Lanjutan dari Part 24
25
CINTAKU DIGIGIT TIKUS
Seperti telah kugariskan sebelumnya, bulan puasa kali ini aku akan total bekerja dan beribadah. Aku tak akan tinggal sementara, tak melanjutkan perjalanan. Siang berpuasa dan berusaha untuk dunia, malamnya khusus untuk bermunajat kepada sang khalik. Saat matahari keluar menerangi alam, aku berihktiar, sedangkan saat bulan yang menghiasi langit, aku berdoa kepada Ilahi. Seimbang.
Periode Ramadan aku tetapkan tak hanya berduet dengan Andi untuk berkeliling menjual martabak. Aku menyelinginya juga dengan kegiatan lain agar tak monoton. Bila melakukan hal yang itu-itu saja, tentu akan menjemukan. Malah, seringnya, aku mencari bisnis lain yang berpotensi menghasilkan lebih banyak uang.
Suatu hari, Andi membawaku ke sebuah pasar yang dipenuhi penjual berbagai sayuran dan barang-barang rumah tangga, mulai dari makanan, baju, perkakas rumah, sampai produk kreativitas.
Sesama pedagang tentu punya banyak kenalan pedagang juga. Aku diajak Andi ke sebuah tempat dengan transaksi perdagangan sangat ramai. Di Pasar Minggu, Kampung Baru, Andi cukup dikenal oleh para pedagang lain. Ia memiliki banyak rekanan. Di pasar yang selalu ramai setiap akhir pekan itu, aku diperkenalkan kepada pemilik toko yang kami singgahi. Di sanalah aku akhirnya mengabdi, membantu sang tuan melancarkan penjualan berbagai jenis dagangan mereka. Ini adalah kesempatan mengisi waktu luang selama Ramadan.
Menjadi sales baju koko, kopiah, sajadah, dan peralatan salat lainnya di toko berbeda, aku lakoni semua. Tak hanya menjual barang yang sudah tersedia, aku pun selalu memberi masukan kepada setiap pemilik toko. Mulai dari penataan barang sampai pengemasan barang yang dijual. Pasalnya, kemasan sangat mempengaruhi minat para calon pembeli. Kalau kemasannya cantik dan unik, niscaya pembeli akan mempertimbangkan barang itu walaupun mungkin tadinya tak bermaksud mencarinya.
Saranku ternyata tak hanya sebatas lisan tanpa bekas. Para pemilik toko yang aku bantu selalu meresponsnya dengan serius. Dampaknya, kemasan baru hasil kreasiku berbanding lurus dengan peningkatan penjualan. Apalagi pada bulan puasa menuju lebaran, barang-barang seperti mukena dan baju koko tentu menjadi incaran para muslimin. Mereka membelinya sebagai persiapan hari raya.
Selama dua minggu, aku membantu pemilik toko yang menjual peralatan salat. Selama itu juga aku mendapatkan uang saku yang cukup. Alhamdulillah, ini adalah berkah Ramadan, bulan penuh rahmat.
Kalau mau berusaha keras dan sepenuh hati, hasilnya juga akan memuaskan. Kalau usaha dijadikan panglima untuk berdisiplin, ujungnya akan mendatangkan kegembiraan tiada tara. Prinsip inilah yang aku pegang di pasar yang berlokasi di Jalan Raja Muda Musa ini.
Menjadi sales produk memang menyenangkan dan membuatku bisa meraup cukup uang. Tapi, aku tak puas. Aku ingin melakukan hal lain. Beruntunglah aku dipertemukan dengan Encik Munir. Sudah bisa diterka, dia juga teman dekat Andi. Dia adalah seorang perajin kulit yang cekatan. Walaupun sosoknya sudah agak sepuh, tapi soal disiplin, aku angkat dua jempol. Dia selalu membuka tokonya lebih awal dari para pedagang lainnya. Alasannya, rezeki itu harus kita jemput. Semakin cepat kita jemput, semakin cepat pula kebahagiaan kita dapatkan.
Kalau sudah masuk waktu salat, ia pun tak ngoyo untuk memberatkan urusan dunia. Encik Munir selalu menutup toko sementara jika azan sudah berkumandang. Kemudian bergegas ia menuju masjid yang terletak tak jauh dari pasar.
Hidup ini hanya sementara. Bagi Encik Munir, segala aktivitas kita di dunia fana ini hanyalah selingan untuk menunggu waktu salat. Luar biasa... Aku kagum pada prinsip Encik Munir. Baru kali ini aku bertemu dengan pedagang yang mampu menyeimbangkan antara urusan toko dan ritus ibadah.
Selain berdisiplin tinggi, Encik Munir juga cekatan membuat produk yang memiliki nilai seni tinggi. Hasil kreasinya terbilang bagus. Semua karya yang dijajakan di tokonya sungguh hebat. Menawan dan menarik. Ia membuat berbagai barang yang terbuat dari kulit sapi. Beberapa hasil kreasinya itu berupa dompet, ikat pinggang, tas, dan gantungan kunci. Untuk yang terakhir, aku tertarik oleh bentuk-bentuk uniknya. Hasil karyanya membuatku terkagum-kagum.
Dulu, sewaktu bersekolah, aku juga pernah membuat prakarya berupa gantungan kunci. Bedanya, aku memakai bahan kain dan kardus bekas untuk pembuatan hiasan gantungannya.
“Encik, berapa harga gantungan ini?" tanyaku. Selain membuat karya sesuai keinginannya, Encik Munir juga menerima pesanan gantungan kunci. Biasanya mereka meminta nama ayah, ibu, anak atau pacar diterakan di karya yang dipesan tersebut.
“Dua ringgit,” jawab Encik Munir yang lantas juga memberi tahu harga jual barang-barang lainnya. Walau diberitahu sekali saja, aku mampu mengingatnya dengan baik.
“Oh, iya, Encik... Aku sudah fasih semua harganya,” kataku. Kalau urusan mengingat-ngingat angka, aku sudah teruji. Aku paling hobi mengutak-ngatik angka-angka. Seperti halnya dulu waktu sekolah. Aku paling suka dengan mata pelajaran matematika dan apa pun yang berhubungan dengan angka atau kode sandi. Bagiku, hal itu menjadi sebuah keasyikan tersendiri
“Good, Fauna... Awak jaga di sini dulu ya, saya mau salat Ashar." Seperti yang aku bilang, Encik Munir tak pernah telat melakukan ibadah wajib. Termasuk salat pada sore hari ini. Baginya, menunda salat berjamaah adalah kerugian besar. Bergegaslah menuju rumah Allah ketika suara azan berkumandang. Aku jadi malu. Kelak aku akan berusaha menjadi seperti Encik Munir, bergegas ke masjid ketika waktu salat tiba.
Untunglah ada aku yang menjadi anak buahnya sehingga kali ini, tak seperti biasanya, toko tak perlu ditutup sementara. Nanti, setelah Encik Munir kembali, giliran aku yang menunaikan salat.
Saat Encik pergi ke masjid untuk menunaikan salat Ashar, aku menengok-nengok suasana ruangan tempatnya bekerja. Ruangannya kecil, penuh dengan barang-barang yang siap untuk dipajang di depan. Hanya ada sekat setinggi pinggang orang dewasa yang memisahkan ruang yang menjadi tempat Encik berkarya. Makanya ruangan itu bisa ditengok dengan mudah.
Encik Munir memang memperbolehkan aku memasuki semua ruangan yang ada di toko ini. Ia begitu menaruh kepercayaan besar kepadaku. Padahal, aku kenal dengan Encik Munir bukan dalam hitungan tahun. Satu-satunya yang tak boleh kusentuh hanyalah laci berukuran sedang yang menempel di bawah meja kerja khususnya. Aku pun paham dan tak akan pernah menyentuh laci seperti yang dilarangkan oleh Encik. Amanatnya adalah tanggung jawab yang mesti aku jaga.
Aku menebar pandanganku ke semua yang ada di hadapanku. Mataku lantas tertumbuk pada satu titik yang menarik perhatian. Di sudut ruangan tersebut aku lihat ada gundukan berwarna hitam yang tak tertata rapi. Rupanya yang aku temukan itu adalah tumpukan kulit sapi yang mungkin sudah tak terpakai. Ya, sepertinya tak berdaya guna karena kalau dilihat-lihat ia menaruh kulit-kulit tersebut dengan sembarang. Aku pegang dan membolak-balikannya. Sepertinya sisa-sisa potongan kulit itu sengaja dikumpulkan untuk dibuang. Bentuk potongannya itu terpola dari bekas guntingan si pembuat karya dalam proses saat tuanku membuat gantungan kunci.
Akan tetapi, dari lembaran-lembaran kulit yang sudah bolong-bolong itu telah menyisakan sedikit saja bidang kulit yang masih ada. Kalau dipikir-pikir, sayang sekali tak dimanfaatkan. Mungkin sudah tak berharga bagi Encik Munir, tapi untukku sisa-sisa potongan itu nampaknya masih bisa dimanfaatkan. Dari itu, kurapikan saja sisa-sisa kulit yang Encik taruh di pojok ruangan itu.
“Assalamualaikum!” Saat aku menata potongan kulit sapi itu, Encik Munir datang menghampiri. Beliau baru saja pulang dari masjid menunaikan salat Ashar. Senyumnya semringah saat melihatku bekerja.
“Waalaikumsalam,” jawabku. Aku taruh terlebih dahulu kulit yang sedang aku rapihkan dan membalas salam orang yang menjadi tuanku.
“Ada pembeli tadi, Fauna?” tanya beliau.
“Belum ada yang mampir, Encik,” jawab singkatku.
“Oh, iya, tak mengapa.” Encik mendekat ke meja kerjanya, melipat dan meletakkan sajadah bergambar masjid dan Kabah ke bahu kursi yang merapat di sisi kanan jendela.
“Encik, saya ingin bertanya. Bolehkah?” Sebenarnya aku malu, tapi insting kreatifku memberanikan diri untuk menayakan sisa-sisa kulit yang rencananya akan aku olah lagi.
“Ada apa, Fauna?” Encik Munir orangnya terbuka. Untungnya ia tipikal orang yang terbuka terhadap segala masukan. Bagi beliau, masukan, pendapat, dan kritik adalah jalan yang bisa mengantarkan pada perbaikan bersama.
“Apakah kulit-kulit ini mau dibuang?” tanyaku sementara tanganku menunjuk ke tumpukan sisa kulit sapi. Aku berharap sekali jawaban dari Encik Munir sesuai dugaanku.
“Iya, betul, Fauna," ungkapnya. “Nanti kamu taruh di kantung plastik hitam.” Benar saja, ia akan membuangnya. Tentu kalau aku minta, Encik Munir pasti merelakannya.
“Oh, baiklah.” Aku mengiyakan perkataan pria sepuh yang pecinya selalu melekat melindungi kepala itu.
“Nanti kantung plastiknya awak buang ke tempat sampah,” perintahnya sambil terduduk di kursi kerjanya.
“Mengapa dibuang? Bolehkah buat saya?” Aku sangat bersedia menampung buangannya.
“Buat apa awak?” Encik menampakan keheranannya. Baginya, benda tersebut sudah tak layak lagi ditaruh di sini. Jadinya mesti segera dikeluarkan agar tak memenuhi ruangan.
“Nanti bisa dilihat, Encik." Aku berlagak melempar misteri. Kalau kukatakan sekarang yang ada bukan lagi kejutan.
“Iya... Saya mau tahu mau kau apakan?" jawab yang ditanya sambil tersenyum.
“Tadi saya katakan, nanti bisa Encik lihat, saya ada surprise." tegasku.
“Kalau begitu, awak pakai saja,” tutur Encik Munir mempersilakan kulit-kulit sapi sisa itu untuk dibuat sesuatu olehku. Belum sempat Encik membalikan badannya, aku memohon lagi.
“Oh, ya, Encik, apakah boleh saya pinjam alat cetakan?" Alat yang kumaksud adalah mesin manual untk membuat pola ketika mengkreasikan kulit sapi menjadi gantungan kunci indah.
“Pakai saja, aku tak pakai hari ini.” Baik sekali tuanku ini. Beliau nampaknya sudah membaca apa yang akan kulakukan.
Aku gunting sisa-sisa kulit sapi itu, kemudian aku susun potongan-potongan yang aku buatkan polanya. Layaknya menyusun puzzle, aku memilah-milah bagian mana yang cocok dengan potongan lainnya. Kemudian, aku menyatukan dengan menggunakan lem perekat. Dari potongan kecil itu aku berhasil membuat lembaran kulit sapi yang utuh. Bedanya, lembaran yang aku buat itu tak mulus. Banyak guratan atau garis-garis bekas tempelan. Tapi, kalau ditilik-tilik lagi, garis-garis itu terlihat berseni. Nilai artistiknya sungguh menarik. Kalau kulit utuh buatku sudah biasa. Tapi lembaran hasil rekatan dari banyak pola ini menambah nilai seni tersendiri. Terkesan artistik.
“Bagaiamana, Encik?" Aku memamerkan satu lembar kulit sapi yang disusun dari sisa-sia potongan kecil tadi. Aku bolak-balik agar Encik melihat sisi depan dan bagian belakang kulitnya.
“Apa pula yang kau lakukan?" Bukannya rasa kagum, Encik malah mempertanyakan hasil kreasiku. Dalam hati, belum sampai di sini. Masih ada tahapan berikutnya seperti yang biasa Encik lakukan dalam keseharian. Bedanya, aku akan membuat gantungan kunci ini bukan dari kulit sapi utuh yang baru.
“Tenang, nanti Encik lihat sendiri,” lagi-lagi aku mengatakan demikian. Ya, biar Encik melihat hasil akhirnya saja.
Sambil menunggu pengunjung yang datang, aku menyibukkan diri untuk membuat gantungan kunci. Lembaran kulit sapi yang aku susun sudah dipamerkan kepada Encik Munir. Sekarang tinggal membuat bentuk gantungan kunci yang aku inginkan. Aku mau buktikan bahwa hasil karyaku juga tak kalah dengan karya beliau. Kalau Encik membuat gantungan kunci dan menuliskan nama-nama orang pemesannya, aku membuatnya dengan sedikit berbeda. Aku menuliskan pada hiasan gantungan kunci itu kata-kata yang menggelitik. Beberapa di antaranya adalah aku tuliskan "Kau tega Merobek Hatiku”. Lainnya ada tulisan "Cintaku digigit Tikus". Tulisan-tulisan itu aku torehkan di gantungan yang aku buatkan pola berbentuk hati, awan, dan balon.
Encik Munir hanya menggeleng-gelengkan keplala saja. Mungkin Encik masih bingung dengan apa yang sedang aku lakukan. Ia heran dengan anak pramuka yang sedang menggunting, menempel, dan merangkai benda kreasi.
Inilah hasil karyaku. Gantungan kunci dari bahan buangan. Potongan kulit sapi yang nyaris dicampakan oleh Encik Munir. Setelah selesai, aku coba jajakan di depan toko. Aku sandingkan kreasi gantunagn kunci yang baru saja dibuat dengan hasil kreasi Encik Munir.
Selesai sudah... Ada 10 gantungan kunci yang berhasil aku buat dalam waktu 1,5 jam. Sekarang, karena waktu Ashar sudah berlalu lama, aku pamit untuk menunaikan salat.
***
Pagi ini adalah momen pertama karyaku dipajang di etalase toko. Setelah kemarin aku buat dengan tulisan-tulisan lucu, gantungan kunci itu siap memincut para pengunjung yang datang. Biasanya Encik Munir menjual gantungan kunci dagangannya dengan harga 2 ringgit. Untuk gantungan kunci hasil karyaku, aku belum menentukan harganya. Aku sih ingin karyaku itu juga dihargai 2 ringgit supaya ada keuntungan yang masuk ke kantong pribadiku. Aku meminta izin Encik Munir. Tak dinyana, beliau mempersilahkan aku membanderol karyaku itu drngan harga berapa pun. Beliau tak masalah buatnya. Lagi pula barang hasil kreasiku dibuat dari sisa-sisa kulit yang nyaris dibuangnya. Itu tak merugikan beliau.
Dari calon pembeli yang datang, aku spontan saja menentukan harganya. Karena mereka selalu menanyakan gantungan kunci karyaku, maka aku beri harga 5 ringgit. Di luar dugaan, responsnya cukup tinggi. Mereka yang merespone barang daganganku adalah para remaja yang mungkin sedang galau. Tak ada yang menawar, para pembeli tak merasa keberatan dengan harga 5 ringgit. Padahal lebih mahal 3 ringgit dari karya Encik Munir.
Sampai menjelang siang, 10 gantungan kunciku laris. Malah, permintaannya bertambah. Beberapa pembeli juga ada yang memesan untuk dibuatkan. Padahal hanya dari sisa potongan kulit sapi yang tak terpakai. Mungkin mereka tertarik dengan guratan-guratan potongan kulitnya dan tulisan-tulisannya yang tertoreh di gantungan kunci itu. Encik Munir heran dengan apa yang baru saja terjadi. Transaksi hari ini lancar. Itu berkat hasil karyaku.
“Hey, kamu malah laris,” seru Encik dengan nada cemburu. Beliau tak menyangka gantungan hasil karyaku bisa diminati oleh para pengunjung toko. Sepertinya ada rasa penyesalan dari Encik Munir, karena potongan kulit sapi yang tersisa itu ternyata bisa dijual juga.
“Iya, Cik. Mungkin karena unik,” jawabku. Sejak kecil, sewaktu aktif pramuka, aku memang terbiasa membuat kreasi dari berbagai benda yang tak terpakai. Ini adalah keahlian sederhanaku. Untungnya, jiwa seni yang aku tuangkan mendapat sambutan positif dari orang lain.
“Hebat kamu," puji Encik dengan rasa puas. Dia bangga memiliki anak buah yang pandai berkarya dan memanfaatkan benda yang sebelumnya terlihat tak berdaya guna.
“Saya hanya mengisi waktu kosong saja,” jelasku. Ketika ada waktu luang, sayang sekali kalau tak diisi dengan kegiatan yang bermanfaat. Sekecil apa pun yang kita lakukan, pasti akan berguna.
“Bagaimana bisa?" Encik rasanya tidak percaya dengan yang aku lakukan. Tak menyangka gantungan kunci unik buatanku malah digemari oleh anak-anak muda di sini.
“Ya, bisa saja Encik. Mereka suka sesuatu yang tak biasa dilihatnya,” jelasku sambil mengambil sisa potongan kulit lainnya yang akan aku rekatkan lagi menjadi lembaran utuh.
“Engkau bekerja di sini saja, Fauna.” Rupanya Encik terpikat oleh keahlianku. Baginya, hal tersebut adalah nilai plus dari seorang karyawan yang bekerja di tokonya. Sebelumnya, karyawan toko yang pernah bekerja sama dengannya hanya sebatas menjaga dan melayani pembeli. Beliau belum pernah betemu dengan karyawan sepertiku. Karyawan yang berinisiatif berbuat sesuatu yang belum pernah dipikirkan sebelumnya.
“Bagaimana Encik ini... Sekarang memang saya sedang bekerja sama Encik. Membantu toko Encik,” candaku.
“Iya, maksudnya bekerja di sini dalam waktu yang lama,” jelas Encik. Beliau menginginginkan aku untuk tetap di tokonya tak hanya sebatas sampai lebaran. Encik berharap dengan kehadiranku, tokonya bisa lebih hidup, bisa lebih maju dari sebelum-sebelumnya.
“Saya sudah berkata kepada Encik, saya hanya sementara. Bekerja membantu Encik hingga idulfitri tiba,” terangku. Sesuai kontrak lisan, aku memang tak menetapkan untuk bekerja kepada Encik selamanya. Kesepakatanku bekerja pada bulan Ramadan saja. Tak lebih dari itu, karena aku mesti melanjutkan perjalanan. “Setelah lebaran, saya akan pergi ke tempat baru untuk menemukan pengalaman baru," tambahku.
Jawaban yang terlontar dari mukut Encik Munir kemudian sungguh mengejutkan. “Tak usah kau keliling dunia,” katanya. Wah, bukannya memberikan dukungan, beliau malah membuat tembok yang menghalangiku. Di satu sisi, Encik Munir sangat baik. Beliau memberikan aku banyak kesempatan berkreativitas. Beliau sungguh mudah percaya kepada orang yang belum lama bekerja sama dengannya. Untukku, dia adalah bapak angkat yang bisa menentramkanku selama bekerja di tokonya.
“Tidak mungkin,” jelasku dengan tegas. “Saya mesti meneruskan misi saya lewat berkelana."
Encik Munir memendam rasa salut bercampur khawatir. Mungkin khawatir terhadapku saat melakukan perjalanan jauh ini.
“Misi engkau bisa diteruskan setelah tinggal lama terlebih dahulu di sini,” harap Encik. Namun,kalau dikabulkan, harapan itu akan mengganggu segala rencanaku.
“Tidak bisa Encik. Maaf...” Aku tetap memegang teguh pendirianku. Kalau tongkat kayu sudah terlanjur ditancap di tanah, pantang sekali untuk dicabut kembali. Kalau layar sudah terkembang, pantang untuk surut ke pelabuhan. Niat yang sudah ditanam sejak di Serang mesti aku jalankan agar bisa dituntaskan.
“Lelah, Fauna,” ujar Encik menakut-nakuti. Dua kata itu bisa melemahkan semangatku. Kalau lelah tentu sudah aku rasakan sejak berangkat dari Serang. Selanjutnya juga kelelahan itu pasti akan selalu hadir, menjadi teman setia dalam petualanganku.
“Sudah pasti, tapi saya harus melakukan yang sudah saya rencanakan sejak dari Indonesia,” tegasku untuk kembali menunjukkan tekadku yang sudah snagat bulat. Siapa pun tak akan bisa mematahkan misiku. Dan, apa pun risiko serta tawaran yang aku dapatkan, semuanya harus berjalan sesuai dengan rencana. Aku tak boleh tergiur oleh berbagai godaan.
“Keras sekali kemauan kau, Fauna,” puji Encik Munir. Tak bisa kumungkiri, watakku memang batu. Tapi, itu aku pusatkan kepada hal-hal yang sudah aku rencanakan. Kerasnya kemauanku ditujukan untuk menuntaskan keinginanku sejak duduk di bangku sekolah. Jadi, benar apa yang dikatakan oleh Encik Munir.
“Sekali lagi, maaf.” Setelah melanjutkan perjalanan hingga kembali ke Serang, pasti aku akan mengenang Encik Munir. Kelak, jika ada kesempatan, aku pasti akan bersua dengan beliau kembali. Semoga Allah akan mempertemukan kami lagi.
“Tak apa, saya hanya menanyakan seberapa teguh kemauan awak,” tutur encik Munir. Rupanya beliau sedang menguji kegigihanku.
“Terima kasih, Encik.” Aku merapatkan kedua telapak tanganku di atas dada sambil sedikit membungkukkan punggung ke depan.
“Ya, kau bisa lanjutkan pekerjaan,” ucap beliau. Aku pun bergegas kembali meneruskan aktivitasku .enjaga toko sambil membuat gantungan kunci.
Dari kecil aku terbiasa belajar kreatif. Apa saja yang bisa diulik, aku telaten kerjakan. Termasuk di toko Encik Munir kali ini. Buatku, kreativitas itu membuat kita tak susah hidup. Kreativitaslah yang bisa menghidupkan kita. Maka dari itu, sebuah kreativitas selalu membuat hidupku penuh manfaat. (*)
Oleh: Edi Dimyati