya untuk melanjutkan penelitian ini di masa depan.
“Gue berniat untuk mendalami konsep rumah di lokasi padat penduduk (squatter area) ini, sehingga mereka berpotensi untuk dinaikkan taraf hidupnya,” timpalnya. (*)