5 Hal yang Bikin Orang Malas Konsultasi ke Psikolog, Salah Satunya karena Stigma Sosial

Senin, 02 Agustus 2021 | 19:15
Pixabay

Jangan sepelein gangguan mental lho, sob. Jangan ragu buat berkonsultasi ke profesional.

HAI-Online.com – Kalo kalian cermati, dalam beberapa tahun terakhirgenerasi muda udah semakin melek dengan kesehatan mental mereka.

Terbukti dari mulai dari banyaknya isu kesehatan mental artis dan influencer di media sosial hingga informasi kesehatan mental yang semakin mudah diakses.

Namun sayangnya, hal tersebut belum diimbangi kesadaran mereka untuk berkonsultasi ke psikolog berlisensi atau tenaga kesehatan mental profesional lainnya.

Riset Kesehatan Dasar 2018 dari Kemenkes menunjukkan 6,1% masyarakat Indonesia mengalami depresi dan hanya sedikit di antaranya yang mendapatkan layanan kesehatan psikologi. WHO juga menunjukkan data bahwa setiap 40 detik ada 1 orang bunuh diri di seluruh penjuru dunia.

Pemutusan hubungan kerja, kecemasan terhadap situasi yang nggak aman, menurunnya kemampuan ekonomi masyarakat, hingga tinggal di rumah dengan keluarga yang nggak harmonis maupun penuh risiko seperti kekerasan fisik, mental, dan seksual bisa menjadi faktor-faktor pemicu masalah psikososial yang lebih besar.

Lantas, kenapa seseorang ragu untukkonsultasi ke Psikolog?

Menurut catatan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, prevalensi penderita depresi di Indonesia sebesar 6,1% pada tahun 2018.

Angka tersebut meningkat di tahun 2021, terutama dengan adanya pandemi Covid-19 yang membuat masyarakat lebih mungkin untuk terkena gangguan mental.

Baca Juga: Sering Overthinking? Coba 4 Tips Simpel Ini untuk Mengatasinya

Terus apa sihhal-hal yang membuat mereka masih enggan untukberkonsultasi langsung ke psikolog?

1. Stigma sosial dalam masyarakat

Sejak lama, masyarakat Indonesia menganggap gangguan jiwa sebagai sesuatu yang tabu. Kebanyakan dari mereka nggak ingin menjadi bahan pembicaraan orang lain sebagai seseorang dengan perilaku yang menyimpang dari norma sosial.

Padahal sebenarnya, gangguan kesehatan mental itu bukanlah hal yang tabu, bukan pula aib, sama seperti saat fisik kita kalau sedang terluka, capek, kadang butuh istirahat, butuh treatment yang tepat sesuai dengan kebutuhannya saat itu mungkin istirahat mungkin olahraga.

"Begitu juga dengan kesehatan mental diperlukan treatment yang tepat untuk menjaga kesehatannya," ujar psikolog dari aplikasi konseling online Riliv, Della Nova Nusantara, M.Psi dalam keterangan tertulis yang diterima HAI pada Senin (2/8/2021).

Meski mulai berkurang di kalangan milenial dan Gen Z, stigma sosial masih dapat ditemukan, karena melepaskan pemikiran kolektif yang telah tertanam sejak lama itu bukan merupakan hal yang mudah.

2. Kurangnya pemahaman kesehatan mental

Anggapan bahwa gangguan mental itu tabu menandakan kesadaran orang Indonesia yang masih rendah tentang kesehatan mental.

Biasanya, hal ini ditunjukkan dengan orang-orang yang menyepelekan gangguan mental, karena nggak bisa dilihat secara gamblang layaknya penyakit fisik.

Kenyataannya, penyakit mental dan fisik sama-sama menimbulkan rasa sakit kepada penderitanya. Bahkan, dalam beberapa kasus, penyakit mental lebih mungkin untuk mengancam nyawa seseorang.

Baca Juga: Benarkan Generasi Milenial Rentan Stres? Ini Kata Psikiater UNAIR

3. Ketakutan tersendiri

Bagi beberapa orang, pergi ke psikolog adalah keputusan yang besar. Muncul pertanyaan-pertanyaan seperti, “Apa aku terlalu berlebihan, ya?” dan “Bagaimana kalau psikolog-nya nggak membantuku?”

Ketikakalian mulai meragukan dirimu dengan melontarkan pertanyaan seperti itu, yakinlah bahwa mencoba untuk pergi ke psikolog itu lebih baik daripada nggak sama sekali.

Menemukan psikolog yang cocok memang butuh waktu, tetapi senggaknya kamu akan berada selangkah lebih dekat dengan mengetahui apa yang terjadi dalam dirimu agar dapat membaik.

4. Minimnya akses psikolog

Menurut Ikatan Psikolog Klinis Indonesia (IPK), jumlah psikolog klinis yang ada saat ini adalah 3.232. Jumlah ini bisa dibilang sedikit apabila dibandingkan dengan Amerika Serikat yang memiliki 106,500 psikolog. Apalagi jumlah tersebut terpusat di Pulau Jawa.

Aplikasi konseling psikologi online seperti Riliv dan lainnya bisa membantu masyarakat untuk mengakses layanan psikologi tanpa harus keluar rumah.

Mulai dari Sabang hingga Merauke bisa mendapatkan psikolog dari seluruh Indonesia melalui satu aplikasi yang sama.

5. Banyaknya biaya yang harus dikeluarkan

Selain keterbatasan akses psikolog, faktor biaya juga harus dipertimbangkan. Kebanyakan psikolog mengenakan Rp150.000 sebagai biaya konsultasi. nggak semua orang dapat mengeluarkan uang sebesar itu.

BPJS kesehatan bisa memberikan akses psikolog di rumah sakit terdekat. Jikakalian memiliki asuransi atau BPJS kesehatan, kamu bisa mencoba mencari tahu apakah rumah sakit terdekat kamu bisa menawarkan layanan psikolog yang ditanggung asuransi.

Nah, jadi jangan takut dan ragu lagi buat konsultasi ke psikolog saat kalian ngerasa kesehatan mental kalian udah mulai terganggu ya, sob. (*)

Tag

Editor : Al Sobry