5 Penyebab Sains dan Teknologi Indonesia Nggak Maju-maju

Sabtu, 13 Mei 2017 | 06:35
Alvin Bahar

Science

Sempat bertanya-tanya nggak sih, kenapa sains dan teknologi Indonesia nggak maju-maju? Parahnya, Indonesia telah tertinggal dalam pengembangan sains, teknologi, serta kualitas pendidikan tinggi. Nggak hanya di tingkat dunia, tetapi juga di lingkup yang lebih kecil seperti ASEAN.

Chairil Abidin, anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) menguraikan, penyebab ketertinggalan itu terurai dalam Buku Putih Sains, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Menuju Indonesia 2045.

Terus apa aja sih yang bikin nggak maju?

1. Anggaran terbatas

Chairil mengatakan, pendidikan tinggi menghadapi sejumlah kendala dalam melakukan riset, seperti kenggaksesuaian waktu mengajar dan waktu penelitian, keterbatasan anggaran serta fasilitas riset, dan insentif yang nggak menarik bagi peneliti.

2. Kompetensi guru

Kompetensi guru juga ikut memberikan sumbangsih. Hasil rata-rata uji kompetensi guru pada tahun 2015 hanya 53,02 persen. Untuk calon guru, nilai uji kompetensi lebih rendah lagi, 44 persen kemampuan di bidang kompetensi dan 56,69 di bidang pedagogik.

"Nggak ada anak SMA yang bright yang mau jadi guru. Persoalan kualitas dosen yang dirilis Asia Week tahun 2000, Indonesia berada di bawah kualitas Singapura, Filipina, Thailand, Malaysia," kata Chairildalam peluncuran buku putih itu di Jakarta pada Jumat (12/5/2017).

3. Bahasa

Faktor bahasa rupanya juga nggak dapat disepelekan. Mengutip penelitian Richard Horton, faktor bahasa jadi kendala utama kuranngya suara Indonesia dalam penelitian di tingkat global, khususnya kesehatan dan kedokteran.

4. Minat baca

Sebelum Indonesia merdeka, pernah terdapat kewajiban mmebaca buku sastra sebanyak 25 judul di Algemene Middelbare School (Pendidikan Menengah) Hindia Belanda A dan 15 Judul pada AMS Hindia Belanda B, 15 judul.

Namun, sejak 1950an, secara bertahap kewajiban itu hilang. "Taufik Ismail sebut sekarang anak SMA nol buku. Mahasiswa juga nol buku hanya diktator, belajar dari diktat yang ditulis 20 tahun lalu," ujar Chairil.

Chairil bercerita pengalamannya saat menghadiri pertemaun antara pelaku usaha dengan universitas ternama di kantor Wakil Presiden BJ Habibie tahun 1998. Usai pertemuan itu, salah seorang dosen mengungkapkan buku ajar yang digunakannnya nggak lagi relevan.

5. Gizi

"Faktor gizi juga berperan. Ada 37 persen prevalensi tubuh pendek dengan rata-rata IQ 89. Jadi nggak heran kalau skor PISA (Programme for Internasional Student Assessment) kita rendah," ucap Chairil.

Menurut Chairil, Indoneisa telah masuk masa krisis dalam pengembangan iptek. Untuk itu, mewakili AIPI, ia meminta kepada pemerintah untuk membenahi kualitas iptek. Salah satunya dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi.

Kenaikan pertumbuhan ekonomi diharapakan dapat menaikan daya beli masyarakat terhadap hasil industri dalam negeri. Universitas dapat bekerjasama dengan pelaku industri untuk mendongrak industri dalam negeri. Selain itu, hal paling utama paling utama adalah lingkungan kondusif bagi inovasi nasional.

Editor : Alvin Bahar

Sumber : kompas.com

Baca Lainnya