HAI-Online.com - Pertama kali HAI nonton trailernya, udah keliatan banget kalau film Si Doel The Movie bakal lagi-lagi menonjolkan cinta segitiga khas sinetron Indonesia.
Kali ini tentu saja antara Doel-Sarah-Zaenab jadi konflik utamanya. Cerita so Doel pun dibiarkan menggantung lagi dengan Sarah yang pergi ninggalin Doel ke Belanda.
Film Si Doel The Movie sendiri bercerita soal Doel (Rano Karno) dan Mandra (Mandra) yang berangkat ke Belanda atas suruhan Hans (Adam Jagwani).
BACA JUGA:Rano Karno Ngasih Wejangan Ke Refal Hady Soal Peran Galih di Film Galih & Ratna. Katanya…
Hans meminta mereka untuk mengantarkan barang-barang khas Betawi untuk dipamerkan dalam acara tahunan Tong Tong Fair.
Di sana, Doel ternyata dipaksa untuk bertemu dengan masa lalunya, Sarah (Cornelia Agatha) yang ternyata masih tinggal di Belanda bersama anak mereka Dul yang sekarang udah berusia 14 tahun.
Sejak awal film, aspek nostalgia kerasa banget. Buat kamu yang suka nonton sinetron Si Doel Anak Sekolahan, pasti senang dengan aspek nostalgianya yang ditonjolkan dari berbagai segi. Mulai dari lokasi, para tokoh, sampai dialog.
Intro khas 'Anak betawi... ketinggalan jaman... katenye...', udah mengalun sejak intro film. Kemudian, masuk ke pemandangan rumah khas Betawi yang masih ditinggali oleh Doel, Mandra, Mak Nyak Lela (Aminah Cendrakasih), Atun (Suti Karno), dan sekarang ada tambahan Zaenab (Maudy Koesnaedi) yang udah jadi istri Doel.
Dalam film, Doel dan Mandra pamitan sama Mak Nyak sebelum ke Amsterdam. Saat pamitan, Mak Nyak yang sekarang lumpuh dan buta karena glukoma, berpesan sama Doel supaya nggak nyari Sarah lagi. Ia juga berpesan sama Mandra untuk nggak malu-maluin Doel saat di Belanda sana.
Sesampainya di Amsterdam,setelah berwisata, Hans pun ngajak Doel dan Mandra untuk jalan-jalan ke Museum Tropen. Di sana Sarah udah nunggu untuk ketemu Doel. Hans ternyata emang beneran bantu Sarah untuk bisa ketemu Doel, sob. Hal yang dicurigai Atun, Zaenab, dan Mak Nyak ternyata bener kejadian.
Di sini, Doel masih digambarkan sebagai orang yang pasif banget. Irit kata, kebanyakan hanya bermain gimmick. Doel nggak banyak berubah, Sarah juga. Sarah ditunjukan sebagai orang yang aktif, selalu mengambil inisiatif. Itu ditunjukan dengan Sarah yang duluan minta bantuan Hans untuk mempertemukan dia sama Doel.
Setelahnya, masuk ke konflik selain cinta segitiga. Yaitu anak Doel yang juga bernama Dul, yang sekarang sering banget nanyain siapa ayahnya. Mereka akhirnya bertemu, dan bisa dibilang memperbaiki keadaan di antara mereka berdua.
Nostalgia jadi jualan utama film ini. Saat menonton di bioskop, HAI perhatikan banyak banget penonton yang kelihatan usianya di atas 20 tahun. Dan rata-rata adalah mereka yang emang nonton sinetron Si Doel Anak Sekolahan sejak dulu. Emang sih, kalau kalian nggak nonton sinetronnya atau minimal tau apa yang terjadi sebelumnya, pasti bakal kebingungan banget.
Pasalnya, film ini memberikan banyak banget update atau penyelesaian dari berbagai hal yang terjadi di sinetronnya. Entah apa yang terjadi pada para pemainnya selama ini, seperti meninggalnya Mas Karyo (Basuki), Atun dan Mas Karyo yang udah punya anak, atau Doel yang akhirnya menikah sama Zaenab pasca Sarah pergi ke Belanda.
Aspek nostalgia ini sayangnya, menurut HAI sih kerasa flat banget. Konflik yang dibangun kurang menggigit, selain konflik cinta segitiga dan konflik antara Doel dan Dul. Kayaknya, semua konflik itu cuman untuk membangkitkan nostalgia penonton aja.
Padahal, sebuah film baru harusnya bisa menghadirkan konflik baru yang lebih asik untuk disimak. Takhanya menghadirkan konflik lama, dengan sedikit pulasan, tapi nggak ditambah dengan dramatisasi baru.
Selain itu eksplorasi cerita dan tokohnya juga kurang banget digarap. Eksplorasi cerita pun hanya berbasis ya itu tadi, update dan penjelasan yang ditinggalkan sama sinetronnya dulu. Nggak ada cerita lain yang seharusnya dimiliki sebuah film sekuel pada umumnya.
Pengembangan penokohan juga miskin banget. Tokoh-tokohnya hanya seperti ditampilkan ulang dari sinetronnya dulu. Nggak ada proses pendewasaan dari masing-masing tokoh.
Padahal character development itu krusial banget untuk sebuah penceritaan. Lagian kayak nggak mungkin selama 14 tahun itu para tokoh nggak mengalami proses perubahan dalam diri mereka.
Selain dari tokoh-tokoh yang ada, HAI juga menyayangkan banget nggak ada penulisan yang bagus untuk tokoh Dul (Rey Bong).
Dul ini anaknya Dul dan Sarah, yang adalah pertanyaan nggak kejawab dari seri sebelumnya. Harusnya, kalo dijadikan konflik utama dalam film ini bakal bagus banget.
Misalnya, konflik ayah-anak yang udah nggak ketemu 14 tahun.Itu bakal asik banget nggak sih, sob? Sayangnya Dul cuman muncul di 1/4 menuju akhir film. Penulisannya sedikit, dengan sedikit dialog, sedikit screen time, dan sedikit peran.
Yang lebih mengecewakan, film dibuat menggantung dengan Doel dan Mandra yang balik ke Jakarta. Lalu Dul dan Sarah yang berjanji tahun depan bakal pulang ke Indonesia dan tinggal di sana. Itu nunjukin banget kalau film ini nantinya bakal dibuat kelanjutannya lagi.
Hal yang meragukan karena jangan-jangan hanya bakal jualan nostalgia lagi tanpa mengaduk-aduk perasaan penontonnya.
Untungnya, kekecewaan yang HAI alami ini bisa diselamatkan sama siapa lagi kalau bukan Mandra? Mandra berperan luar biasa keren sepanjang film.
Dia menyegarkan film, membuat film ini punya aspek nostalgia yang lebih kerasa, dan Mandra sukses bikin penonton ketawa.
Mandra yang kedinginan di pesawat, Mandra yang manas-manasin Atun yang nggak diajak, Mandra yang ternyata malah malu-maluin Doel di Belanda, sampai Mandra yang dengan omongannya yang nyelekit tapi bener, bikin keadaan jadi agak canggung tapi lucu.
Secara keseluruhan sih, film ini emang cukup menghibur dari segi komedi. Tapi, udah gitu aja. Sisi dramatisnya nggak menarik sama sekali. Sedikit bikin menyesal karena udah nonton.
Penulis: Syifa Nuri Khairunnisa