Bandung Utara Keras! Hari Ini Mengenang 76 Tahun 'Bandung Lautan Api' hingga Momen Hangus

Rabu, 23 Maret 2022 | 10:37
anri.sikn.go.id

Bandung Lautan Api merupakan peristiwa pembakaran Kota Bandung yang dilakukan penduduk Bandung.

HAI-Online.com- Menurut catatan sejarah, hari ini, 76 tahun yang lalu, atau tepatnya pada 23 Maret 1946, Bandung membara karena dibakar api merah.

Aksi ini sebagai bentuk pertahanan terakhir rakyat Indonesia melawan dari sekutu. Setelah meraih kemerdekaan, ternyata kondisi keamanan dan pertahanan Indonesia masih belum benar-benar stabil di beberapa daerah. Perjuangan pun masih harus dilakukan.

Kondisi di daerah misalnya masih didominasi oleh perebutan kekuasaan serta pertempuran.

Baca Juga: Mengenang Hilman Lewat Lupus: Karya Abadi Dari Seorang Pengarang Jeli

Salah satu pertempuran yang terjadi setelah kemerdekaan terjadi adalah di wilayah Bandung yang peristiwanya kini dikenal dengan sebutan Bandung Lautan Api.

Mengutip dari Kompas.com, seperti ditulis dalam buku Sejarah Nasional Indonesia VI (2008) karya Djanoed Poesponegoro, Marwati dan Nugroho Notosusanto,Bandung Lautan Api diawali dengan datangnya pasukan sekutu di bawah Brigade MacDonald pada 12 Oktober 1945.

Sejak semula, hubungan antara pemerintah RI setempat sudah memanas. Sekutu meminta seluruh senjata api yang dimiliki penduduk, kecuali milik Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan Polisi diserahkan kepada Sekutu. (sumber lamanKemdikbud,17 Februari 2017)

Nah, kondisi yang paling parah adalah Bandung Utara. Wilayah ini semakin memanas saat orang-orang Belanda yang baru saja bebas dari kamp tahanan mulai mengacaukan keamanan.

Akibatnya, bentrokan antara tentara Sekutu dengan TKR tidak dapat dihindari. Pertempuran panjang dimulai.

Pada malam 24 November 1945, TKR, dan badan-badan perjuangan lainnya melancarkan serangan terhadap markas-markas Sekutu di Bandung bagian utara, termasuk Hotel Homan dan Hotel Preanger yang menjadi markas besar Sekutu (ada di jalan Asia Afrika).

Tiga hari setelah penyerangan markas Sekutu, MacDonald menyampaikan ultimatumnya kepada Gubernur Jawa Barat agar segera mengosongkan wilayah Bandung Utara oleh seluruh warga Indonesia termasuk pasukan bersenjata.

Ultimatum tersebut harus dilaksanakan selambat-lambatnya pukul 12.00, pada 29 November 1945.

Dengan adanya ultimatum tersebut, Sekutu membagi kota Bandung Utara menjadi wilayah kekuasaan mereka sedangkan Bandung Selatan kekuasaan pemerintah RI.

Ultimatum dijawab pasukan Indonesia dengan mendirikan pos-pos gerilya di berbagai tempat. Selama Desember terjadi beberapa pertempuran antara lain, Cihaurgeulis, Sukajadi, Pasir Kaliki dan Viaduct.

Sekutu berusaha merebut Balai Besar Kereta Api, namun usaha tersebut gagal.

Sekutu juga berusaha membebaskan interniran Belanda di Ciater. Selain itu, sekutu juga terlibat dalam pertempuran dengan pasukan Indonesia di wilayah Lengkong Besar.

Memasuki awal 1946, pertempuran semakin berkobar secara sporadis.

Selama pertempuran berlangsung, banyak serdadu India yang merupakan bagian dari pasukan Sekutu melakukan desersi dan bergabung dengan pasukan Indonesia.

Salah satu serdadu India yang membelot di antaranya adalah Kapten Mirza dan pasukannya saat terjadi pertempuran di jalan Fokker (sekarang jalan Garuda) pada pertengahan Maret 1946.

Tak lama kemudian, pihak Sekutu menghubungi Panglima Divisi III Jenderal AH Nasution meminta agar pasukan India tersebut diserahkan kembali kepada Sekutu. Tetapi Nasution menolak.

Bukan hanya untuk mengembalikan pasukan India semata, tetapi juga untuk mengadakan pertemuan dengan pihak Sekutu.

Serangan-serangan sporadis dari pasukan Indonesia dan kegagalan mencari penyelesaian di tingkat daerah membuat posisi Sekutu semakin terdesak.

Kemudian sekutu memutar otak dengan melakukan pendekatan terhadap pihak petinggi pemerintahan RI.

Baca Juga: Inovasi Mahasiswa UNY Bikin Pupuk Organik dari Limbah Lele untuk Tabulampot

23 Maret 1946, Menolak ultimatum

Pada 23 Maret 1946, mereka menyampaikan ultimatum kepada Perdana Menteri Syahrir agar selambat-lambatnya pada pukul 24.00, 24 Maret 1946, pasukan Indonesia sudah meninggalkan Bandung Selatan sejauh 10 sampai 11 kilometer dari pusat kota.

Menanggapi ultimatum tersebut, Syahrir menugasi Syafruddin Prawiranegara dan Jenderal Mayor Didi Kartasasmita hadir ke Bandung.

Baik Jenderal Mayor Nasution maupun aparat pemerintah menolak ultimatum, sebab, sangat mustahil memindahkan ribuan pasukan dalam waktu singkat.

Mereka menemui Mayor Jenderal Hawthorn meminta agar batas ultimatum diperpanjang. Sementara itu, pihak Sekutu terus menyebarkan pamflet berisi tentang berita ultimatum tersebut.

Sore hari pada 23 Maret 1946, Nasution ikut ke Jakarta bersama Syafruddin dan Didi Kartasasmita untuk menemui Perdana Menteri Syahrir.

Baca Juga: Konser Dewa 19 dengan Ello Sebagai Vokalis Baru di Bandung Batal Digelar Karena Perizinan

Dengan alasan menyelamatkan Tentara Republik Indonesia (TRI) dari kehancuran, Syahrir mendesak Nasution agar memenuhi ultimatum tersebut. Syahrir berpendapat bahwa TRI belum mampu menandingi kekuatan pasukan Sekutu.

Selengkapnya hingga Bandung hangus di malam 23 Maret. (*)

Tag

Editor : Al Sobry