HAI-Online.com -Euforia vaksin Covid-19 yang terjadi di India baru-baru ini telah menyebabkan terjadinya gelombang tsunami kasus baru di negara berpenduduk 1,3 miliar jiwa itu.
Jumlah kasus yang menginfeksi warga India mencapai 200 ribu per hari, bahkan angka kematian akibat Covid-19 begitu pesat, lebih dari 2000an jiwa melayang.
Indonesia yang posisinya berada di peringkat ke-18 di dunia, dari sisi jumlah kasus Covid-19 tentu bisa belajar dari India, bahwa masyarakat meski sudah divaksin tidak goyah untuk menjalankan 5M termausk diantaranya berkumpul secara fisik dan penting untuk tetap menjaga imunitas tubuh sebagai cara agar pencegahan bisa benar-benar dilaksanakan.
Baca Juga: Bukan Cuma New Normal, Pemerintah Ganti Juga Istilah ODP, PDP dan OTG pada Kasus Korona
"Harus diingatkan menjalankan 5M dan juga menjaga imunitas tubuh adalah sesuatu yang penting, agar pencegahan bisa benar-benar dilaksanakan. Kita sudah sangat menderita, karena pandemi tidak kunjung selesai,” ujar Dr.dr. Erlina Burhan, M.Sc, Sp.P(K), dalam talkshow kesehatan bertajuk “Pentingnya Menjaga Imunitas Tubuh Meski Sudah Divaksinasi” yang digelar secara virtual pada Rabu (28/4/2021) ini.
Dokter dari Divisi Infeksi Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini juga mengatakan, pasca program vaksinasi di Indonesia, penyebaran Covid-19 masih belum turun signifikan.
"Indonesia, kasusnya sudah di atas 1,6 juta, dengan kematian lebih dari 44 ribu, sebenarnya Indonesia bisa belajar dari India, itu pelajaran berharga bagaimana keajdian setekah divaksin masyarakat abai dengan protokol kesehatan. Padahal vaksin bukan segala-galanya. Kalau sudah divaksin, jangan euforia dan abai dengan prokes,” ia mengingatkan lagi.
Senada dengan dr. Erlina, Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan Konsultan Alergi Immunologi, Dr. dr. Gatot Soegiarto, Sp.PD-KAI, FINASIM juga menegaskan tidak ada perlindungan yang sifatnya seratus persen dari vaksin yang sudah disuntikkan.
Dalam kondisi sekarang, Badan Kesehatan Dunia (WHO) mensyaratkan memberikan perlindungan 50 persen saja melalui vaksin yang sudah dilakukan.
Perlindungan 50 persen artinya kalau dibandingkan orang yang tidak divaksin, orang yang divaksin risiko tertularnya 50 persen lebih rendah.
BPOM sendiri telah mengeluarkan izin penggunaan darurat atau emergency use authorization pada vaksin Sinovac dengan efikasi 65,3 persen. Artinya, risiko tertularnya 65,3 persen lebih rendah dibandingkan mereka yang tidak divaksin.
Tentu saja vaksin yang digunakan telah melewati serangakaian uji klinis, fase 1 sampai fase 3, sehingga aman digunakan.
Baca Juga: Nicholas Saputra Tetap Ikut Ngantre saat Divaksin, Netizen: National Treasure Banget
Angka ini juga berarti orang yang divaksin pun masih tetap ada kemungkinan terinfeksi Covid-19. Namun kemungkinan lebih kecil ketimbang mereka yang tidak divaksin. Termasuk yang sudah pernah kena, bisa terjadi re-infeksi.
"Saran saya yang sudah divaksin jangan tergoda kumpul-kumpul dulu, caranya anggap orang lain itu OTG yang ada kemungkinan menularkan virus corona yang kini terus bermutasi, jadi jangan abai protokol kesehatan," ingatnya juga.
Dokter Gatot mengatakan, orang yang terinfeksi tergantung tingkat infeksinya. Infeksinya bisa tanpa gejala, gejala ringan, gejala sedang, gejala berat, atau gejala kritis.
"Semakin berat tingkat infeksinya, tubuh berjuang semakin keras untuk mengalahkan virus. Fakta yang diperoleh, antibodi itu berbanding lurus dengan tingkat keparahannya," jelas Dr Gatot.
Baca Juga: Heboh Santri Dibolehkan Mudik Lebaran, Ternyata Bukan Pernyataan Wapres
Seperti diketahui kasus positif di Indonesia sebagian besar tanpa gejala - ringan. Untuk orang tanpa gejala (OTG), antibodinya rendah, kalau gejala ringan, antibodinya agak lebih tinggi. Lebih tinggi lagi antibodinya jika bergejala sedang, parah, bahkan kritis. Tapi kalau kritis pilihannya dua, berhasil mengalahkan sehingga sembuh dan punya antibodi tinggi, atau kalah akhirnya meninggal.
Titer antibodi penyintas Covid ini tergantung pada masing-masing orang dan kondisi yang dihadapi. Sehingga titer antibodinya ada yang bertahan 3-8 bulan, setelah itu turun.
Kalau herd immunity karena vaksinasi ini tidak tercapai, penularan akan terus terjadi. Dan jika penularan terus terjadi, potensi mutasi virus juga akan terus terjadi.
"Mutasi virus itu sesuatu yang normal, karena virus memang cenderung bermutasi. Terutama kalau penularannya terus berlangsung.Jadi kalo virus aja berubah, kita juga harus berubah, yaitu membiasakan diri dengan prokes, jangan mau kalah," timpal Dr. Erlina lagi.
Menyoal imunitas tubuh, dokter Gatot mengatakan, orang yang telah dilakukan vaksinasi responnya bisa macam-macam. Tergantung usia, gender, kualitas gizi, memiliki penyakit penyerta, dan stres.
Baca Juga: Jangan Panik, Simak Dulu 5 Fakta Varian Terbaru Virus Corona
Orang yang usianya muda dibandingkan dengan yang tua, respon atau titer antibodi yang dibentuk lebih rendah yang berusia lebih tua. Karena orang tua mengalami penurunan fungsi. Salah satunya fungsi imun yang menurun.
Perempuan lebih tinggi dibanding laki-laki. Orang dengan gizi bagus respon antibodi lebih tinggi dibandingkan dengan yang bergizi buruk.
Orang yang memiliki penyakit penyerta, kemampuannya untuk membentuk antibodi juga lebih rendah dibandingkan orang yang tidak memiliki penyakit penyerta.
Faktor stres juga berpengaruh. Orang yang stres, kemampuan membentuk antibodinya juga menurun. Termasuk untuk mereka yang mengonsumsi antibiotika, respon imun atau kemampuan untuk membentuk antibodi juga turun.
Sebaliknya adabahan tertentu yang memiliki kemampuan untuk membentuk titer antibodi seperti echinacea purpurea, bahan herbal yang bermanfaat sebagai immunomodulator.
"Penggunaan immunomodulator seperti echiancea purpurea ternyata bisa meningkatkan titer antibodi terhadap vaksinasi. Respon tubuh menjadi lebih baik," jelas Dr. Gatot.
Ia juga menepis anggapan bahwa saat pemberian dosis 1 ke dosis 2 tidak boleh mengonsumsi immunomodulator.
"Antara jeda vaksinasi dosis 1 dan dosis 2 kita boleh mengonsumsi immunomodulator. Ini memang tergantung obat yang dikonsumsi. Kalau obatnya steroid, obat penurun panas, kalau dikonsumsi hanya sehari sesuai kebutuhan tidak masalah.
"Tapi kalau berkepanjangan, ada jurnal yang meneliti bahwa konsumsi yang berlebihan dengan jenis obat ini (steroid, obat penurun panas, Red) maka titer antibodinya menurun. Namun, kalau yang digunakan adalah immunomodulator echinacea purpurea, justru meningkatkan titer antibodi. Justru itu boleh," kata Dr. Gatot.
Hal yang sama dikemukakan Dr. Erlina. Masyarakat yang sudah mendapat vaksin Covid pun tetap butuh suplemen seperti immunomodulator.
"Sebenarnya, suplemen atau vitamin itu ada di makanan, seperti buah-buahan dan sayur-sayuran. Tapi, tidak semua orang suka sayur dan buah. Jadi, menurut saya, harus ada beberapa ikhtiar untuk menghindari terjadinya infeksi covid-19 ini. Selain vaksinasi, juga bisa menjalankan 5M, termasuk juga dengan meningkatkan imunitas tubuh, salah satunya dengan mengonsumsi immunomodulator," kata Dr. Erlina lagi.
Baca Juga: Bisa Berbahaya! Hindari Minum Obat Ini Sebelum Divaksin Covid-19
DR. Raphael Aswin Susilowidodo, M.Si, VP Research & Development and Regulatory SOHO Global Health mengatakan immunomodulator yang baik mengandung ekstrak Echinacea pupurea dan zinc picolinate.
Kandungan ekstrak Echinacea purpurea telah terbukti secara klinis dapat memodulasi sistem daya tahan tubuh dan mencegah penyebaran infeksi lebih lanjut. Sementara zinc picolinate berperanan aktif dan bekerja sinergis pada sistem imun tubuh.
Nah, IMBOOST merupakan produk immunomodulator dari bahan natural yang berfungsi meningkatkan sistem imun tubuh dari SOHO Global Health yang mengandung ekstrak Echinacea pupurea dan zinc picolinate.
Selain itu terdapat juga IMBOOST Force yang mempunyai kekuatan lebih dalam imunostimulan karena terdapat tambahan kandungan ekstrak Black Elderberry yang dapat mencegah replikasi virus serta menstimulasi peningkatan sistem imun tubuh dengan cara meningkatkan produksi monosit, yaitu bagian darah putih yang berperan dalam sistem imun tubuh.
Oleh sebab itu, IMBOOST Force selain untuk pencegahan juga dapat diberikan bersamaan dengan pengobatan dari dokter. (*)