Muhammad Ali, Pejuang Kemanusiaan Yang Pernah Traktir Ratusan Warga Jakarta

Kamis, 09 Juni 2016 | 05:45
Alvin Bahar

Muhammad Ali

Pagi itu, Muhammad Ali ingin makan McDonald's. Letak restoran cepat saji itu nggak begitu jauh dari tempatnya menginap, Hotel Hilton. Popularitasnya plus badannya yang besar dibalut kemeja polo berwarna kuning mencolok, bikin ia jadi pusat perhatian sepanjang jalan. Ali pagi itu nggak ditemani bodyguard sama sekali. Orang yang mendampinginya cuma Yank Barry, pendiri Global Village Champions Foundation, serta seorang temannya.

Secangkir kopi dan Egg Mcmuffin Ali pilih sebagai menu sarapannya. "Kamu mau apa?" tanya Ali ke Yank dan temannya. Mereka berdua memilih menu yang sama. "Kalian bawa uang banyak, kan?" tanya Ali lagi.

Baca Juga: Andai Sepeda Muhammad Ali Nggak Dicuri

Momen saat Muhammad Ali mentraktir warga Jakarta
Yank mengiyakan pertanyaan kedua petinju yang dijuluki The Greatest tersebut. "Sarapan untuk semua!" teriak Ali bersemangat, walau ia nggak tau berapa jumlah uang yang Yank bawa.

Kejadian tersebut berlangsung pada pagi hari di tahun 1990-an, di sebuah McDonald's di Indonesia. Dugaan terbesar sih, McDonald's Sarinah. Kunjungan pria yang pernah melawan Superman itu ke Jakarta adalah dalam misi kemanusiaan bersama lembaga Global Village Champions Foundation.

Cukup banyak sarapan orang yang dibayarin Ali pagi itu. Sekitar 100 orang, termasuk staff McDonald's, ditraktir. Ali terlihat senang, tapi Yank malah pusing. Ia hanya bawa uang sebesar $130, sedangkan bill yang tertera lebih dari $180. Zaman itu, belum ada ATM atau kartu kredit. Yank pun nyari bank buat menarik uang untuk membayar sisa tagihan traktiran.

Walau diselingi insiden kurang duit, terlihat kepuasan di wajah para pengunjung yang beruntung ditraktir Ali. Selain makan gratis, mereka juga bangga bisa makan bareng The Greatest.

Baca Juga: Muhammad Ali Pernah Melawan Superman, Siapa Pemenangnya?

Muhammad Ali di Jakarta, 1973
Bukan petinju biasa

Julukan The Greatest memang pantas disematkan ke pemilik nama lahir Cassius Marcellus Clay Junior. Ia bukan cuma petarung terhebat di ring, tapi juga di jagat kemanusiaan. Nama besar Ali digunakan oleh yayasan World Village untuk menggalang dana untuk pengentasan kelaparan di dunia. Menurut Bigford, melalui yayasan tersebut Ali telah membagikan 550 juta makanan untuk orang yang kelaparan.

Ia pejuang kemanusiaan yang menolak diskriminasi atas kaumnya, warga Amerika-Afrika, yang kerap menerima perlakuan diskriminatif. Ali juga menjadi inspirasi bagi kaum muda karena telah mengangkat tinju ke ranah yang melampaui segala batas, termasuk persoalan ras.

Ali pernah mengatakan, dulu orang kulit putih hanya duduk menonton dua orang kulit hitam bertinju. Sekarang mereka (orang kulit putih) ikut terjun ke dalam ring. Bagi dunia olahraga, Ali berhasil menjadikan tinju sebagai olahraga elit.

Kehilangan sosok besar

Ketika Muhammad Ali, meninggal di usia 74 tahun, Jumat (3/6), banyak sosok yang merasa kehilangan banget dan kagum dengan jasanya. Presiden AS periode 1993-2001 Bill Clinton, seperti dikutip theguardian.com, menyatakan sangat terhormat bisa mengalungkan penghargaan kepada Ali di Gedung Putih. Medali itu diterima Ali pada 8 Januari 2001 karena ia dianggap sebagai petinju yang melampaui batas. Bukan hanya atlet, melainkan juga pejuang hak-hak sipil dan pejuang kemanusiaan.

"Sepanjang perjalanan kita melihat dia sangat berani saat di atas ring dan menginspirasi kaum muda. Dia juga memiliki belas kasih kepada siapa saja yang membutuhkan. Ali mengatasi segala keterbatasan fisiknya dengan kekuatan hati dan humor," kata Clinton.

George Foreman, yang pernah menghadapi Ali di pertandingan legendaris tahun 1974, mengungkapkan rasa kehilangannya. "Bagian dari diri saya telah hilang," kata Foreman kepada BBC. "Muhammad Ali adalah satu manusia hebat yang pernah saya temui," tulis Foreman di akun Twitter-nya.

Baca Juga: Petinju Muhammad Ali Meninggal Dunia di Usia 74 Tahun

Terinspirasi pejuang HAM

Usut punya usut, Muhammad Ali ternyata terinspirasi oleh pejuang HAM sekaligus tokoh Muslim Afrika-AS, Malcolm X. Ali pun terus bertarung memperjuangkan hak-hak warga sipil, terutama warga kulit hitam di AS. Pada 1960-1970-an, warga kulit hitam dianggap warga kelas dua sehingga sering diperlakukan nggak adil, bahkan secara rasial.

Bahkan, pada suatu kejadian, ayah petinju wanita Laila Ali itu marah karena pelayan menolak melayaninya saat ia memesan minuman di restoran. Hal itu pula yang membuat Ali membuang medali emas Olimpiade 1960-nya ke sungai. Ia merasa kecewa karena telah berjuang mengharumkan negara, tetapi nggak diperlakukan secara adil.

Ali pun dikenal sebagai sosok yang menentang serangan AS ke Vietnam dan menolak program wajib militer tentara AS untuk perang ke Vietnam. Hal ini menyebabkan gelar juaranya dicabut dan ia diskors tak boleh bertinju selama 1967-1970. Ia pun didenda 10.000 dollar AS (Rp 134,4 juta-kurs saat ini) dan dipenjara selama 1967-1971. "Saya nggak ada masalah dengan orang Vietkong (Vietnam). Mereka pun nggak pernah menghinaku dengan panggilan negro," ujar Ali ketika menolak wajib militer.

Inspiratif ya!

source: 1, 2

Editor : Alvin Bahar