Bicara Kasar Emang Nggak Bikin Batal tapi Merusak Kualitas Puasa, Ini Penjelasannya

Kamis, 29 Februari 2024 | 11:48
Freepik

Mulutnya ular

HAI-Online.com- Obrolan sehari-hari nggak luput dari keluarnya umpatan atau kata-kata kotor dan kasar yang sengaja atau tidak diucapkan seseorang.

Nggak cuma dalam percakapan langsung, bahkan umpatan kasar ini kerap ditemui di kolom komentar media sosial.

Nggak jarang penggunamedsos atau netizenyang kerap menuliskan ungkapan-ungkapan kurang pantas atau bernada mengejek,mencacihinggamengumpat.

Terbesit pertanyaan bagaimana hukumnya mengumpat saat menjalani puasa Ramadan atau kalo pun menahan sampai sesudah melakukan berbuka, apakah sama statusnya?

Baca Juga: Hukum Sikat Gigi Saat Puasa? Begini Pandangan Ulama

Nah, soal ini, dosen Aqidah dan Filsafat Islam sekaligus Guru Besar di UIN Raden Mas Said Surakarta Syamsul Bakri, seperti HAI kutip dari KompasTV menyatakan, meski tidak membatalkan puasa namun mengumpat atau berkata kasar dan kotor sama dengan merusak kualitas puasa.

"Orang mengumpat, jangankan di malam hari, di siang hari puasa pun tidak membatalkan puasa," jelasnyaSenin (4/4/2022).

"Puasa asal sesuai syarat rukun dan tidak melakukan hal yang membatalkan, ya tetap sah," lanjutnya.

Syamsul menegaskan esensi utama dari puasa yakni menahan diri dari segala nafsu.

Ketika seseorang tidak makan, minum, dan melakukan hubungan seks saat waktu berpuasa, Syamsul menyatakan hal tersebut berarti telah menjalankan kewajiban puasa.

Namun, ketika berpuasa tetapi masih melakukan perbuatan tercela, hal tersebut yang membuat kualitas puasa jadi dipertanyakan.

"Ini soal kualitas, sehingga menyebabkan puasa tidak kualitas. Tapi kalau soal sah, itu soal fiqih, soal kualitas soal tasawuf," ungkap Syamsul.

"Jadi, menjadi tidak punya makna, orang yang berpuasatapi mengumpat, memfitnah, menjelek-jelekkan orang, karena ruh puasa itu menahan diri dari perbuatan yang tidak baik," pungkas dia.

Baca Juga: Lagi Puasa Tiba-Tiba Cegukan? Nggak Perlu Makan atau Minum, Gini Caranya

Imam Ghazali dalam kitab mahakaryanya Ihya Ulumuddinmembagi tiga tingkatan puasa:

“Ketahuilah bahwa puasa ada tiga tingkatan: puasa umum, puasa khusus, dan puasa paling khusus. Yang dimaksud puasa umum ialah menahan perut dan kemaluan dari memenuhi kebutuhan syahwat.

"Puasa khusus ialah menahan telinga, pendengaran, lidah, tangan, kaki, dan seluruh anggota tubuh dari dosa. Sementara puasa paling khusus adalah menahan hati agar tidak mendekati kehinaan, memikirkan dunia, dan memikirkan selain Allah SWT.

"Untuk puasa yang ketiga ini (shaumu khususil khusus) disebut batal bila terlintas dalam hati pikiran selain Allah SWT dan hari akhir.”

Tiga tingkatan ini disusun berdasarkan sifat orang yang mengerjakan puasa. Ada orang puasa hanya sekadar menahan diri dari makan dan minum, tetapi perbuatan maksiat tetap dilakukannya. Inilah puasa orang awam.

Kedua, yaitu puasanya orang-orang shaleh. Mereka puasa tidak hanya menahan lapar dan haus, tetapi juga menahan diri dari melakukan dosa. Percuma berpuasa, bila masih terus melakukan maksiat.

Ketiga puasa paling khusus. Puasa seperti ini hanya sedikit orang yang mampu melakukannya. Selain menahan lapar, haus dan menahan diri untuk tidak bermaksiat, mereka juga memfokuskan pikirannya untuk selalu mengingat Allah SWT. (*)

Tag

Editor : optimization