Cerita Mahasiswa Jadi Pasien Suspect Coronavirus Diperiksa di RS Rujukan Pusat

Selasa, 17 Maret 2020 | 14:12

Cerita Mahasiswa Jadi Pasien Suspect Coronavirus Diperiksa di RS Rujukan Pusat

HAI-Online.com- Sudah inisiatif memeriksakan diri ke rumah sakit rujukan di pusat, Fachri Muchtar, mahasiswa UI yang terpapar virus corona malah tidak mendapat pelayanan memadai dari rumah sakit yang menangani penyakit tersebut.
Menurut Fachri, penanganan rumah sakit dan medis sangat mengecewakan. Dari apa yang dialaminya, ia menganggapIndonesia sungguh belum siap menghadapi pandemi global satu ini.
"Baru aja semalam gua dinyatakan sama dokter sebagai pasien suspect corona. Gejala yang gua alamin ya demam, batuk, sesak napas, pilek, sakit tenggorokan sama lemas," ungkap Fachri yang membagikan cerita pengalamannya lewat twitter pada Selasa (17/3/2020).
Baca Juga: Belajar di Rumah Aja Demi Cegah Corona, Ruangguru Gratiskan Materinya
Kini, mahasiswa jurusan Kriminologi UI itu belum menerima hasil uji swab. Dan malah ia menjalani isolasi mandiri di rumahnya.
"FYI, gua lagi karantina mandiri di rumah, setelah sebelumnya dirawat di ruang isolasi IGD," terangnya lagi.
Pengakuan Fachri, awalnya iamengalami batuk yang tak kunjung sembuh meski sudah diberi obat batuk oleh dokter sebelumnya. Dengan sadar, ia melakulan tracing mandiri. Mengetahui ada perjalanan yang memungkinkan dirinya berkontak dengan banyak orang, akhirnya cowok berkacamata ini memutuskan untuk ke rumah sakit rujukan.
"Sampai di sana langsung masuk IGD buat periksa, mulai ditanya-tanya, cek darah sampai rontgen paru. Habis dirontgent paru, gua dipindahkan ke ruang dekontaminasi. (Ruangan) itu isinya orang batuk semua. Pokoknya batuk, mau dia terindikasi corona atau nggak digabung di situ. Satu ruangan berisi 4-5 orang dengan ukuran ruangan yang gua kira 2x3 meter," jelasnya dalam thread yang panjang.
Baca Juga: Edukasi Covid-19 itu Penting, Biar Nggak Kejadian Pelajar Tertular Corona dari Orangtuanya
Dari gambaran tersebut, Fachri mengaku tidak semua pasien di ruang itu mendapat tempat tidur untuk istirahat. Dari lima pasien, dua lainnya terpaksa harus duduk di kursi roda karena tidak tersedianya tempat.
Termasuk Fachri, dia satu dari dua pasien yang menunggu lama duduk di kursi roda di ruangan dekontaminasi tersebut.
Dari ruangan itu pula, Fachri akhirnya tahu kalo dia pasien suspect corona, berdasarkan gejala dan riwayat perjalanannya.
"Akhirnya gua dipindahkan ke ruang khusus isolasi pasien Covid-19. Mau tau gimana kondisi ruangannya? ruangan isolasi ini diisi sama 6 orang pasien dengan kriteria sakit beda-beda. Mulai dari yang keliatan sehat sampe yang batuknya sering tuh ada, dicampur di ruang itu," terangnya lagi.
Sementara menunggu di ruang isolasi tersebut, beberapa pasien lain dipindah ke RS rujukan lain. Fachri akhirnya mendapat jadwal test swab pukul 11 siang untuk memastikan dirinya termasuk pasien positif corona atau tidak.
Namun, seperti yang diketahui banyak orang alat pemeriksaan Corona di Indonesia tak secanggih alat milik negara tetangga.
Baca Juga: Pasien Orangtua Kena Corona di Depok Akhirnya Dinyatakan Sembuh
"Hasil tes swab baru bisa diketahui paling cepet 3 hari. Lama banget ngga tuh?," ulasnya lagi.
Karena belum tahu hasil akhirnya, Fachri dan beberapa pasien dipulangkan. "Setelah tes swab kita semua dianjurkan untuk pulang dan karantina mandiri di rumah sambil nunggu hasil. Kalo positif, ya kita bakal dijemput pake ambulans. Ini juga dilakukan karena jumlah ruang isolasi terbatas, sedangkan jumlah pasien suspect dan positif terus nambah," jelasnya lagi pasrah.
Pada akhirnya, dia jadi tahu kalo Indonesia masih gagap menangani corona. Hal itu ia dengar lamgsung dari tim medis yang bekerja.
"Tadi gua sempet ngobrol juga sama dokternya, dan dia mengakui kalo Indonesia tuh nggak siap ngadapin corona. Sangat gagap bahkan dalam pelayanan medis. Dengan metode tes swab yang kayak sekarang, nggak heran kalo banyak yang underdiagnosed.
"Kenapa gua bilang banyak yang underdiagnosed (Jumlah angka official jauh lebih kecil dr jumlah kasus real di lapangan)? Ya karena nggak semua orang bisa ngecek dan mau ngecek. Fasilitas kita masih sangat terbatas, bahkan petugas medis yang nanganin pasien aja nggak bisa tes swab," terangnya lagi.
Mengalami kejadian semrawut seperti ini, Fachri menyatakan bahwa Indonesia tidak boleh lagi meremehkan virus tersebut.
"Kenapa sih ini semua bisa terjadi? ya karena Indonesia tuh SOMBONG! Sangat meremehkan virus ini ketika pertama kali muncul di Wuhan. Alih-alih mempersiapkan dengan serius, kita malah jadikan bahan bercandaan dan menantang riset havard yang bilang virus ini sudah ada di Indonesia.
Baca Juga: Cegah Penyebaran Virus Corona, Pelajar di Jepang Rayakan Wisuda Pake Minecraft
"Pada awal-awal virus ini muncul, kita lebih memilih buat bayar influencer 72M dan kasih diskon pesawat. Di saat negara lain serius memandang corona, negara ini malah meremehkan. Jangan heran kalo sekarang kita gagap menangani ini. Karena kita nggak siap!" Kritiknya.
"Bahkan ketika Covid-19 sudah mulai mewabah di Indonesia, Menkes kita masih sempat-sempatnya mengedepankan hal simbolik, seperti pengangkatan Duta Imunitas Corona Sejati, daripada konkret membenahi masalah pelayanan kesehatan kita," cerocosnya lagi.
Yang dapat diambil pelajaran dari kisah Fachri adalah bahwa tidak semua yang sadar memeriksakan diri ke RS Rujukan setelah mengalami gejala dan tracing mandiri langsung ditangani medis.
Pasalnya butuh kondisi tertentu bagi pasien untuk bisa mendapat antrean test swab.
"Sekedar informasi, pelayanan kesehatan kita buat mengatasi Covid-19 masih belum siap. Di Indonesia, anda bisa tes corona adalah sebuah privilege, karena nggak semua orang bisa tes!," katanya lagi.
Yamg terpenting, jika tracingnya tidak jelas maka pasien tidak diprioritaskan.
"Karena kalo lunggak pernah ke luar negeri/ kontak langsung sama pasien positif corona, besar kemungkinan lu nggak bakal dicek," tambahnya.
(*)

Editor : Al Sobry

Baca Lainnya