"Untuk sekarang ini, gue ya beda lagi. Ada ekspresi lain yang belom keluar. (Jadi) Don't expect us to do the same," tukas Elda.
"Kalau pendengar mau selalu ngikutin Stars And Rabbit, kalian harus terbuka sama setiap kemungkinan. (Warna musik) yang kemarin ya yang kemarin. Yang sekarang, 'apa lagi nih?' Excitement-nya, curiosity-nya. Karena memang nggak bisa dibandingkan," tegas Elda lagi.
Masihkah pantas disebut folk?
Debut album 'Constellation' di tahun 2015 lalu berhasil melambungkan nama Stars And Rabbit. Itu terbukti dengan senantiasa hype-nya single 'Man Upon The Hill'.
Di sisi lain, merilis album antimainstream di periode tersebut menghadirkan konsekuensi tersendiri. Di tengah gelombang musik folk yang lagi ramai di masa itu, Stars And Rabbit pun jadi ikutan dianggap sebagai grup 'folk' lantaran gaya musiknya.
Soal itu, Didit dan Elda pun punya pandangan sendiri soal label yang cukup lama disandangkan pihak luar terhadap bandnya ini.
"Soal sebutan folk itu kan opini fans dan media. Kita sebagai kreator-nya sih nggak punya sebutan pasti soal warna musik kita," tukas Didit Saad.
"Kalo ditanya soal genre, aku selalu bingung sama penjelasannya. Tapi kalau media pada akhirnya menggolongkan sebagai folk, I don't mind. Monggo," timpal Elda.
"Akhirnya sih itu membantuku buat tahu bahwa there's a little folk in me," lanjutnya, simpel.
Kendati demikian, ada statement menohok Elda untuk menjabarkan semua anggapan 'folk' terhadap bandnya.
"Tapi kalo harus jawab, kita sebut genre kita 'Stars And Rabbit' aja, gimana?" pungkas Elda. (*)