"Tikus punya banyak fungsi anatomi yang mirip dengan yang dimiliki manusia," ujarnya seperti dikutip dari laman ITB pekan lalu.
Menurut dr.Fifi, selain mirip secara anatomi, genom tikus dan manusia juga seringkali mirip.
Ia juga menjelaskan bahwa sepanjang sejarah, tikus sudah sangat sering terlibat sebagai animal model untuk penelitian di berbagai universitas di dunia.
Bahkan, banyak dari peneliti yang mendapat Nobel Prize melibatkan tikus pada penelitiannya sebagai animal model.
Kini telah banyak perusahaan yang menyediakan budidaya tikus transgenik. Berbagai informasi terkait tikus transgenik yang dapat dipakai untuk mempelajari riset-riset terkait penyakit yang menyebar di manusia juga telah beredar luas di internet.
Salah satu bentuk penelitian terkait penyakit manusia yang memanfaatkan animal model berupa tikus adalah penelitian terkait penyakit malaria.
Adapun bahaya dari spesies falciparum ini merupakan kecepatannya untuk berkembang biak dan menyebar ke berbagai organ tubuh manusia seperti otak melalui peredaran darah.
Baca Juga: Anak Muda dan realme Donasikan Hasil PO realme GT 2 Pro ke Zero Waste Adventure
"Dampak terparah dari penyebarannya adalah menyebabkan koma terhadap manusia," jelas Dr. Fifi.
Sementara itu, spesies vivax menginfeksi sel darah merah yang masih berkembang atau yang bisa disebut retikulosit.
Berbagai hipotesis terkait identifikasi parasit yang terlibat dalam penyakit malariadapat dikonfirmasi melalui penelitian menggunakan mouse model.
Jadi, spesies parasit yang paling banyak menginfeksi manusia melalui penyakit malaria adalah vivax dan falciparum.
Nah hasil dari penelitian ini, tercipta target obat baru untuk malaria yaitu SUB1 dan DPAP3 yang esensial untuk kehidupan falciparum.
Sedang untuk menguji SUB1 dan DPAP3, digunakan mouse model NMRI untuk diteliti. Penelitian ini juga dibantu oleh Genome Database Plasmodium. (*)