Indonesia Masih Butuh Banyak Enterpreneur Muda

Kamis, 23 Juni 2016 | 08:15
Rizki Ramadan

Rumus Bikin Bisnis ala Mohan Thanksinsomnia

Abriansyah Saputro adalah pemuda 22 tahun yang kini mengeyam perkuliahan tingkat akhir di jurusan Manajemen Bisnis, University of Utah, Amerika Serikat. Selama empat tahun berkuliah, pemuda asli Palembang ini sudah menjalani kerja magang di lima perusahaan berbeda. Rencananya, selesai kuliah, Abri, sapaaan akrabnya, ingin bekerja di perusahaan multinasional, lalu setelah tiga tahun ia akan melanjuti pendidikan tingginya untuk gelar MBA.

Abri bukannya senang bekerja di perusahaan, ia hanya ingin mengumpulkan pengalaman berorganisasi dan menabung modal sebanyak-banyaknya. Misi besar hidupnya adalah untuk menjadi seorang entrepreneur muda.

“Saya sudah dikuliahkan jauh-jauh ke Amerika jadi inginnya bisa memberi feedback untuk Indonesia. Dengan membuka usaha aku bisa sekaligus buka lapangan kerja, bisa membantu peningkatan ekonomi Indonesia. Saya sudah merencanakan, sekarang saya bekerja dulu sama orang, selanjutnya akan membuka usaha,” kata pemuda yang berkuliah dengan beasiswa full dari pemerintah provinsi Palembang ini.

Abri makin bergejolak untuk menjadi pengusaha terutama ketika menyadari bahwa kebanyakan pengusaha besar yang ada di Indonesia adalah warga negara asing. “Usaha di sini mestinya dipimpin orang asli Indonesia, biar ekonomi kita tidak dikuasai asing. Saya ingin menjadi pengusaha yang nggak cuma punya business capability yang baik tetapi juga punya rasa cinta tanah air, pengusaha yang bukan mementingkan keuntungan sendiri, tetapi juga untuk sekitarnya,” jelas Abri panjang lebar.

Kisah Abri adalah kabar baik untuk Indonesia. Dengan optimisme, kedepannya, pemuda-pemuda berjiwa entrepreneur dengan misi mulia seperti Abri akan bermunculan dengan inovasi bisnis yang memukau.

Semangat untuk berwirausaha yang digalakkan banyak pihak memang kian terasa geliatnya. Fakta menunjukkan, jumlah pengusaha meningkat dari 0,24 persen menjadi 1,56 persen dari jumlah penduduk.

Global Enterpreneurship Monitor (GEM) mencatat, pada 2013 jumlah penduduk usia 18-64 tahun yang berniat memulai usaha mencapai 35%, jauh lebih tinggi dari Malaysia yang hanya 12% dan Thailand yang mencapai 18, 5%.

Apakah ini cukup?

Nyatanya, jumlah pengusaha di Indonesia masih kalah dengan negara-negara tetangga. Singapura mencapai 7% dari jumlah penduduk, Malaysia sebanyak 5%, dan Thailand sebanyak 4%. Sementara Amerika Serikat dan Jepang, sebagai negara maju, mereka memilih jumlah pengusaha lebih dari 10 % dari jumlah penduduk. Jumlah pengusaha yang ditargetkan pemerintah tahun ini, yaitu sebanyak 2%, pun tak membuat Indonesia lebih unggul.

Peningkatan jumlah entrepreneur jadi mendesak jika kita mengingat bahwa 2016 ini Masyarakat Ekonomi ASEAN, ACFTA (ASEAN-China Free Trade Area), dan APEC (Asia-Pacific Economic Coorperation) dimulai. Betapapun yang dikedepankan adalah “kerja sama” dan “masyarakat”, fenomena ini menegaskan persaingan di pasar bebas dunia.

Selain itu, pada 2020-2030, Indonesia akan memasuki masa bonus demografi. Pada 2020 diperkirakan jumlah penduduk mencapai 268 juta jiwa, dan 293 juta jiwa pada 2030 dengan jumlah penduduk usia produktifnya 198,5 juta dan 200,3 juta jiwa. Hanya dengan kebangkitan semangat berwirausaha jumlah tersebut terlihat bukan menjadi ancaman, melainkan peluang.

Tentu, kita tak hanya butuh pengusaha saja, melainkan pengusaha terbaik, yang selain pekerja kerja dan tekun, juga memiliki kesadaran tinggi untuk berkontribusi untuk negara.

“Kewirausahaan merupakan urat nadi dari pertumbuhan ekonomi negara. Untuk memenuhi kebutuhan akan kewirausahaan ini, dibutuhkan pemberdayaan yang mapan terhadap generasi muda Indonesia,” ujar Rektor Sampoerna University, Wahdi Salasi April Yudhi.

Kebutuhan akan jumlah entrepreneur yang mendesak ini, menuntut Indonesia untuk memiliki pendidikan tinggi kewirausahaan yang mumpuni. Tak pelak, kini banyak kampus bisnis muncul, salah satu yang concern dengan pendidikan bisnis bervisi global adalah Sampoerna University. Kampus ini menanamkan perspektif global kepada mahasiswa sejak awal perkuliahan. Para mahasiswa mendapat kesempatan yang sama untuk bisa melanjutkan kuliahnya di Indonesia namun mendapatkan sertifikasi internasional, ataupun melanjutkan satu-dua semester di jurusan bisnis universitas - universitas terbaik di Amerika Serikat.

Standar kualitas internasional yang diterapkan Sampoerna University mendapat akreditasi dari Southern Association of Colleges & Schools (SACS), sebuah lembaga akreditasi internasional untuk pendidikan tinggi yang melakukan penilaian berdasarkan fasilitas, kurikulum dan pengajar secara keseluruhan.

“Dipadu semangat dan optimisme, pendidikan bisnis berstandar internasional ini tak hanya bisa menjawab tuntutan kebutuhan peningkatan jumlah entrepreneur, tetapi juga mencetak pemimpin-pemimpin yang bisa membawa perekonomian Indonesia berjaya tak hanya di nusantara, tetapi juga di berbagai negara,” papar Wahdi.

Editor : Hai Online