Salut, Ini Dia Kisah Perempuan Inspiratif di United for Education

Senin, 10 Desember 2018 | 19:12
NOVA

UFE (United for Education) Sustainability Forum: Championing Change

HAI-ONLINE.COM -Pagelaran United for Education (UFE) Sustainability Forum: Championing Change yang dicetuskan Permata Hati sebagai CSR Permata Bank bersama dengan Nova resmi dibuka pada Sabtu (8/12) di Ballroom Kuningan City.

Kolaborasi ini pastinya menjadi wadah yang keren untuk mengatasi persoalan pendidikan di Indonesia, yang terbilang masih rendah.

Padahal, pendidikan menjadi salah satu aspek terkuat untuk bisa memajukan bangsa dan masyarakatnya.

Baca Juga : Inilah yang Terjadi Kalo Kamu Buka Situs www.AvengersEndGame.com!

Nggak hanya cowok, perempuan zaman sekarang juga bisa kreatif dan tentunya berpartisipasi dalam banyak hal.

Seperti Mayumi Haryoto selaku Co Founder Pibo dan Dheta Aisyah sebagai Chief Development Office dari Binar Academy.

Kita mulai dari kisah Dheta, yang mendirikan sekolah teknologi gratis bernama Binar Academy. Jadi, Dheta mengajak siapa pun untuk mengenyam pendidikan singkat terkait teknologi dan informasi yang sungguh berguna untuk menciptakan kedewasaan digital di masa depan.

Lebih dari itu, Dheta juga melihat kalau orang Indonesia sangat kreatif dalam menghasilkan sesuatu terutama di dunia digital.

NOVA
NOVA

UFE (United for Education) Sustainability Forum: Championing Change

Bahkan, Dheta juga menggandeng kelompok disabilitas agar bisa turut bergabung.

"Tidak ada persyaratan khusus, yang penting mereka bisa memahami matematika. Dan, mereka datang sendiri untuk belajar," ujarnya.

Dheta, melalui Binar Academy, juga membantu perusahaan digital di Indonesia untuk mencari engineering terbaik.

Baca Juga : Film Adaptasi Game DreadOut Rilis Trailer, Ini Penampakannya!

Selain Dheta, ada Mayumi, seorang ilustrator buku cerita anak-anak.

Berangkat dari kepedihannya melihat literasi rendah pada anak-anak, ia pun bergerak untuk membuat Pibo.

"Setelah masuk ke publishing untuk membuat buku cerita. Kami jadi tahu, bahwa literasi anak rendah itu karena beberapa hal. Satu, karena psikologis anak jarang diperhatikan. Sering kali misalnya buku anak untuk 5 tahun tapi teksnya berparagraf," jelasnya.

Menurutnya, hal tersebut bisa membuat anak merasa terintimidasi, jadi mereka nggak mau membaca.

Kedua, soal distribusi buku yang menjadi kendala, apalagi masalah buku yang menjadi mahal kalau dikirim ke luar Pulau Jawa.

NOVA
NOVA

UFE (United for Education) Sustainability Forum: Championing Change

Akhirnya, Mayumi pun ingin mengatasi hal tersebut dengan mengemas buku cerita anak melalui digital, sehingga dirinya mendirikan perpustakaan di dunia maya.

Selain Dheta dan Mayumi, ada Ukke Kosasih, founder Circa Handmade dan Dinny Yusuf sebagai CEO serta penemu Torajamelo.

Ukke pun mulai menceritakan kisah inspiratifnya dengan membahas perjuangannya menguatkan dan membangun rasa percaya diri perempuan desa di Cihanjuang untuk mau maju.

"Mereka banyak merasa tidak percaya diri bisa menjadi seseorang, karena merasa terlahir miskin,"jelasnya.

Baca Juga : Anti-Mainstream, Foto Prewedding Pasangan Ini Bertemakan PUBG

Lewat Circa, Ukke pun mengajak perempuan desa untuk membuat boneka. Dengan begitu, rasa percaya diri mereka jadi meningkat.

Para perempuan di desa Cihanjuang ini juga diajak untuk berani berbicara dan mengeluarkan opininya agar mereka nggak "dikucilkan", apalagi dipandang sebelah mata.

"Kita sering dibilang voice of voiceless. Saya selalu bilang ke teman-teman Sirca untuk ayo kita berani untuk bicara, karena mereka tidak pernah tahu, jika kita tak bicara atau mengungkapkan pendapat," paparnya.

Setelah menjalani usaha tersebut sekitar 10 tahun, Ukke berhasil melahirkan perempuan inspiratif yang beberapa di antaranya membuka usaha sendiri.

Sekolah buatannya itu mengajak siapa pun untuk mengenyam pendidikan singkat mengenai teknologi dan informasi yang sungguh berguna untuk menciptakan kedewasaan digital di masa depan.

"Yang terpenting punya percaya diri dulu untuk mau maju, "tambahnya.

Sama dengan Ukke, Dinny juga melakukan hal serupa, namun di Toraja.

Melalui tenun, Dinny memulai perjuangannya untuk menghidupi desa tersebut.

Maklum, tradisi tenun dianggap terlalu "oldschool" dan klasik, padahal, nggak ada salahnya, kan, kalau anak-anak muda juga menjaga tradisi itu.

"Awalnya untuk mengerahkan mereka untuk berpanghasilan itu bermula dari banyaknya bayi di sana. Dari situ, saya mengajak mereka untuk mulai mencari mata penceharian lewat menenun," jelasnya.

Dinny mengaku kalau perempuan di Toraja juga menganggap menenun nggak bisa menghidupi keluarga mereka, padahal, Toraja menjadi salah satu tempat wisata yang disukai turis.

Makanya, Dinny mencoba mencari cara terbaik agar perempuan di desa Toraja maju, yaitu dengan menghadiahi babi atau kerbau.

"Saya bertanya apa impian mereka. Jawabannya luar biasa dan sempat tidak terpikirkan. Mereka hanya ingin bawa babi dan kerbau ke acara adat," jelasnya.

Dari sanalah, Dinny mampu mewujudkan impian perempuan di Toraja dengan menenun dan menghasilkan kreasi tenun ciamik.

Nggak hanya dapat babi atau kerbau, para perempaun di sana sudah mampu membiayai keluarganya.

Inspiratif banget, kan, perjuangan para perempuan ini?

Editor : Fadli Adzani

Baca Lainnya