HAI-ONLINE.COM - Beberapa sekolah udah menerapkan pembelajaran tatap muka (PTM). Meski banyak yang lega karena merasa lebih nyambung kalo "sekolah offline", pembukaan sekolah juga menimbulkan kekhawatiran mengenai keamanan para murid dikarenakan sejumlah penemuan klaster penularan selama PTM berlangsung.
Para peneliti sebelumnya telah melaporkan bahwa ruangan kelas dengan ventilasi udara yang buruk jadi salah satu sumber penyebaran virus yang sangat cepat, sehingga diperlukan ventilasi dan pengukuran kualitas udara yang baik sebagai langkah pencegahan.
Berbagai studi juga membuktikan pentingnya manajemen kualitas udara untuk memastikan lingkungan belajar yang lebih aman bagi para murid.
Salah satunya, peneliti kualitas udara terkemuka dunia sekaligus penulis The Lancet Report on Airborne Transmission of SARS CoV-2 dan laporan Exhaled CO2 as a COVID-19 Infection Risk Proxy, Profesor Jose-Luis Jimenez.
“Berbagai studi menunjukkan peran penting mitigasi risiko berlapis, atau dikenal dengan istilah Swiss Cheese Model, dalam menurunkan risiko penularan COVID-19 secara signifikan di berbagai sekolah di belahan dunia," katanya.
"Manajemen kualitas udara dalam ruangan termasuk pengukuran kadar CO2, ventilasi udara, serta air filtration merupakan komponen kunci dalam menurunkan risiko penularan, sehingga meningkatkan keamanan anak-anak kita bersekolah tatap muka di tengah periode new normal," ia melanjutkan.
Pendekatan Swiss Cheese Model menekankan nggak adanya solusi tunggal yang dapat secara efektif memerangi penularan virus yang menyerang saluran pernafasan seseorang. Untuk itu, diperlukan strategi mitigasi yang berlapis-lapis.
Baca Juga: Duh! Ribuan Pelajar SMA Masuk Klaster Covid-19 Usai Sekolah Tatap Muka
Dalam Swiss Cheese model, ventilasi dan penyaringan udara jadi kunci untuk memitigasi risiko penularan virus, dikombinasikan dengan upaya-upaya pencegahan individu seperti memakai masker dan mencuci tangan.
Prof. Dr. Budi Haryanto, Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia sekaligus Fellow of Occupational and Environmental Health di Collegium Ramazzini, Italy, menjelaskan, “Pembukaan sekolah adalah langkah penting yang pada akhirnya memang harus dilakukan, melihat potensi dampak belajar dari rumah terhadap perkembangan kognitif dan psikologis anak dalam jangka panjang."
"Di sisi lain, kita juga harus memastikan lingkungan belajar yang aman, apalagi dengan sifat virus COVID-19 yang dapat menular lewat udara (airborne). Di sinilah peran krusial dari strategi manajemen kualitas udara dalam memastikan keamanan anak-anak ketika belajar di dalam ruangan kelasnya,” sambungnya.
Memahami peranan besar manajemen kualitas udara ruangan demi ekosistem sekolah yang lebih aman, Nafas, sebuah jaringan kualitas udara terbesar di Indonesia, menghadirkan inovasi buat sekolah-sekolah di seluruh Indonesia.
Nafas mencoba menggabungkan fungsi pemantauan, ventilasi serta penyaringan udara dalam satu platform terintegrasi.
Tiga strategi utama tersebut termasuk pengukuran kadar CO2 dan PM2.5 secara real time di dalam ruang kelas, pengaktifan ventilasi ketika kadar CO2 dalam level nggak sehat, dan penyaringan udara dengan menggunakan filtrasi udara berteknologi HEPA.
Ketiga strategi ini dapat diakses di ekosistem dari hulu ke hilir nafas melalui aria AirTest monitor yang akan mengukur kualitas udara dalam ruangan (CO2/PM2.5), Pure40 Purifier aria yang menggabungkan teknologi HEPA untuk membersihkan udara serta dapat dikontrol secara penuh melalui aplikasi yang disediakan Nafas.
Namun sebenarnya sih, terlepas dari ada atau nggaknya pandemi COVID-19, keberlangsungan ekosistem sekolah yang aman harus diimplementasikan, mengingat udara bersih akan berpengaruh besar dalam jangka panjang terhadap kualitas hidup seseorang pasca pandemi berakhir.
“Pandemi jadi titik balik dan pengingat kita bersama akan pentingnya kualitas udara bersih. Terutama dengan tingkat polusi di Jakarta, sudah saatnya kita menciptakan ruang hidup dengan kualitas udara lebih baik untuk anak cucu kita di masa depan, dengan atau nggak adanya pandemi," papar Piotr Jakubowski, Co-Founder dan Chief Growth Officer Nafas.
"Kami melihat bahwa pemantauan CO2, ventilasi, dan penyaringan udara bukan hanya sebatas jargon selama pandemi, melainkan strategi manajemen kualitas udara jangka panjang demi memastikan kehidupan yang lebih berkualitas ke depannya,” tutupnya.