#HAIDEMOSREBORN: BUKTU, Dentuman Muram Post Rock Jogjakarta

Minggu, 13 Mei 2018 | 15:00
Doc. Buktu

Buktu

HAI-ONLINE.COM - Apresiasi lebih harus diberikan kepada teman-temnan kita yang "berani" memainkan musik segmented, karena lazimnya dalam industri musik Indonesia, musik segmented sulit untuk "dijual".

Pastilah ada banyak alasan dibalik pilihan mereka yang menjalanan passion mereka bermusik dengan caranya tersebut.

Nah, salah satu teman-teman kita yang sampai saat ini masih konsisten bermusik dengan materi yang sulit untuk "dijual" adalah Buktu, sebuah band pengusung post-rock asal Jogjakarta.

Ada Yusak Nugroho (Drum dan Perkusi), Aryo Bhaskoro (Gitar), Zaen Dehero Pahlevi (Gitar), Adhie Bona(Bass), dan Bodhi IA (Narator/ synthsizer) dalam tubuh Buktu, yang telah mereka bangun sejak 2016.

Setelah lebih dari 1 tahun terbentuk, mereka akhirnya merilis album perdana mereka yang bertajuk Mengeja Gejala Menjaga Dendam, pada akhir 2017 lalu. Dan, sekarang, mereka terpilih sebagai HAI Demos Reborn minggu ini.

Sebuah surat elektronik yang HAI terima menjadi perkenalan dengan mereka. Sebuah lagu berjudul Tunatanda yang juga turut mereka lampirkan menjadikan perkenalan digital kami makin menarik.

Jika ada beberapa pengusung post-rock jarang memasukan unsur vokal dalam lagu-lagu mereka. Tapi, Buktu memberikan sentuhan vokal dalam karya-karya mereka, bukan dengan bernyanyi, tapi lewat pembacaan sebuah narasi.

Bersiaplah memasuki "dunia lain" ketika mendengarkan Buktu, karena ambience musik yang mereka buat benar-benar bisa menjadi "pengantar" untuk memikirkan hal-hal imajiner di dalam kepala kita.

Selain untuk menemani kita memasuki dunia imajiner, dengan mendengarkan materi album mereka kita juga bisa memasuki adegan-adegan epic dari film-film science fiction.

“Di album ini kami berkolaborasi dengan 13 seniman gambar. Mereka merespon lagu dari BUKTU. Kami membebaskan mereka untuk menginterpretasikan tiap lagu kami dalam bentuk visual,” ujar Yusak, dalam surat elektronik ke HAI.

Balik lagi soal single Tunatanda, ambience yang muncul mungkin di awal intro akan mengingatkan kita akan materi-materi muram ala Mogwai, minus vokal yang diganti sebuah narasi seperti di film-film perang.

Memasuki chorus hingga pertengahan lagu, tempo semakin meningkat, part-part gitar yang melodius mengambil alih. Part narasi kemudian kembali muncul dan petikan-petikan gitar bernuansa gloomy mulai muncul.

Sejujurnya, dalam komposisi musik yang ada di dalam Tunatanda bisa mmeberikan kita waktu untuk berpikir atau berimajinasi berbagai hal, karena durasi lagu yang lumayan panjang.

Lewat kehadiran band-band seperti Buktu, pilihan untuk mendengarkan musik band-band lokal berkualitas semakin bertambah. Mencari spotlight dan menarik perhatian banyak pihak untuk melirik mereka adalah satu-satunya pekerjaan rumah yang harus segera dikerjakan.

Menggelar tur secara mandiri ke berbagai kota atau mencoba peruntungan dengan mencoba ikut festival musik berskala nasional mungkin bisa jadi pilihan agar musik mereka bisa semakin banyak tersiar.

Satu langkah ciamik juga telah mereka lakukan dengan merilis album Mengeja Gejala Menjaga Dendam dalam platform musik digital, sehingga makin besar peluang mereka untuk dikenal.

“Kami melempar album ini ke platform digital agar bisa didengarkan semua pendengar musik yang suka mendengarkan musik di dunia digital. Kan kemarin setelah diproduksi banyak yang minta agar disebarkan via digital. Semoga saja bisa dinikmati,” beber Bona, dalam surat elektronik kepada HAI.

Tapi, kalo mereka cukup nyaman dengan kondisi berada di jalur yang “berbeda” seperti sekarang, nggak ada salahnya juga. Balik lagi, ini soal tujuan mereka dalam bermusik. Entah untuk kepuasaan diri atau juga materi, semuanya bebas untuk dijalani.

Bagi yang tertarik dengan Buktu, langsung aja cari mereka di Mengeja Gejala Menjaga Dendam di iTunes, Spotify, atau platform musik digital lainnya.

Tag

Editor : Rian Sidik