HAI-ONLINE.COM - Berapa banyak hewan yang dimasukan Nabi Musa ke dalam bahteranya?Kalo kamu menjawab dengan jumlah berapapun — terlepas dari jumlah yang benar, maka kamu salah. Bukan Nabi Musa yang membawa binatang ke dalam bahtera, melainkan Nabi Nuh.Pertanyaan semacam ini menggambarkan bahwa kamu dapat dengan mudah mengalami kebingungan dalam memproses informasi yang dibuat seakan benar.“Orang-orang lebih mengandalkan jawaban intuitif yang langsung muncul di kepala mereka, daripada merenungkan dan mengecek jawaban tersebut benar atau salah,” jelas Steve Sloman, seorang professor ilmu kognitif dari Brown University serta pemimpin redaksi jurnal Cognition.Dalam dunia di mana berita yang menyesatkan jadi norma baru, pertanyaan mengenai "bahtera Nabi Musa" tadi jadi penguji apakah orang-orang cukup rentan terhadap berita palsu. Kerentanan terhadap ilusi dari penjelasan yang mendalam, atau kecenderungan akan pengukuran berlebihan atas pemahaman kita.
Baca Juga : 5 Rapper yang Meninggal Muda, Dari Mac Miller Hingga Tupac Shakur
Perilaku ini berakar dari kecenderungan kita akan kurangnya merefleksikan atau memeriksa kembali sebuah informasi, ujar Sloman.“Trik mengatasi berita palsu adalah verifikasi. Kika kamu cukup reflektif maka kamu lebih mungkin melakukan proses tersebut,” tambah Sloman.Namun pada kenyataannya nggak semudah itu untuk melihat berita dengan fakta yang keliru, dan ini dikarenakan sifat alamiah manusia untuk menerima apa yang kita baca tanpa mempertanyakan lebih lanjut.Dilansir dari The New Yorker pada Jumat (7/9/2018), jurnalis Elizabeth Kolbert me-review beberapa penelitian mengenai batasan dalam berpikir jernih dari pikiran seorang manusia, dimulai dari penelitian Stanford 50 tahun lalu.“Sampai 1970-an, sekelompok akademisi berpendapat bahwa orang-orang nggak dapat berpikir jernih. Pendapat yang mengejutkan,“ tulis Kolbert. “Namun nggak lama setelahnya, ribuan hasil eksperimen mengonfirmasi pendapat tersebut.”
Penyebab merosotnya logika
Ada sejumlah penjelasan mengenai kegagagalan menyerap logika, menyebabkan kita rentan terhadap berita keliru yang menyebar seperti virus dan menginfeksi pemahaman kita terhadap apa yang nyata dan nggak. Salah satu konsep psikologi yang relevan adalah “Motivated reasoning” tulis Adam Waytz, professor managemen dan organisasi dari Northwestern’s Kellogg School.Motivated reasoning adalah konsep yang menyatakan bahwa kita termotivasi untuk percaya pada apapun yang menyetujui pendapat kita.“Kalo kamu termotivasi untuk mempercayai hal-hal negatif mengenai Hillary Clinton (ataupun Donald Trump), kamu akan cenderung mempercayai berita buruk mengenai dia,“ ujar Waytz.“Seiring dengan waktu, motivated reasoning dapat berujung pada konsesus sosial yang keliru.”Konsep lainnya adalan “naïve realism,” konsepsi mengenai pandangan yang kita miliki adalah satu-satunya yang akurat. Gagasan tadi menambah polarisasi dalam diskusi politik. Bukan nggak menyetujui orang lain, kita malah menolak pandangan mereka.“Kita cepat mempercayai apa yang telah memotivasi kita untuk percaya, dan kita seringkali menyebut suatu berita sebagai hoax hanya karena berita tersebut nggak mendukung pandangan kita mengenai sebuah realitas,” ungkap Steve Sloman.Riset Sloman fokus pada gagasan bahwa pengetahuan itu menular. Sebagaimana Sloman memberi bukunya judul: The Knowlege Illusion: Why We Never Think Alone (Ilusi Pengetahuan: Mengapa Kita nggak Pernah Berpikir Sendirian).Steven Sloman mempublikasikan artikel berjudul “Your Understanding Is My Understanding” dalam jurnal Ilmu Psikologi. Dalam eksperimen berbasis web tersebut, yang menguji 700 relawan, Brown dan Rabb (turut serta dalam penulisan jurnal) membuat buat berita mengenai fenomena hujan helium yang ditemukan oleh para ilmuwan.
Suatu waktu, mereka mengatakan pada para relawan bahwa ilmuwan-ilmuwan tadi nggak terlalu mengerti untuk dapat menjelaskan apa yang terjadi dalam fenomena tersebut, sebelum menanyakan penilaian para relawan terhadap pemahaman mereka.Hasilnya, para relawan mengaku nggak memahami mengenai fenomena tersebut. Sebagian besar dari mereka menilai pemahaman mereka terhadap fenomena tadi dengan angka yang rendah.Dalam penelitian kedua, Sloman dan partnernya mengatakan pada para relawan bahwa ilmuwan-ilmuwan yang terlibat, memahami dan dapat menjelaskan fenomena tersebut dengan baik.Saat para relawan ditanya mengeni pemahaman mereka terhadap fenomena tadu, kelompok relawan ini mengungkap jawaban yang berbeda dengan penelitian sebelumnya.Pemahaman para relawan dalam eksperimen kedua meningkat satu angka. Fakta tentang pemahaman para ilmuwan membantu mereka merasa paham juga, jawab Sloman.Gagasan ini bisa dengan mudah diterjemahkan ke dalam dunia politik."Sepertinya pemahaman menular," ujar Sloman. "Kalo semua orang di sekitar kamu mengatakan bahwa mereka mengerti mengapa seorang politisi korup, hanya dengan menenton sebuah video dari YouTube… lalu kamu akan berpikir bahwa kamu memahami hal tersebut juga," ujar Sloman.Cara untuk melawan Setelah mengetahui apa saja yang membuat kita rentan terhadap berita palsu, kini muncul pertanyaan baru. Adakah cara untuk mempertahankan diri kita dari kepalsuan tersebut?"Saya kira mungkin saja melatih orang-orang untuk mem-verifikasi apapun yang mereka temukan. Hanya saja, terlalu manusiawi untuk percaya apa yang kita dengar tanpa mempermasalahkannya," ujar Sloman.Bagaimanapun juga, Sloman mengatakan bahwa Ia melihat adanya potensi dalam melatih masyarakat untuk peduli dengan proses verifikasi.Coba bayangkan headline dari segala cerita yang dibagikan di laman Facebook kamu setiap hari, sebagian besar, sesuai dengan cara kamu memandang dunia. Sloman menghimbau agar masyarakat mulai mencoba untuk melakukan cek dan ricek lebih sering lagi.Hanya dibutuhkan satu orang untuk berkomentar mengenai satu hal dengan pandangan yang berbeda."Kembangkan sebuah norma di masyarakat yang menyatakan, 'kita harus meninjau ulang sesuatu sebelum menelannya mentah-mentah'," ujar Sloman.Verifikasilah sebelum kamu (terlanjur) percaya.Artikel ini pertama kali tayang di National Geographic Indonesia dengan judul "Hindari Hoax dengan Pahami Cara Berita Palsu Mengelabui Otak"